Prof Nazarudin Umar dan Kesiapan Kader PMII Pimpin PBNU

Prof Nazarudin Umar/Net
Prof Nazarudin Umar/Net

KERESAHAN warga Nahdlatul Ulama (NU), baik kultur maupun struktur soal Muktamar ke-34 akhirnya terjawab melalui Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konfernsi Besar (Konbes) yang diselenggarakan di Hotel Grand Sahid, Jakarta Pusat, Sabtu (25/9).

Keresahan tersebut sangat rasional, mengingat Muktamar adalah forum tertinggi dalam pengembilan kebijakan NU dalam merumuskan arah pergerakan organisasi. Salah satunya adalah pemilihan nahkoda baru di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU).

Setelah bermusyawarah, Ketua Umum Tanfidziyah PBNU dan seluruh jajaran petinggi PBNU sepakat untuk melaksanakan muktamar NU pada Desember tahun 2021.

"Yakni pada tanggal 23-25 Desember 2021, dengan catatan bahwa penyelenggaraan seluruh kegiatan muktamar akan mematuhi protokol kesehatan dan mendapatkan persetujuan Satgas Covid-19 baik di tingkat nasional maupun daerah," jelas Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj M.A. di RMOL.ID (25/9).

Konbes NU merupakan wadah untuk merumuskan keputusan strategis dan fundamental bagi kemaslahatan umat serta keutuhan bangsa dan negara. Sedangkan Munas Alim Ulama membahas dinamika keagamaan yang dihadapi dalam kehidupan umat dan bangsa.

Pokok-pokok pembahasan Konbes NU adalah soal mekanisme pelaksanaan keputusan Muktamar, mengkaji perkembangan program, memutuskan Peraturan Organisasi (PO), dan menerbitkan rekomendasi.

Sedangkan Munas Alim Ulama yaitu Bahtsul Masail ad-Diniyyah al-Waqi’iyyah (pembahasan persoalan keagamaan aktual), Bahtsul Masail ad-Diniyyah al-Maudlu’iyyah (pembahasan problem keagamaan tematik) dan Bahtsul Masail ad-Diniyyah al-Qonuniyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan berkaitan dengan perundang-undangan).

Setelah pelaksanaan Munas Alim Ulama dan Konbes NU digelar, fokus warga NU berpindah kepada sosok bakal calon yang nantinya akan memimpin NU.

Tentu tidak sulit mencari sosok yang memiliki kapasitas keilmuan dan kepemipinan untuk menyongsong kemajuan serta menyambut 100 tahun NU. Bahkan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU saat ini KH Said Aqil Siroj dianggap sebagai salah satu calon yang cukup kuat untuk memimpin kembali Nadhlatul Ulama.

Salah satu indikatornya yang menjadi dasar diusung kembali, Kiai Said dinilai berhasil mendorong kemajuan pendidikan di lingkungan NU, khususnya bidang perguruan tinggi.

Selanjutnya, Kiai Said memiliki konstribusi yang konkret dalam bidang perdamaian internasional, bahkan beliau beberapa kali dinobatkan sebagai tokoh paling berpengaruh di dunia bersama dengan Habib Luthfi bin Yahya.

Pembahasan soal sosok yang pas memimpin PBNU semakin dinamis setelah Mantan Ketua PB PMII Hery Haryanto Azumi menyampaikan bahwa kader PMII harus siap jadi Ketua Umum Tanfidziyah PB NU dan Presiden Indonesia.

Pernyataan Hery itu disampaikan saat menjadi narasumber dalam acara pelantikan PW IKA PMII Bali bebera minggu yang lalu.

PMII secara kelembagaan, khususnya PB IKA PMII harus berperan aktif dalam helatan mukhtamar NU ke-34. Pasalnya, satu-satunya organisasi yang memiliki kaitan langsung secara keilmuan dengan NU adalah PMII.

Jelas dalam AD/ART PMII disebutkan bahwa keislaman adalah nilai-nilai Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah An Nahdliyah.

Umur PMII yang telah menginjak 61 tahun, sudah sangat matang untuk merekomendasikan kader terbaiknya memimpin PB NU. Mulai tingkatan regional hingga nasional, PMII memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang mapan untuk memimpin perahu besar NU.

Tokoh PMII dibidang politik ada Abdul Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB/Mantan Ketua Umum PB PMII), Nusron Wahid (Politisi Partai Golkar/Mantan Ketua Umum PB PMII), Akhmad Muqowam (Politisi PPP), dan banyak lagi deretan kader PMII sebagai politisi.

Sedangkan dibidang intelektual keagaman ada Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A (Imam Besar Masjid Istiqlal), Dr. Ali Masykur Musa, M.Si, M.Hum. (Mantan Ketua PB PMII), KH. Marsudi Suyud (Ketua PBNU), Hery Haryanto Azumi (Mantan Ketua PB PMII) dan masih banyak kader PMII yang berpotensi.

Potensi kepemimpinan di tubuh PMII tentu harus dikonsolidasikan dengan baik dan komprehensif. Sehingga dapat menghasilkan sebuah kekuatan dalam perbutan kursi Ketua Umum Tanfidziyah PB NU melalui mukhtamar ke-34 mendatang.

Perlu pemetaan yang terukur dalam mendorong kandidat, beberapa indikator yang harus dipertimbangkan adalah kapasitas keilmuan dan ulamaan, kapasitas kepemimpinan, kapasitas jejaring (baik nasional maupun internasional), kapasitas pemahaman terhadap pasantren, dan peneriman warga NU di tingkat kultur.

Jika dianalisa antara kader PMII dibidang politik dan intelektual keagamaan, keduanya akan menghasilkan arah yang berbeda dalam memimpin NU.

Jika dilihat dari tujuan NU yaitu menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di negara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),  maka PMII harus mempersiapkan kader yang memiliki pemahaman soal keagamaan yang kaffah.

Dengan syarat itu, kader PMII akan mampu menumbuhsuburkan pemahaman keagaman yang moderat, selama ini menjadi citra NU. Dan nampaknya, kecenderungan warga NU, baik struktur dan kultur masih mengimani agar PBNU dipimpin oleh sosok ulama yang memiliki kapasitas intelektual keagamaan yang mapan.

Pemahaman Islam moderat tidak hanya menjadi perekat bagi NKRI yang memiliki suku, bahasa, kepercayaan dan budaya yang berbeda-beda.

Banyak Negara, baik Timur Tengah hingga Barat datang ke Indonesia mempelajari pemahaman ke-Islam-an NU untuk dijadikan role model di Negaranya masing-masing.

Mengingat perkembangan radikalisme dan ekstrimisme cukup pesat di berbagai belahan dunia ini, tidak terkecuali Indonesia. Ini pulalah yang harus dijadikan pertimbangan, mengapa kader PMII harus memimpin kembali PB NU.

Apabila dilihat dari deretan kader PMII yang saya sebutkan sebelumnya, kemudian dikaitkan dengan indikator yang harus dimiliki oleh sosok pemimpin PBNU, maka yang memiliki kapasitas adalah Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A, tentu dengan tidak mengesampingkan kapasitas kader PMII yang lainnya.

Bahwa seluruh elemen dan SDM yang dimiliki oleh PMII harus terkonsolidasikan dengan baik dan terukur. Misalnya, kepada seluruh kader PMII yang saat ini memimpin NU mulai dari tingkatan Pengurus Wilayah (PW), Pengurus Cabang (PC), Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) dan Pengurus Ranting (PR).

Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A adalah ulama karismatik asal Bone, Sulawesi Selatan yang lahir di Ujung 23 Juni 1959. Meraih gelar sarjana muda dan lengkap di Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Ujung Pandang 1980 dan 1984. Di kampus tersebutlah (saat ini UIN Alauddin Makassar) beliau mulai berproses dalam PMII.

Pada saat ber-PMII, mantan Wamenag ini aktif melaksanakan kaderisasi PMII di Makassar, menjalankan sejumlah program, sosial kemasyarakatan, pendidikan, dan program lainnya. Hingga pernah suatu waktu Prof Nazar harus menjual motornya, karena kekurangan dana saat kaderisasi dan digunakan juga untuk sejumlah kegiatan.

Sampai saat inipun, Prof Nazar masih mencurahkan perhatiannya terhadap pengembangan kader PMII seluruh Indonesia, bahkan beliau masih sering meluangkan waktu untuk mengisi kegiatan kaderisasi PMII mulai dari Pelatihan Kader Nasional (PKN) hingga Pelatihan Kader Lanjutan (PKL).

Kapasitas keilmuan dan ulamaan beliau tidak diragukan. Studi pascasarjananya diselesaikan di IAIN/ UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan mendapatkan gelar Magister tanpa tesis (1992) serta doktoral (Ph.D) (1998) sebagai alumni terbaik.

Selama menempuh pendidikan doktoral, beliau menjadi mahasiswa yang menjalani Program Ph.D di Universitas McGill, Montreal, Kanada (1993-1994), dan Universitas Leiden, Belanda (1994-1995), mengikuti Sandwich Program di Paris University, Prancis (1995).

Setelah menyelesaikan program doktoralnya, Prof Nazar menjadi sarjana tamu di Shopia University, Tokyo (2001), University of London (2001-2002), Georgetown University, Washington DC (2003-2004) dan Islamic Study Center Bellagio, Milan, Italia, (2005). Tanggal 12 Januari 2002 dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Tafsir Pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Telah menerbitkan lebih dari 30 buku, di antaranya: Argumentasi Kesetaraan Jender (Perspektif Al-Quran), Teologi Perempuan, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis, Rethinking Pesantren, Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminin, Shalat Sufistik, Geliat Islam di Negeri Non-Muslim Dunia, Geliat Islam di Amerika, dan Jihad Melawan Religious Hate Speech.

Prof Nazar juga penulis beberapa entri di dalam Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Al-Quran, dan Ensiklopedi Islam untuk pelajar. Serta, aktif sebagai Penceramah Agama (tasawuf) di masyarakat & Narasumber Program-Program Dakwah Islam di TVRI dan beberapa TV Swasta, juga Radio.  

Kapasitas kepemimpinan Prof Nazar bisa ditelusuri dari berbagai jabatan strategis yang pernah diemban. Pada bidang pendidikan, pernah menjadi Wakil Rektor III IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Program Studi Agama dan Perempuan, Bidang Kajian Wanita Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur'an sampai sekarang dan Asesor Badan Akredaitasi Nasional Perguruan Tinggi.

Di bidang birokrasi pernah menjabar Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Wakil Menteri Agama Republik Indonesia, dan Imam Besar Masjid Negara Istiqlal.

Sedangkan pada organisasi kemasyarakatan dan keagamaan: Ketua Dewan Syuro Ikhwanul Muballighin Indonesia, Sekretaris Dewan Pembina PB As’adiyah, Mustasyar PB NU, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, Ketua Umum Ittihad Persaudaraan Imam Masjid Indonesia, dan Ketua Umum Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4).

Kiprah Prof Nazar dalam organisasi internasional dan perdamaian internasional yaitu sebagai Anggota Dewan Penasehat pada Komplek Raja Salman bin Abdulaziz Al-Sau'ud untuk Hadis Nabi, Pendiri Universal Peace Federation dan Dewan Pendiri Masyarakat Dilaog Antar Ummat Beragama.

Kapasitas jejaring beliau dalam nasional maupun internasional sangat kuat. Khususnya jaringan organisasi lintas agama dan pendidikan di dunia internasional. Pernah menerima Piagam Penghargaan dari International Human Resources Develeopment Program (IHRDP) sebagai International best Leadership Award (IBLA) dan Asean Bset Executive Award.

Kapasitas pemahaman terhadap pesantren adalah salah satu indikator penting untuk memimpin NU, mengingat basis NU merupakan pasantren. Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A memiliki pemahaman yang sangat mapan soal dunia pasantren, terbukti dari kemajuan pasantren yang beliau rintis dari nol bersama kedua orang tuanya di Bone, Sulawesi Selatan, hingga saat ini telah menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing tinggi.

Pondok Pesantren Al-Ikhlas Ujung didirikan pada tanggal 18 September 2000, saat ini sudah didirikan dan dilakukan pengembangan pembangunan cabang diberbagai provinsi.

Misalnya di Sulawesi Tenggara tepatnya di Konawe telah beroprasi sedangkan di Baubau dalam proses pembangunan, Banten di Pandeglang juga sudah beroperasi, sedangkan di Jawa Barat Cianjur, Kalimantan Utara, Lampung dan Sulawesi Barat masih dalam proses pembangunan dan pengembangan.

Peneriman warga NU di tingkat kultur dan struktur pada sosok Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A sangat kuat. Karena karismanya yang teduh dan rendah hati membuat banyak warga NU hingga akar rumput takzim kepadanya.

Cara komunikasi dan sikap mengayominya membuat beliau juga diterima olah warga NU diwilayah struktural. Ini merupakan modal besar bagi beliau dan PMII untuk ikut berpartisapasi dalam perebutan pimpinan PBNU di mukhtamar ke-34 bulan Desember mendatang.

Dari indikator yang telah saya jelaskan di atas, maka sosok Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A selaku kader PMII memiliki potensi yang sangat besar untuk memimpin PBNU. Imam Bear Masjid Istiqlal itu memiliki kapasitas yang mapan untuk menahkodai NU, termasuk melanjutkan capaian kinerja yang telah dilakukan oleh Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj M.A.

Jika dilihat dari sejarah kepemimpinan NU, Tokoh NU Sulawesi Selatan memiliki riwayat dan konstribusi besar dalam kemajuan NU. Sebut saja AG. KH. Ali Yafie adalah ulama fiqh pernah menjabat sebagai pejabat sementara Rais Aam (1991-1992) dan sampai saat ini karisma beliau di NU sangat kuat dan disegani oleh banyak ulama di Indonesia dan dunia.

Untuk mewujudkan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU dari kader PMII harus dilakukan konsolidasi yang masif dengan mengerahkan semua potensi yang dimiliki PMII untuk mendorong Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A sebagai calon Ketua Umum Tanfidziyah PB NU.

Semua elemen di PMII harus terlibat, mulai dari kader dibidang politisi, akademisi, birokrasi, profesional hingga mahasiswa harus bersatupadu dan seirama untuk melahirkan sebuah kekuatan untuk memenangkan kader PMII.

Kenapa ini harus dilakukan? Agar PMII tidak kehilangan posisi strategis di PBNU, mengingat salah satu kandidat yang mencuat menjadi calon Ketua Umum Tanfidziyah adalah kader HMI.

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi dan Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia