Jokowi Diminta Batalkan Raperpres UKP-PPHB

Ketua Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) Maria Catarina Sumarsih/Net
Ketua Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) Maria Catarina Sumarsih/Net

Korban kasus pelanggaran HAM berat hanya menghendaki penyelesaian kasus melalui proses yudisial. Penyelesaian secara non yudisial merupakan langkah impunitas negara Indonesia yang merupakan langkah hukum.


Begitu tegas Ketua Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) Maria Catarina Sumarsih, yang juga ibunda dari Bernardus Realino Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Atma Jaya Jakarta yang meninggal dengan luka tembak di kampus saat Tragedi Semanggi I tahun 1998.

Atas alasan itu juga, Sumarsih mendesak pemerintah membatalkan Rancangan Perpres Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat (UKP-PPHB).

Bagi Sumarsih, yang setiap Kamis memakai pakaian serba hitam dan memimpin aksi di depan Istana Negara, pijakan perjuangannya adalah Pasal 21 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Pada Pasal 21 ayat 1 ini ditegaskan bahwa penyidikan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Sementara pada ayat 3 disebutkan, dalam pelaksanaan tugasnya, Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik adhoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan/atau masyarakat.

Dengan pijakan itu, Sumarsih menolak adanya pembentukan tim yang nantinya menggarap kasus ini melalui mekanisme non yudisial.

“Batalkan Rancangan Perpres UKP-PPHB. Laksanakan mandat UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Adili jenderal pelanggar HAM berat masa lalu di meja pengadilan HAM adhoc,” begitu tuntut Sumarsih lewat akun Twitter pribadinya, Jumat (25/6).

Sumarsih mengingatkan kembali janji kampanye Presiden Joko Widodo. Dalam janji itu, Jokowi menyatakan komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Jokowi, sambungnya, juga tegas menyatakan komitmen untuk menghapus segala bentuk impunitas atau tindakan yang mengabaikan tindakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia.

Pembentukan UKP-PPHB memang sedang dipersiapkan bersamaan dengan landasan hukumnya, yaitu Rancangan Peraturan Presiden tentang UKP-PPHB.

Unit kerja ini dibentuk untuk memulihkan hak korban pelanggaran HAM Berat melalui mekanisme non yudisial, agar para korban dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi atas peristiwa pelanggaran HAM berat yang menimpanya di masa lalu.

Upaya ini digadang sebagai sebuah terobosan oleh pemerintah, khususnya Kemenkumham. Sebab, penyelesaian melalui mekanisme yudisial terhadap pelanggaran HAM Berat yang terjadi di masa lalu seperti menemui jalan buntu. Di satu sisi para korban belum pernah mendapatkan haknya karena pemulihan kondisi korban beserta ahli warisnya dan pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi hanya dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum mengikat.