Trump Hadapi Krisis- Putin Bertambah Kuat- Jokowi .…

BUKAN satu kebetulan jika pandangan dunia dalam satu pekan terakhir ini terarah ke Washington dan Moskow.


Washington sedang mengalami gejolak politik yag cukup serius, sementara di Moskow sedang berlangsung sebuah pesta demokrasi, pertanda adanya stabilitas politik di negara itu.

Presiden AS, Donald Trump tengah berupaya keras melawan kekuatan yang mau melengserkannnya. Sementara Presiden Rusia Vladimir Putin sedang menunggu kepastiannya dipilih kembali untuk ke empat kalinya.

Presiden Amerika Donald Trump tengah menghadapi berbagai serangan politik dari oposisi (Partai Demokrat) maupun sejumlah politisi partai pemerintah (Republik) sendiri. Trump sedang berupaya keras supaya tidak jatuh atau terkena 'impeachment'.

Perkiraan sementara, Putin akan terpilih kembali sebagai Presiden Rusia pada Pemilu 18 Maret 2018. Berdasarkan survei sebelumnya bahwa dia akan mampu meraih suara hingga 71 persen.

Perhatian dunia terarah ke ibukota negara Amerika dan Rusia sebab, perkembangan dan ke mana arah jalannya perputaran politik dunia, ditentukan dari dua ibukota negara adidaya tersebut.

Sumbuh dunia seolah ditempatkan oleh Sang Maha Pencipta di Washington, benua Amerika dan Moskow di benua Eropa.

Keunggulan teknologi dalam bidang persenjataan untuk perang super mematikan oleh kedua negara, menempatkan hampir semua negara di dunia, tersandera atau disandra oleh kedua negara tersebut.

Dalam ungkapan yang provokatif dan lebih dramatis, berbagai konflik dunia tercipta dan berawal dari kebijakan yang dibuat oleh pemimpin negara yang berdiam di kedua kota tersebut.

Atau meletus tidaknya Perang Nuklir, perang yang digadang-gadang seperti sebuah kiamat atau akhir zaman, sangat bergantung pada harmonis tidaknya hubungan Amerika dan Rusia.

RRT sebagai kekuatan baru di dunia dengan ibukotanya Beijing, bisa saja masuk dalam kalkulasi. Namun kekuatan Beijing tetap saja tergantung dan masih bergantung pada situasi di Washington dan Moskow.

Perhatian dunia semakin terarah ke Amerika dan Rusia, berhubung di kedua negara tersebut sedang terjadi perubahan yang cukup mendasar. Peristiwa mana penting untuk dijadikan rujukan.

Amerika mulai kehilangan banyak orang kaya atau konglomerat.

Sebaliknya Rusia mulai menempatkan orang-orang kaya baru.

Dalam dunia sepakbola saja, Rusia yang Juni 2018 ini, menjadi tuan rumah Piala Dunia, memiliki sejumlah raja minyak yang mengakuisisi klub-klub papan atas sepakbola di Liga Eropa. Triliunan euro mengalir ke Eropa Barat dari Rusia di Eropa Timur.

Indonesia perlu merujuk perkembangan sekaligus perubahan ini. Karena cepat atau lambat perubahan di kedua negara tersebut akan berimbas atau berpengaruh ke Indonesia.

Tanpa bermaksud menggurui presiden ataupun para penentu kebijakan di dalam negeri, Indonesia seharusnya jangan (lagi) terlalu bergantung ke Amerika.
Negara adidaya ini sedang berada dalam krisis serius.

Ketergantungan pada negara yang sedang mengalami krisis, hanya akan membuahkan situasi yang lebih krisis di tanah air.

Sebagai negara yang tengah menghadapi krisis, Amerika, pasti tidak akan tertarik memperhatikan kepentingan dan masa depan negara lain seperti Indonesia. Bahkan tanpa krisis seperti sekarang ini pun siapapun yang menjadi penghuni Gedung Putih apakah politisi dari Republik (saat ini) atau Demokrat sebagai oposisi, tak akan membuat Amerika serta merta mengalihkan fokus perhatiannya ke Indonesia.

Kalaupun ada, Presiden AS akan lebih memprioritaskan sekutunya di Asia yakni Korea Selatan, Jepang ataupun Filipina. Bukan Indonesia.

Paling banter, AS akan meneruskan kebijakannya yang 'berstandar ganda'. Kepada Indonesia secara diplomasi bersikap baik. Tetapi begitu ada bom meledak di Jakarta, Kedubesnya di Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, langsung mengeluarkan travel warning. Mengingatkan warga AS di luar agar tidak berkunjung ke Indoneisa.

Seolah-olah semua kota dari Sabang hingga Merauke, seluruh ibukota provinsi di Indonesia telah terjadi ledakan bom, tidak aman.

Di Korea Selatan, Jepang dan Filipina, Amerika memiliki pangkalan militer.

Indonesia yang anti-pangkalan militer asing, persepsinya sama dengan anti-Amerika. Jadi wajah baik apapun yang Indonesia perlihatkan ke Amerika, tak akan mengubah persepsinya sebagai negara pro Amerika.

Kesimpulan sederhananya Indonesia anti-Amerika. Jadi wajar kalau Indonesia oleh Amerika dianggap sebagai bukan sahabat sejati.

Posisi Indonesia sebagai bukan sahabat sejati Amerka, semakin menguat. Terutama ketika Singapura sebagai negara sahabat dan tetangga terdekat Indonesia, membuat kebijakan yang berbeda.

Singapura mengizinkan armada Amerika memiliki akses di negara pulau itu untuk perawatan semua armada militernya.

Hal mana secara de facto, telah menempatkan Singapura sebagai negara anggota ASEAN yang lebih suka bersekutu dengan Amerika. Sebuah kebijakan politik luar negeri yang bertolak belakang dengan Indonesia.

Ditambah dengan perubahan situasi dunia, posisi Indonesia, di mata AS terus melemah.

Seusai Perang Dingin, Indonesia tak lagi memiliki posisi tawar kuat yang bisa dijadikan alat tawar menawar menghadapi Amerika.

Seiring dengan kekalahan komunisme dalam Perang Dingin, telah menghilangkan kekhawatiran Amerika atas kehadiran komunisme di Indonesia melalui PKI (Partai Komunis Indonesia).

Bahkan di zaman sekarang, sebaliknya isu komunisme dan PKI bisa dijadikan bahan penghancur persatuan Indonesia (oleh Amerika).

Jadi walaupun Indonesia mendapat prioritas dari Amerika, tapi topiknya bukanlah untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Melainkan hanya menyenjahterakan dan memperkuat mereka yang menjadi perpanjangan tangan atau agen-agennya di bumi Nusantara.

Ujung-ujungnya, setelah para agen Amerika menjadi kuat -kaya raya, kelak mereka dijadikan 'pion' untuk mengacaukan Indonesia.

Bila perlu dan bahkan mungkin sangat perlu, menghancurkan Indonesia dengan melalui 'perang proxy'. Memecah belah rakyat dan bangsa Indonesia melalui berbagai sentimen.

Penghancuran melalui banyak cara. Bisa melalui sistem politik, ekonomi dan budaya. Atau melalui penolakan Pancasila sebagai sebuah filosofi dasar dan penting untuk negara pluralis.

Sementara itu di tengah menebalnya krisis politik Amerika, Rusia, negara pesaing Amerika di jagad raya, terus bermanuver.

Antara lain mendekati Indonesia.

Manuvernya relatif cukup berhasil. Antara lain dengan dilakukannya penambahan pembelian pesawat jet tempur Sukhoi.

Kabar terakhir, Presiden Rusia Vladimir Putin sudah mengagendakan kunjungannya ke Indonesia pada tahun 2018 ini. Kepastiannya menunggu hasil Pemilu 18 Maret 2018.

Sekalipun belum ada agenda, apa yang akan dibicarakannya dengan Presiden Joko Widodo, tetapi kunjungan seorang Presiden Rusia ke Indonesia, untuk pertama kalinya, tentu memiliki arti yang sangat strategis dan penting.

Terlebih kunjungan itu terjadi menjelang Pilpres 2019. Tentu saja kunjungan Putin itu tak bisa dianggap sebagai kunjungan persahabatan biasa.

Bisa saja Putin hanya sekedar menyampaikan apresiasinya atas kebijakan Indonesia yang makin suka membeli pesawat jet tempur buatan Rusia. Namun itu saja sudah luar biasa. Di mana seorang Presiden Rusia berterima kasih kepada Presiden Indonesia.

Atau ingin menagih hak Rusia yang telah memenangkan tender pembangunan listrik tenaga nuklir di Indonesia.

Sebab menurut (bekas) Dubes Rusia untuk Indonesia, Mikhalil Galuzin penentuan pemenang tender itu diputuskan pada era Presiden SBY. Namun hingga Presiden SBY digantikan Joko Widodo pada Oktober 2014, tidak ada tanda-tanda proyek itu akan dilaksanakan.

Padahal listrik tenaga nuklir sangat dibutuhkan oleh negara manapun, termasuk Indonesia tentunya -bila negara tersebut bercita-cita menjadi sebuah negara maju atau negara industri.

Karena hanya listrik tenaga nuklir yang bisa menghilangkan semua kendala di bidang listrik dan energi.

Tanpa jaminan adanya suplai listrik yang aman dan tanpa 'mati hidup', tak akan ada investor yang bersedia melakukan investasi jangka panjang atau berkesinambungan.

Makna dari pernyataan diplomat Rusia ini, menunjukkan kunjungan Putin ke Indonesia, sesuatu yang penting dan perlu dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia.

Terpulang kepada Indonesia khususnya Joko Widodo, Presiden kita apakah mau memanfaatkannya atau tidak. Apakah Jokowi lebih menempatkan Australia, Amerika atau RRT sebagai negara terpenting dalam pergaulan diplomasi.

Sebagai negara yang menginisiasi pembentukan BRICS, kelompk G-5, Putin sesungguhnya tidak sekedar sebagai Presiden Rusia.

Sehingga sepatutnya posisi Rusia di bawah Putin perlu dijadikan rujukan utama.

Putin yang mantan agen rahasia KGB, merupakan sosok yang menawarkan kepada dunia agar G-7 bentukan Amerika, perlu dihadapi dengan persaingan secara sehat.

Salah satu agenda BRICS adalah menghapus sistem perdagangan dunia yang menjadikan mata uang dolar Amerika sebagai alat transaksi yang sah.

BRICS yang merupakan singkatan dari Brazil, Russia, India, China dan South Africa, memiliki misi untuk penghapusan atau pendegradasian IMF dan Bank Dunia.

Karena di mata konspetor BRICS, dua lembaga internasional yang berkedudukan di Washington tersebut lebih banyak menciptakan negara gagal (a failed state) ketimbang negara maju.

Banyak negara di negara dunia ketiga, terus terperangkap dalam kemiskinan sekalipun jutaan bahkan miliaran dolar sudah disalurkan oleh IMF dan Bank Dunia.

Pada perkembangan lainnya, Parlemen Rusia (Duma) melalui Ketua-nya pekan lalu sudah menyampaikan undangan untuk Ketua DPR Bambang Soesatyo agar bisa berkunjung ke Moskow pada awal Juni 2018 ini.

Undangan ini secara protokoler, merupakan hal yang lazim. Ketua Parlemen mengundang Ketua Parlemen dari negara sahabat. Namun melihat momentum, cara dan dari siapa undangan itu lahir, membuat undangan untuk ketua DPR ini memiliki arti tersendiri.

Pengundang Bamsoet, Ketua DPR RI, merupakan seorang sahabat dekat Presiden Putin.

Sebuah kerugian besar -bukan hanya Bamsoet tetapi juga seluruh rakyat Indonesia yang sedang mencari penyeimbang, lalu mengabaikan undangan ini.

Menjadi menarik untuk ditafsirkan, apakah Bamsoet akan memenuhi undangan Rusia dan apa resultante dari kunjungan itu -jika hal tersebut terjadi.

Semoga Bamsoet bisa mengkaji perspektif undangan ini secara terukur dan tidak sekedar melakukan kunjungan ke sebuah negara, seperti predessornya.

Sebab postur Indonesia, tidak hanya ditentukan oleh presiden atau kepala negara. Melainkan termasuk Ketua DPR RI yang bagi negara-negara demokrasi dianggap sebagai seorang speaker dari para law maker.[***]

Penulis merupakan wartawan senior