Bolehkan Berhaji Selain Bulan Syawal, Dzulqa'dah, & Dzulhijjah?

KH. Luthfi Bashori/Dok Pribadi
KH. Luthfi Bashori/Dok Pribadi

TIMBUL pertanyaan bolehkah umat Islam melaksanakan ibadah haji di luar bulan Syawwal, Dzul Qa'dah & Dzulhijjah?

Di antara pegangan warga NU non liberal, maka dalam menentukan waktu ibadah haji, seharusnya mengikuti pendapat para shahabat Nabi dan para ulama Salaf Aswaja dalam memahami teks Alquran dan Hadits Nabawi.

Dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 197, Syaikh Ahmad Mustafa al Maraghi dan Imam Ibnu Katsir merujuk kepada hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ibnu Abbas dan Sayyidina Ibnu Umar yang berbunyi:

Dari Sayyidina Ibnu Umar beliau berkata: "Beberapa bulan haji adalah Syawal, Dzulqa'dah dan sepuluh Dzulhijjah."

Sayyidina Ibnu Abbas berkata: "Sebagian dari ajaran Nabi SAW, bahwa diharamkan berniat haji kecuali pada bulan-bulan haji tersebut."

Dengan bersandar pada hadits tersebut, menurut Syaikh Ahmad Mustafa al Maraghi faedah yang dapat diambil adalah ibadah haji tidak dianggap sah melainkan dalam bulan-bulan tersebut. Adapun diperbolehkannya mendahulukan waktu sebelum dilaksanakannya ibadah haji sama halnya dengan masalah bersuci yang dilakukan sebelum melaksanakan shalat.

Syaikh Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya Tafsir Hamasy al-Qur’an al-‘Adzib al-Nuzul wa Qawaid al-Tartil juga menyatakan bahwa al-hajj asyhurun ma‘lumat adalah menunjukkan waktu pelaksanaan haji yakni bulan Syawal, Dzulqa'dah dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. 

Adapun bagi Muslim yang berniat haji pada waktu sebelum bulan-bulan tersebut, maka niat ihram Haji berubah menjadi ihram Umrah.

Merujuk ajaran Mbah Hasyim Asy'ari, baik yang tertera dalam kitab karya beliau, maupun sikap keagamaan Mbah Hasyim dalam mengambil qaul mu'tamad, untuk menentukan sikap keagamaan warga NU dalam mengamalkan hukum fiqih.

Dalam sanad keilmuan, Mbah Hasyim Asy'ari sebagai alumni mukimin Makkah itu, pada priode tertentu, ternyata beliau satu Sanad keilmuan dengan guru utama saya, Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Makkah. 

Jadi jika ada yang berkepentingan, maka cukup mudah untuk melacak sanad Mbah Hasyim Asy'ari untuk diamalkan bersama-sama oleh warga NU. Sehingga tidak melenceng kemana-mana, karena rujukan sanadnya melenceng dari keteladanan yang diterapkan oleh Mbah Hasyim Asy'ari.

Namun yang membuat repot, jika di kalangan tokoh/warga NU ada yang merasa lebih hebat, lebih alim dan lebih berhak terhadap NU daripada Mbah Hasyim Asy'ari. Mereka lantas berbuat semaunya sendiri dengan merubah qanun asasi NU tanpa mau merujuk ajaran Mbah Hasyim terutama yang dikhususkan untuk warga Jam'iyyah Nahdhatil Ulama.

Waktu Haji Itu Bukan Tempatnya Berijtihad 

Riwayat dari Sayyidina Jabir bin Abdullah ra, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Ambillah dariku tata cara ibadah atau manasik (haji dan umrah) kamu sekalian” (HR. Ahmad, Muslim, dan an-Nasa’i).

Tentang Wuquf di Arafah 

Inti dari haji itu adalah wuquf di Arafah. 

Sebagaimana telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Ali bin Muhamad, keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Bukair bin Atha. Aku mendengar Abdurahman bin Ya'mar Ad-Dili, ia berkata; "Aku menyaksikan Rasulullah SAW ketika sedang wukuf di Arafah, dan sekelompok orang dari kalangan penduduk Najd mendatangi beliau, mereka bertanya; 'Wahai Rasulullah, bagaimana (cara melaksanakan) haji?' 

Beliau menjawab: "Haji itu adalah Arafah. Maka barang siapa datang ke Arafah sebelum fajar, di malam berkumpulnya manusia, maka telah sempurnalah ibadah hajinya. Hari-hari Mina itu tiga hari, barangsiapa ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tidak ada dosa baginya, dan barang siapa ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari), maka tidak ada dosa pula baginya." 

Kemudian seorang laki-laki di belakang beliau SAW mengiringi ucapannya dan turut menyerukan ucapan tersebut. 

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Abdurrazak, telah memberitakan kepada kami Ats Tsauri dari Bukair bin Atha` Al Laitsi dari Abdurrahman bin Ya'mar Ad Dili] berkata, "Aku mendatangi Rasulullah SAW di Arafah, lalu datanglah seseorang dari penduduk Najd, lalu ia sebutkan hadits tersebut."

Muhammad bin Yahya berkata, "Aku tidak diperlihatkan dari Ats Tsauri sebuah hadits yang lebih baik dari ini."

Wuquf di Arafah Hanya Tanggal 9 Dzulhijjah 

Dari Uqbah bin Amir, Rasulullah SAW bersabda, “Hari Arafah (tanggal 9), Idul Adha (tanggal 10) dan tiga hari Mina (hari Tasyriq tgl 11, 12, 13 Dzulhijjah) adalah hari raya untuk umat Islam, kesemuanya adalah hari untuk makan dan minum.” (HR. Turmudzi, Nasai, Ibnu Majah).

Jadi untuk penentuan Hari Arafah, Idul Adha dan bermalam di Mina harus ikut petunjuk Nabi SAW, dan bukan tempatnya untuk didiskusikan dengan nalar atau rasio atau otak masing-masing dari umat Islam.

Sebagai ilustrasi, seperti juga kewajiban umat Islam melaksanakan shalat Jumat berjamaah bagi kaum Muslimin, adalah perkara doktrinasi agama, waktunya tidak bisa ditawar-tawar. 

Misalnya jika ada pihak yang ingin berinovasi dengan berpikir secara rasio, dengan alasan agar masjidnya tidak terlalu penuh, khususnya di musim pandemi, maka separuh dari jamaah masjid itu diperbolehkan melaksanakan shalat Jumat di hari Sabtu.

Jika itu yang terjadi, maka bukan lagi namanya shalat Jumat (Jumatan) tapi menjadi Sabtuan.

Apa hanya karena ingin menuruti hawa nafsunya belaka, hingga berani mengatur-ngatur sendiri ajaran Syariat, dengan tujuan agar cocok dengan selera akal pikirannya semata, bukan menggunakan akal pikiran sehat yang taat mengikuti aturan Syariat?

Berkut ini secara ringkas amalan haji:

1. Ihram, yaitu berpakaian ihram serta berniat haji.

2. Wukuf di Arafah pada 9 Zulhijah, yakni hadirnya seseorang yang berihram untuk haji sesudah matahari tergelincir yaitu pada hari ke-9 Zulhijah.

3. Thawaf, yaitu thawaf untuk haji.

4. Sai, yaitu berlari lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali.

5. Tahallul, artinya mencukur atau menggunting rambut sedikitnya tiga helai untuk kepentingan ihram.

6. Tertib, yaitu berurutan antara semua rukun haji.

Selain rukun haji, para jama'ah juga harus memperhatikan wajibnya haji, atau amalan yang harus dilaksanakan di bulan-bulan haji. Apabila tidak dilaksanakan, maka akan dikenai dam/denda.

Wajibnya haji ada 6 perkara, yaitu:

1. Ihram atau niat berhaji mulai dari miqat (batas yang ditentukan).

2. Mabit (bermalam) di Muzdalifah pada malam hari Raya Haji.

3. Melontar tiga Jumrah, yaitu : Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah.

4. Mabit (bermalam) di Mina.

5. Thawaf Wada (Thawaf perpisahan).

6. Menjauhkan diri dari larangan atau perbuatan yang diharamkan dalam Ihram seperti:

a. Bagi pria dilarang memakai pakaian berjahit.

b. Dilarang menutup kepala bagi pria dan menutup muka bagi wanita

c. Dilarang membunuh hewan buruan.

d. Dilarang memotong kuku.

e. Dilarang memakai wangi-wangian.

f. Dilarang mengadakan akad nikah.

g. Dilarang bersetubuh.

h. Dilarang memotong rambut atau bulu badan yang lain.

Sebagai catatan khusus Thawaf Ifadhah, yaitu syarat bagi suami-istri yang ingin bersetubuh, maka wajib melaksanakan Thawaf Ifadhah terlebih dahulu, dalam rangkaian ibadah Haji di bulan-bulan tersebut.

Kecuali bagi jamaah Haji yang tidak mempunyai istri (tidak perlu bersetubuh), maka boleh menunda waktu Thawaf Ifadhah, bahkan boleh hingga sudah keluar dari bukan Dzulhijjah.

Tulisan ini dalam rangka menyikapi pendapat Masdar F Mas'udi yang mengusulkan untuk diperbolehkannya berhaji selain dalam 3 bulan yang sudah dimaklumi oleh umat Islam selama ini.

Penulis adalah pengasuh pesantren Ribath Almurtadla & Pesantren Ilmu Alquran (Singosari-Malang)