Sedap Kulineri Deli Jangan Dimonopoli: Ini (Bukan) Filsafat

Muhammad Joni/RMOLSumut
Muhammad Joni/RMOLSumut

Majelis Pembaca yang berselera tinggi. Banyak jenis dan ragam ikhwal makanan khas Deli.  Yang menggiurkan lidah dan yang menjaga inci demi inci selera tinggi.  Yang riasan dan tampilannya stedi. 

Sebut saja kilauan minyak kuah lontong malam Medan Johor. Adonan bumbu nenas, cabai dan kacang di mangkok merah kerang rebus Pak Ripin Simpang Limun. Rimbunan Durian Pelawi yang hanya dua kualifikasi: enak dan enak kali. 

Rasakan kuatnya aroma rempah Mie Aceh Titi Bobrok --yang cuannya tak  bobrok. Rujak kolam raja yang lapaknya berjejer tanpa silang sengketa,  dan peniaganya rajin menyapa walau pilkada masih lama. Sate kerang tak pelit bumbu ada di mana-mana saja, dan di malam apa saja, asal mampu buka bola mata. 

Perkasanya rongga mulut ketika menyedot sop tulang sumsum Pulo Brayan, yang makin sedap dihajar kala hujan. Mie rebus udang Tanjungpura, paling juara harga dan murah meriah harganya,  walau promosinya masih selow-selow aja. Hallow Menteri Sandiaga. Ditunggu resep gercep-nya.

Daftar kulineri itu masih panjang dengan:  mie balap, martabak telor, sate padang simpang Bata, sate memeng Jalan Irian, roti canai dan putu mayam kampung Madras, xxx, yyy, zzz, ….., ….., dan kopi Aceh menggenapinya. Kalau kedan pembaca punya daftar lainnya,  silakan dimainkan ya. 

Saat senggang. Sang mood berkumandang menjulang-julang. Patik menyisakan kepingin hati. Mengiat-giatkan serenceng tulisan  ihwal kulineri aseli Medan. Sebagai narasi ala filmisasi kulineri Deli. Sembari menggoyangkan kaki tipis-tipis, pengaruh dendang dinamis lagu Melayu Serampang XII. Bukan karena lutut lenguh.

Walaupun di paragraf atas tadi dipakai nama kota Medan  --yang  wilayah Melayu dan dulunya ibunegeri Deli--  bukan berarti semua daftar menu makanan tadi aseli dari Deli. 

Karena Medan tentu saja tak sekedar melanjutkan Glory History Deli, tetapi persintuhan, persinggahan, integrasi dan harmoni daerah jiran kanan dan kiri. 

Sebut saja Langkat, Serdang Bedagai, Asahan, Tanjung Balai, Karo dan Tapanuli, Nias. Masih banyak lagi kaum dan etnik,   yang semua akur harmoni  tinggal  di Deli. Warga suku Jawa pun "Pujakesuma"  masuk teratas jumlahnya. Malah kawan saya Sujono --anak kota Perdagangan dan berdinas di Kanwil BPN Sumatera Utara--   sudah Medan kali pun tutur bahasanya. 

Bisa disusun sebagai hipotesis,  itu sebab di Medan banyak Ketua. Surplus Ketua itu saya pahami sebagai keuntungan sosial. Tak cuma modal sosial. Janganlah dianggap beban sosial. Pandai lah sikit-sikit bahasa  maragam-ragam puak pun  etnik. Tuan dan Encik Puan pasti tergelak dilanda cuan!  

Meminjam Donald Black, sang profesor sosiologi hukum Universitas Virginia yang menulis 'The Behavior of Law'--  katanya hukum itu dinamis salah satunya karena banyak organisasi: interaksi sosial. Setuju dengan Tuan Black, maka Lawyer semangkin dibutuhkan. Dimana ada masyarakat,  di sana perlu advokat. Analog dengan: Ubi Sociatas Ibi Ius,  artinya dimana ada masyarakat di sana ada hukum. Banyak kawan saya semula dokter,  farmasis dan jurnalis,  masuk kuliah hukum.   

Kita lanjutkan sedikit lagi. Siapkan setangkup kopi Gayo Long Berry.  Setakat nanti perjalanan merampungkan proyek Demokrasi Kulineri  aseli Deli,  pada bagian  bab “Berjuta-juta Selera”, amba berencana mewawancarai kawan saya SMA Tanjungpura bernama Lina Darus, sang toke/owner dan pemegang merek “SKD”: Sop Kambing Datok di kawasan Ringroad --yang moncer bak pangkalan kulineri Deli. Juga,   mencatat kata demi kata makcik, cik puan, uwak, andong, unyang, pun orang-orang tua pemegang resep rahasia milik keluarga,   dan siapa saja yang baik hati dan berminat tinggi membukanya demi era digjaya Demokrasi Kulineri. Sebut saja Glory Cullinery Deli. 

Ini ikhtiar untuk menggali lagi belasan, lusinan, mungkin puluhan bahkan ratusan jenis dan resep rahasia kulineri aseli versi andong dan unyang yang belum berkumandang. Tentu, selain resep “SKD” itu. Hendak menjadikannya milik publik. Pasti makin dibeli publik.  Menyajikannya sebagai sensasi menu kulineri. Pasti dicari penggemar sensasi.   Patik hendak mencatatkannya --secara hukum formal-- sebagai Budaya tak Benda. Misinya:  menjadikan resep kulineri tak lagi sepenuhnya rahasia. Ya.. tentu saja hak tradisional harus dijaga-jaga. Jangan lah rendang dicatatkan milik Jepang. Serampang XII milik Vietnam. Menjaga agar resep kulineri itu maslahat bagi semua, termasuk jejak hak tradisionalnya.

Juga, agar cuan berguna bagi mereka saudara puak bangsa kita. Sang  seniman selera dan penjaga budaya tak benda. Jangan sampai hanya Kolonel Harland David Sanders saja.  Demokrasi Kulineri ini perkakas bagi misi diplomasi dan demokrasi ekonomi kerakyatan. 

Selain maksudnya hendak mendemokrasikan resep kulineri alias going public. Juga, menjadikan pasar cq. konsumen penggemar kulineri makin tergila-gila surplus bahagia ikhwal cita rasa. Membangkitkan denyut nadi ekonomi kuliner aseli Deli.

Seperti sensasi olah pikiran, sensasi kulineri perlu terbuka. Membangkitkan Demokrasi Kulineri dan kulineri yang demokratis, yang tak lagi dimonopoli. Rasa enak dan cita sedap kulineri tak elok etiks jika dimonopoli  --demi memperkaya diri dan mendonasi untuk menembaki saudara kita sendiri, seperti merek-merek kopi asing itu. 

Bergerak dari aras owning kepada sharing, mengadaptasi konsep business sharing. Apatah pernah "memakan"  buku Alex Stephany 'The Business Sharing: Making it in The New Sharing Economy'?

Selera itu jujur.  Jujur sebenarnya patik berselera hendak mewartakan betapa Deli dan apatah lagi Langkat sangat kaya raya dengan cita rasa kulineri berselera. Kulineri yang berdandan dalam tampilan dan rasa.  Yang bersiap menjadi jawara dan kiblat “demokrasi kulineri”. Termasuk getuk, yang membuatnya seperti lakon menggebuk. Demokratiskah main gebuk? 

Sedapnya kulineri itu, sekali lagi,  jangan dimonopoli. Yok menjadi dispora penjaga selera. Ya.. sebagai misi Demokratisasi Kulineri a.k.a sajikan makan bergizi yang bermisi mencerdaskan kehidupan bangsa. Perangi stunting. Ini bukan filsafat. Hanya selera yang harus dirawat. 

Seperti akal yang menalar, selera yang berkelas adalah anugerah ampuh dan cetar menambang dolar. Budaya tak benda itu jangan dibunuh. Siapa mau ikut sensasi kulineri Deli? Kita meningkat sampai  mendai ke Langkat: The Heart of Melayu. Tabik.

Penulis merupakan advokat yang juga pegiat Advokasi Demokrasi Kulineri