Sidang ke-19 PUIC Jadi Panggung Seruan Perlindungan Muslim Minoritas Global

 Wakil Ketua BKSAP DPR RI, Muhammad Husein Fadlulloh, (kiri)/Ist
Wakil Ketua BKSAP DPR RI, Muhammad Husein Fadlulloh, (kiri)/Ist

Sidang ke-19 Parliamentary Union of the OIC Member States (PUIC) yang digelar di Gedung DPR RI, Jakarta, menjadi forum penting bagi negara-negara anggota untuk menyerukan aksi konkret dalam perlindungan komunitas Muslim minoritas di berbagai belahan dunia.


Dalam sidang yang bertepatan dengan peringatan 25 tahun berdirinya PUIC ini, 38 dari 54 negara anggota hadir untuk membahas berbagai resolusi yang menyoroti kondisi komunitas Muslim, mulai dari isu hak asasi manusia, diskriminasi struktural, hingga pentingnya diplomasi jangka panjang.

Delegasi Indonesia menegaskan komitmen kemanusiaannya dalam menerima pengungsi Rohingya, meskipun tidak secara resmi ditugaskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia juga mendorong konsensus antarnegara anggota PUIC untuk menciptakan solusi berkelanjutan bagi komunitas Muslim minoritas seperti Rohingya.

“Pembentukan komite ini penting agar tidak lahir regulasi yang diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam,” ujar Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Muhammad Husein Fadlulloh, yang memimpin jalannya sidang.

Indonesia secara resmi mengusulkan pembentukan komite khusus di bawah PUIC untuk memantau regulasi di negara-negara yang memiliki populasi Muslim minoritas, agar kebijakan yang diterapkan tidak melanggar nilai-nilai Islam maupun prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Selain itu, delegasi Indonesia juga mendorong pemanfaatan kedekatan kultural dan posisi strategis negara-negara Islam seperti Arab Saudi untuk mengintensifkan lobi diplomatik demi perlindungan umat Islam yang tertindas.

Delegasi Qatar turut menyoroti perlindungan Muslim minoritas sebagai tanggung jawab moral seluruh umat Islam. Qatar mengusulkan pembentukan badan independen di bawah PUIC, alokasi dana khusus untuk advokasi, serta penyusunan laporan tahunan guna memastikan pemantauan konkret atas isu-isu diskriminasi dan pelanggaran HAM.

Senada dengan itu, delegasi Aljazair menekankan pentingnya perlindungan terhadap identitas budaya Islam yang kini terancam di beberapa negara. Mereka mencontohkan larangan penggunaan nama Islami, pembatasan jilbab, serta akses terhadap makanan halal. Aljazair mengusulkan pendekatan yang lebih kontekstual, dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan politik di tiap negara.

Delegasi dari Malaysia dan Nigeria juga menyuarakan keprihatinan serupa. Malaysia menekankan pentingnya solidaritas politik dan pemanfaatan mekanisme hukum internasional untuk membela kelompok yang mengalami persekusi. Sementara Nigeria mengingatkan bahwa pertemuan PUIC ini harus berbuah pada aksi nyata dalam memerangi diskriminasi sistemik terhadap Muslim minoritas.

Dalam memimpin jalannya sidang, Husein Fadlulloh didampingi oleh sejumlah anggota BKSAP DPR RI, antara lain Ravindra Airlangga (Fraksi Golkar), Sigit Purnomo (Fraksi PAN), Sohibul Iman (Fraksi PKS), dan Eva Monalisa (Fraksi PKB).

Mengangkat tema “Good Governance and Strong Institutions as Pillar of Resilience”, sidang ke-19 PUIC ini diharapkan menjadi momentum nyata dalam memperkuat solidaritas umat Islam sekaligus mendorong perubahan kebijakan global yang lebih adil bagi komunitas Muslim minoritas.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news