Ali dan Hewan Kurban

INI kisah nyata. Kisah pengalaman teman saat meliput di hari kurban. Bukan prosesi ibadah shalat Ied yang diliput, atau prosesi penyembelihan hewan kurban, melainkan wawancara dengan hewan kurban yang hendak disembelih.


Saya sempat berpikir, apakah si Ali mau cari angle berbeda. Bagaimana cara Ali berkomunikasi dengan hewan? Apakah dia memiliki ilmunya Nabi Sulaiman AS, atau setidaknya dia punya kemampuan seperti Dr Dolittle untuk berkomunikasi dengan hewan.

Ah, ngawur.

Tapi memang benar. Hasil peliputannya kemudian dimuat di surat kabar. Saat dibaca, muncul kejenakaan. Cara Ali wawancara dengan hewan kurban membuat semua orang terpingkal-pingkal. Intinya, semua pertanyaan si Ali hanya satu jawaban dari ‘narsumnya’, yaitu ‘mbek’.

Sejak itu setiap peringatan Idul Adha yang jatuh pada 10 Zulhijah, saya selalu teringat si Ali. Peristiwa besar itu, maha dahsyat, maha agung, yaitu ketika Nabi Ibrahim AS mengorbankan putranya untuk Allah, kemudian sembelihan itu diganti dengan domba, atau dikenal dengan hari ‘hajian’, oleh Ali dibuat begitu mudah dan jenaka.

Idul Adha memang unik dan menarik. Apalagi jika diperingati di Indonesia. Setiap orang bebas menafsirkan. Tentunya sesuai kaidah Keislaman.

Ada dua makna yang penulis petik dari peringatan Idul Adha atau Idul Kurban.

Pertama
, memahami makna pengorbanan Nabi Ibrahim, yakni pengorbanan keluarga, pengorbanan agama, dan pengorbanan bangsa.

Apakah kita siap berkuban? Siap tidak siap harus siap. Sebab intinya dari pengorbanan adalah keikhlasan. Ketaatan pada Tuhan.

Hampir setiap hari kita berkurban untuk kepentingan pribadi, kepentingan agama, maupun kepentingan negara.

Setiap orang berkurban untuk agamanya, mengorbankan waktu untuk menjalankan shalat wajib dan sunnah. Berkurban membela yang haq dan melawan yang batil.

Setiap orang berkurban untuk pribadi dan keluarganya, menafkahi keluarga, mensejahterahkan keluarga, membawa keluarga dalam kehidupan yang berkah.

Setiap orang berkurban untuk negaranya, berkurban mempertahankan kedaulatan NKRI, bahwa tanah dan air dikuasai oleh rakyat dan untuk kemakmuran rakyat. Jangan sampai tanah dan air kita diprivatisasi pihak asing. Itu yang terjadi saat ini.

Kedua, Idul Adha adalah mengenai doa Nabi Ibrahim, robbij'al haadzal balada aaminan. Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah SWT agar negeri ini berada dalam keadaan aman.

Ya, berkurban tidak cukup dari rakyat. Semua pihak termasuk pemerintah harus ikut berkurban. Bagaimana membuat negara menjadi aman, makmur dan sentosa, seperti yang dicita-citakan para founding fathers.

Tidak akan ada aman tanpa iman. Tidak ada iman jika negara tidak aman. Negara yang selalu bertikai, orang-orang di dalamnya selalu berprasangka buruk, orang-orangnya saling menjatuhkan dan merasa paling benar sendiri, menyebarkan fitnah dimana-mana, justru menjurus pada kehancuran.

Jika pertikaian terus-terusan dikelola hanya untuk menciptakan permusuhan, sementara kita ikut terjerumus dalam pertikaian tersebut, maka jangan mengklaim bahwa kita telah berkurban.

Sejujurnya negara ini dan orang-orang di dalamnya sudah cukup lama berkurban. Berjuang. Berperang. Berdarah-darah. Menangis. Menderita. Pada hari raya Idul Adha ini, mari kita ciptakan kejenakaan dari setiap pengorbanan yang sudah kita lalui.

Ali benar, janganlah kita ‘mengembik’ pada setiap keadaan. Tapi, bagaimana menciptakan keadaan tersebut menjadi pengorbanan yang berguna bagi semua orang.  

Segenap keluarga besar mengucapkan selamat Hari Raya Idul Adha 1440 H.

Noviyanto Aji

Wapemred

 

Â