Pam Swakarsa Dalam Paradigma Keamanan Nasional

Ketua Umum DPP GMNI 2019-2022, Arjuna Putra Aldiano/RMOL
Ketua Umum DPP GMNI 2019-2022, Arjuna Putra Aldiano/RMOL

WACANA dihidupkannya kembali Pam Swakarsa sontak kembali bergema. Berawal dari pernyataan yang disampaikan oleh calon Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo dalam rapat uji kelayakan pada Rabu, (20/1) di gedung DPR RI, yang menurutnya diperlukan untuk mewujudkan kamtibmas.

Gagasan ini kemudian menjadi sorotan sejumlah pengamat. Pro-kontra pun tidak bisa dihindarkan.

Namun sejatinya gagasan ini bukanlah gagasan yang baru. Sebelumnya, Kapolri Jenderal Idham Aziz pernah mengungkapkan hal yang serupa, berkeinginan menghidupkan kembali Pam Swakarsa.

Soal Pam Swakarsa telah tertuang dalam Peraturan Kapolri 4/2020 tentang Pengamanan Swakarsa. Perkap ini ditandatangani oleh Jenderal Idham Azis pada 5 Agustus 2020.

Peraturan Kapolri merujuk pada amanat Undang Undang 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana didalamnya termaktub tugas-tugas pokok kepolisian yakni salah satunya melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap pengamanan swakarsa.

Kontroversi seputar konsep pengamanan Swakarsa diakibatkan karena konsep tersebut telah menjadi “momok” tersendiri dibenak publik. Mengingat masyarakat Indonesia pernah merasakan pengalaman traumatis Orde Baru terkait Pam Swakarsa.

Saat itu masyarakat mengenal Pam Swakarsa sebagai kelompok sipil yang dipersenjatai, yang dibentuk pada tahun 1998 yang pada faktanya bekerja tidak untuk menciptakan rasa aman warga negara melainkan menjadi alat kekuasaan untuk menekan demonstrasi mahasiswa dan kebebasan berekspresi.

Sehingga penghidupan kembali konsep Pam Swakarsa niscaya bertaut dengan pengalaman traumatis pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dengan munculnya sejumlah vigilance group yang tak jarang justru menciptakan tindak kekerasan dan konflik horizontal di masyarakat.

Untuk itu, perlu adanya analisa objektif terkait model pengamanan swakarsa dalam perspektif keamanan nasional, terutama tinjauan efektivitas model pengamanan swakarsa sebagai sistem keamanan, serta hal-hal yang perlu diantisipasi dalam model pengamanan swakarsa.

Sehingga pengaplikasian model pengamanan swakarsa tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi dan tidak menjadi sumber pelanggaran hak asasi manusia.

Pengamanan Swakarsa Sebagai Sistem Keamanan

Secara harafiah, pengamanan swakarsa berangkat dari sebuah konsep keamanan yang mendorong keterlibatan masyarakat di dalam keteraturan sosial.

Keterlibatan masyarakat dalam pengertian swakarsa merujuk pada konsep self-willingness yakni keterlibatan yang berasal dari kehendak dan kemampuan sendiri dengan sadar berperan dalam kegiatan pengamanan untuk menciptakan stabilitas sosial.

Dalam sejarahnya, ronda, dengan kerangka Siskamling adalah contoh yang paling populer dari sistem pengamanan swakarsa dimana masyarakat berperan aktif, mengambil inisiatif untuk menciptakan rasa aman di sekitar lingkungannya.

Dalam diskursus keamanan dan kajian ilmu kepolisian, pengamanan swakarsa identik dengan model community policing strategies.

Secara filosofis, community policing strategies dapat disebut sebagai kategori strategi orgarusasi yang mengedepankan kemitraan antara warga masyarakat dengan petugas polisi. Kemitraan tersebut dijalin dengan tujuan untuk mendefinisikan bentuk kriminalitas/kejahatan, hingga pada penetapan skala prioritas dan pemecahan masalah.

Robert Trojanowics dan Bonme Bucqueroux mendeskripsikan community policing strategies sebagai layanan kepolisian dengan menempatkan petugas polisi sebagai subjek yang proaktif menjalin kerjasama dengan masyarakat dalam menekan angka kejahatan.

Studi Anneke Osse (2007) menyebutkan community policing strategies adalah upaya polisi untuk lebih responsif dengan cara melakukan kolaborasi antara polisi dan komunitas untuk mengidentifikasi masalah-masalah pidana dan kejahatan dengan melibatkan semua elemen komunitas dalam pencarian solusi.

Orientasi utama dari kemitraan polisi dan masyarakat dalam konsep community policing strategies yakni bagaimana polisi bukan hanya pasif menerima laporan dan hanya bekerja di level peradilan/pidana prosedural melainkan proaktif melakukan pencegahan kejahatan (crime prevention) dengan membangun kemitraan bersama masyarakat.

Tentu, tujuan utama dari pendekatan community policing strategies bukan semata-mata sekedar membantu kerja-kerja teknis kepolisian, melainkan lebih dari itu yakni kepolisian aktif melakukan edukasi dan empowerment, pemberdayaan sehingga masyarakat memiliki kesadaran dan kepedulian tentang keamanan di sekitar lingkungannya.

Karena tujuan utama kepolisian yakni bagaimana menciptakan rasa aman yang menjadi hak asasi manusia di masyarakat.

Dan dalam pendekatan community policing strategies, rasa aman itu dapat diciptakan melalui jalan “kemitraan” antara masyarakat dan kepolisian dengan tujuan agar masyarakat memiliki kemandirian dan keberdayaan dalam menekan angka kejahatan.

Efektivitas Pengamanan Swakarsa

Model pengamanan swakarsa juga populer diterapkan di sejumlah negara. Pengalaman Lee P. Brown President of the International Association of Chiefs of Police menerapkan sejumlah kegiatan pemolisian lingkungan untuk menekan angka kriminalitas di Kota New York yang semakin meningkat.

Lee Brown menggunakan pendekatan community policing strategies karena pendekatan pemolisian tradisional yang hanya berbasis keadilan prosedural (menangkap dan memenjarakan orang) tidak efektif untuk menekan angka kejahatan.

Dimana Departemen Kepolisian Kota New York menangkap lebih dari 300.000 orang setiap tahun. Dan ini membuat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) mengalami over kapasitas. Di lain sisi, kejahatan tak kunjung berkurang (Harvard Business Review, 1991).

Untuk itu, pendekatan community policing strategies menjadi alternatif pilihan di tengah pendekatan pemolisian tradisional tidak lagi memadai untuk menyelesaikan tantangan kejahatan yang semakin kompleks.

Pendekatan community policing strategies dipilih juga karena pertimbangan efisiensi sumber daya polisi ditengah semakin kompleksnya tantangan kejahatan, dan meningkatnya angka kriminalitas. Artinya pendekatan ini dipilih untuk menjembatani kesenjangan antara keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kepolisian dengan semakin kompleksnya tantangan kejahatan dan semakin meningkatnya angka kriminalitas.

Dengan kata lain, pendekatan community policing strategies adalah bagian dari manajemen sumber daya polisi dalam menghadapi tantangan zaman.

Satu hal yang menjadi alasan mendesak bagi Lee Brown untuk menerapkan pendekatan community policing strategies yakni adanya perubahan peran dan fungsi dalam struktur keluarga di Amerika Serikat yang juga berpengaruh penting meningkatkan angka kriminalitas dan penyimpangan sosial.

Hal ini berkaitan dengan pudarnya norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berfungsi untuk menjaga kohesi sosial dan kontrol atas perilaku sosial untuk menciptakan keteraturan sosial.

Alhasil, pasca kebijakan community policing diberlakukan angka kriminalitas di New York cukup menurun tajam dimana di tahun yang sama perampokan turun 3,2 persen, dan pencurian kendaraan bermotor turun 2,1 persen (Kristine Lamburini, 2018).

Sudah barang tentu, penurunan ini bukan diakibatkan karena setiap pelaku kejahatan akan mengalami perubahan setelah keluar dari penjara. Melainkan kejahatan-kejahatan ringan tidak serta merta berujung pada pemidanaan dan pemenjaraan.

Namun dengan cara memperbaiki kerugian yang diciptakan, melibatkan seluruh pihak yang terkait (stakeholder) dan adanya upaya untuk melakukan transformasi hubungan yang ada selama ini antara masyarakat dengan pemerintah dalam merespons permasalahan, tindak pidana, konflik dan lainya terkait dengan masalah keamanan dan ketertiban.

Community policing berfokus bagaimana agar masyarakat mampu memulihkan dan membangun sistem nilai sosialnya, sehingga terbangun sense of control atas kejahatan dan penyimpangan sosial. Maka pendekatan community policing strategies lebih dekat dengan model restorative justice.

Antisipasi dan Rekomendasi

Dalam konteks Indonesia, pengaplikasian model pengamanan swakarsa bukan tanpa masalah. Sejumlah studi memaparkan pengaplikasian model pengamanan swakarsa memiliki risiko yang tak kecil.

Di Lombok, kelompok pengamanan swakarsa justru membuat relasi negara-masyarakat bersengkarut dengan entitas-entitas sosial dan politik lokal. Negara justru tersandera oleh entitas-entitas sosial dan politik lokal.

Sehingga, pada kadar tertentu, negara mengalami pelemahan kekuasaan (powerless). Hal yang sama juga terjadi di Lombok Tengah, dimana kelompok pengamanan swakarsa justru terafiliasi dengan partai politik tertentu yang dijadikan sebagai medium mobilisasi masa saat pemilihan umum.

Kasus semacam ini tentu perlu diantisipasi, sehingga model pengamanan swakarsa dapat efektif untuk mencapai tujuannya, bukan sebaliknya, justru merenggut otoritas keamanan negara.

Untuk itu, perlu adanya perbaikan relasi kemitraan dalam aplikasi model pengamanan swakarsa. Dalam aplikasi model pengamanan swakarsa, kepolisian seyogyanya tidak menciptakan kelompok masyarakat yang berwajah “milisi sipil” namun kelompok masyarakat yang sadar akan prinsip-prinsip hukum.

Kedua, pembinaan kelompok pengamanan swakarsa tidak mengarah pada penciptaan kelompok yang mengabdi kepada kepentingan politik penguasa yang sering berbeda dengan kepentingan masyarakat yang kerap dilekatkan dengan tindakan yang represif, pengekangan kebebasan kepada masyarakat, penangkapan semena-mena, bahkan penyiksaan.

Dengan kata lain, aplikasi model pengamanan swakarsa tidak mengarah pada penciptaan apa yang disebut Louis Althusser sebagai repressive state apparatus. Maka kemitraan harus dijalin berlandaskan pada prinsip profesionalisme, penghormatan pada hak asasi manusia dan polisi berperan sebagai edukator.

Arjuna Putra Aldino

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia dan Ketua Umum DPP GMNI 2019-2022