Eksepsi HRS dan Jungkir Balik Hukum

Habib Rizieq Shihab/Net
Habib Rizieq Shihab/Net

MESKI menolak mengikuti sidang online, tapi sebenarnya Habib Rizieq Shihab (HRS) telah menyiapkan eksepsi setebal 66 halaman. Eksepsi yang tidak jadi dibacakan di ruang sidang itu berjudul "Mengetuk Pintu Langit, Menolak Kezaliman, Menegakkan Keadilan". 

Dalam draf itu, Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab mengawali dengan kalimat yang jarang tertulis dalam sebuah persidangan.

Pertama-tama, izinkanlah kami selaku hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengucap puji syukur kehadirat Illahi Rabbi, Sang Penggenggam Langit dan Bumi, atas segala limpahan sinar keridho’an-NYA, yang menggenggam dan memiliki nyawa kita, sehingga dan oleh karenanya baik klien kami maupun kami selaku Penasehat hukumnya masih mendapatkan kesehatan dan kekuatan serta kemampuan untuk hadir di tempat ini.

Dengan diawali kalimat basmallah pada halaman judul dan berharap ridho hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta”ala, maka Eksepsi atau Nota Keberatan ini kami beri judul “MENGETUK PINTU LAGIT, MENOLAK KEZALIMAN – TEGAKKAN KEADILAN”.

Mengapa demikian? Karena jelas dan terang benderang, konstruksi perkara a quo adalah rangkaian atau bagian dari perbuatan rezim yang zalim, dungu dan pandir, yang telah menyalahgunakan sumber daya Negara, menyalahgunakan institusi Negara, menyalahgunakan hukum, hanya untuk kepentingan segelintir elit, hanya untuk mempertahankan struktur ekonomi, sosial dan politik yang timpang, yang tidak adil, yang bersifat predator terhadap rakyat sendiri, yang hanya berpihak kepada sekelompok manusia rakus dan hubuddunya,” terangnya.

Dalam kesempatan ini, kami hanya ingin mengingatkan semua yang ada dalam ruangan ini, bahwa kami hanya berharap pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kami mengetuk pintu langit, karena kami yakin, hanya Allah yang menepati janjiNya, sedangkan berharap pada mahluk hanya akan berujung pada kekecewaan, apalagi berharap pertolongan dari kelompok orang orang zalim dungu dan pander.

Kami mengingatkan kepada semua yang ada di dalam ruangan ini, maupun umat Islam Indonesia, bahwa apabila kezaliman dan kemungkaran sudah merajalela, keadilan diabaikan, maka tinggal tunggu kehancuran sebuah bangsa.

Rasulullah membolehkan umat Islam untuk mengingkari kebijakan penguasa negeri (umara) yang menurut pendapat para fuqaha (ahli fiqih) bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Betapa kerasnya eksepsi HRS. Sebab pengadilan ini akan menjadi cermin besar, jungkir baliknya hukum di Indonesia. Jika tidak hati-hati, sama saja pengadilan menggali lubang untuk keadilan. Keadilan telah mati di negeri ini. Berbahaya. Kalau diteruskan, bukan Habib Rizieq yang rugi, tetapi, hukum menjadi porak-poranda.

Sejak ditersangkakannya HRS, Habib Hanif beserta KH Sobri Lubis dkk, publik menilai memang kesengajaan. Kalau benar hukum hendak ditegakkan, tidak ada benang merah yang diputus dalam rangkaian kejadian ini. 

Kejadian di mana HRS ditetapkan sebagai tersangka tidak lepas dari pernyataan Mahfudz MD sebagai Menkopolhukam. Dalam kasus HRS rakyat Indonesia tahu, secara resmi selaku Menkopolhukam Mahfudz MD mengatakan dalam pokok "Silahkan yang mau menyambut HRS datang namun jangan anarkis". 

Ini yang membuat rakyat datang bersemangat menyambut kedatangan HRS di bandara. Perkataan Mahfudz MD tidaklah bisa diputus dengan peristiwa selanjutnya di Petamburan dan di Bogor. 

Dalam kedudukannya Mahfudz MD adalah Menkopolhukam yang mewakili suara pemerintah. Sehingga kalaulah di bandara dibolehkan tentu di Bogor juga dibolehkan dalam kewajaran maksud perkataan Mahfudz MD itu adalah diskresi yang tentu berlaku dalam kondisinya dimana saja dan untuk siapa saja. 

Kalau sekarang HRS ditetapkan sebagai tersangka dan didudukkan sebagai terdakwa, seharusnya dalam posisinya Mahfudz MD juga diminta bertanggung jawab.

Namun saat di persidangan HRS, kita dipertontonkan betapa bobroknya hukum di negeri ini. Kenapa hakim dalam kedudukannya mengabaikan hak terdakwa HRS dengan mengamputasi hak-hak hukumnya sebagai terdakwa. 

Sementara terhadap koruptor kelas kakap seperti Djoko Tjandra dan penegak hukum korup, memberikan hak sebagai terdakwa dengan penuh. Seperti didampingi kuasa hukumnya. 

Menjadi pertanyaan, ada apa dengan hakim yang menyidangkan HRS, belum-belum sudah seperti menghukum HRS dkk sebagai terdakwa?

Kalau Hakim merasa ketakutan adanya massa yang mengikuti sidang HRS, iya tidak usah jadi Hakim. Ada polisi dan TNI, tinggal minta pengamanan apa susahnya?

Di sini, rakyat melihat fakta kewenang-wenangan atas hak-hak terdakwa dalam hal ini hak HRS dkk sebagai terdakwa dikebiri habis-habisan. Sangat benar kalau ada yang mengatakan HRS dkk sedang melawan oligharki kekuasaan dari polisi, berlanjut melawan oligharki kekuasaan Jaksa dan hakim yang menyidangkannya.

Ini fakta kelam persidangan yang akan ditulis sejarah, jauh dari kata menegakkan kesamaan hukum dan berkeadilan.

Ketua Harian Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN)