Tagih Janji Kembali Afirmasi Politik

Sri Meisista/ ist
Sri Meisista/ ist

BEBERAPA waktu lalu sejumlah aktivis perempuan protes terhadap Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Pemicunya adalah Pasal 8(2) yang memangkas jumlah caleg perempuan di setiap daerah pemilihan sehingga berdampak pada berkurangnya keterwakilan perempuan pada pemilu parlemen 2024. Undang-Undang Pemilu Nomor Nomor 7 Tahun 2017 mengatur daftar calon harus terdiri dari minimal 30 persen perempuan. 

Aturan baru KPU menyebutkan, jika terdapat angka desimal dalam penghitungan kuota perempuan, maka akan dibulatkan ke bawah ke desimal kedua jika kurang dari 50, dan dibulatkan ke atas jika 50 atau lebih. Misalnya angkanya 4, maka 30 persen adalah 1,2 dan otomatis dibulatkan menjadi 1.

Jauh dari harapan, sekalipun reformasi sudah mengamanatkan ide itu menurut amandemen UUD 1945. Konstitusi mengubah pasal-pasal termasuk Pasal 28H ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh fasilitas dan perlakuan khusus serta mempunyai kesempatan yang sama dan manfaatnya. Pasal ini akan dimaknai oleh masyarakat umum sebagai tindakan positif.

Saat menyusun UU Pemilu (2004), ada beberapa opsi. Persentase tertinggi perempuan adalah 50 persen. Memang 30 persen, tapi undang-undang punya sistem yang lebih jelas. Oleh karena itu, (ketentuannya) tidak masuk dalam Peraturan KPU. Karena saat itu kami mengambil 30 persen dari 20 hingga 50 persen seleksi. Idealnya 50 persen karena 50 persen penduduknya adalah perempuan.

Pada masa Reformasi 1998, proporsi perempuan di parlemen adalah 9 persen. Pemilu tahun 2004 yang memperoleh 14 persen, dan pemilu tahun 2009 memperoleh 18,4 persen. Bangkit perlahan, kemudian menurun menjadi 17,6 persen pada

tahun 2014. Kini kembali meningkat menjadi 20,52 persen.

Aura Terulang Lagi

Memang benar bahwa tahun-tahun politik sebelum dan sesudah pemilu mendatang merupakan masa yang sangat penting setelah 25 tahun pasca Reformasi. Namun sayangnya keterlibatan perempuan dalam politik masih dipahami secara simbolis. Perempuan dalam politik masih dilihat sebagai pelengkap jumlah 30 persen sebagaimana aturan yang ada. Keterwakilan substantif yang sebenarnya ingin dicapai justru tidak terjadi. Hal tersebut dapat dilihat mulai dari proses perekrutan hingga hasil yang didapat.

Pelibatan perempuan dalam partai politik tidak dibarengi dengan pendidikan politik yang serius untuk perempuan. Dengan demikian perempuan yang telah lama ditempatkan oleh sistem patriarki hanya sebagai makhluk domestik, akan gagap dalam menjalani perannya secara aktif sebagai politisi. Sulit dan enggan mengeluarkan pandangan pribadinya, bahkan keputusan yang diambil kerap tidak mewakili kepentingan perempuan.

Apalagi jika pandangan dan keputusannya dalam merespon persoalan perempuan seperti kebijakan tentang hak pekerja perempuan, penghapusan kekerasan seksual, kesehatan reproduksi dan persoalan lainya dianggap bertentangan dengan kepentingan partai atau lembaga politik tempatnya berkiprah. Tentu saja akan menyulut pertentangan sengit yang membuat perempuan semakin tidak leluasa untuk berpendapat bahkan dalam menjalankan aktivitas politiknya.

     Anggapan bahwa perempuan hanya makhluk domestik dan penghias dalam politik, membuat perempuan tidak dilihat berdasarkan kemampuannya yang cakap dalam berpolitik. Meskipun beberapa nama perempuan berhasil mendapat pengakuan atas kapasitas dan kapabilitasnya dalam berpolitik, namun secara keseluruhan sistem perempuan masih belum mendapat pengakuan yang sama dalam politik. Untuk sekedar mendapat apresiasi dan persamaan perilaku untuk merespon kinerjanya, perempuan harus berjuang lebih keras mendobrak sistem

politik yang patriarki tersebut.   

Urgensitas

Kita harus benar-benar memanfaatkan dinamika politik yang memberikan kita ruang lingkup yang luas untuk memperkuat partisipasi politik perempuan. Kita perlu berpikir melampaui politik praktis dan pragmatisme politik dan fokus pada kebutuhan dasar .

Pertama, kehadiran perempuan dapat menjadi simbol pengakuan atas kapasitas perempuan sebagai warga negara yang juga memiliki kecakapan di berbagai ranah selain domestik. Kehadiran perempuan dalam politik mencerminkan keadilan  suatu negara (Childs, 2008; Phillips, 1995). Hal ini sejalan dengan prinsip demokrasi yang menjamin kesetaraan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Pasalnya, seperti yang dikatakan Michelle Bachelet (presiden perempuan pertama Chile), “Jika demokrasi tidak melibatkan perempuan, maka demokrasi hanya menjadi pilihan bagi separuh populasi''.

Kedua, perempuan yang menduduki jabatan politik harus dapat memperjuangkan keadilan bagi perempuan dan mampu merespon persoalan diskriminasi terhadap perempuan yang masih menjadi PR besar Negara ini. Karena merekalah yang paling memahami esensi permasalahan perempuan. Terakhir, perempuan diharapkan mampu mengubah gaya politik maskulin ke gaya yang memberikan perhatian serius kepada kebijakan yang lebih berkeadilan gender.

Ketiga, perempuan harus berpartisipasi dalam politik agar masyarakat dapat merasakan rasa memiliki dan berpartisipasi dalam politik. Artinya, dengan demikian kehadiran perempuan dalam politik adalah hal yang penting bagi kehidupan perempuan yang lebih baik.

Keempat, pengakuan peran politik perempuan juga harus dilihat dari luar partai atau lembaga politik lainnya. Nyatanya, hingga saat ini perempuan terlibat aktif dalam berbagai aktivitas politik alternatif. Misalnya, dalam kelompok-kelompok komunitas literasi politik yang dekat dengan lingkup akademis, kelompok pengada layanan bagi para perempuan korban kekerasan, organisasi perempuan yang secara konsisten bekerja untuk hak-hak perempuan di setiap ranah seperti pada isu lingkungan, buruh, pendidikan dan lain sebagainya.    

Ruang Parpol

Partai politik terkesan memberikan akses yang sama kepada setiap eksekutif, namun kenyataannya tidak demikian. Misalnya saja terkait penempatan perempuan pada posisi strategis di partai, merujuk temuan penelitian LIPI tahun 2021 di DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Maluku menunjukkan 92 persen perempuan Jelas terlihat bahwa partai tersebut menduduki posisi strategis.

Urgensitas bahwa nomor urut kecil (1 atau 2) masih  menjadi faktor penting dalam perolehan suara perempuan dalam pemilu. Karena kondisi partai politik seperti ini, tidak mudah bagi perempuan untuk mengakses sumber-sumber kekuasaan. Memang benar, semangat pelibatan perempuan dalam politik harus diakui secara kolektif sebagai kebutuhan yang mendesak.

Perempuan dan laki-laki dalam dunia politik juga mempunyai titik tolak yang berbeda. Menghilangkan Hambatan Laki-laki akan lebih mudah mewujudkan dirinya, termasuk di dunia politik, bila mereka tidak terbebani oleh peran reproduktif dan tugas rumah tangga yang dibangun masyarakat.

Pada tingkat yang lebih ekstrim, relasi kuasa yang timpang bahkan dapat membuat perempuan merasa rendah diri dalam dunia politik. Oleh karena itu, tidak jarang partai-partai politik memasukkan perempuan ke dalam daftar calon mereka pada pemilu parlemen agar tidak ``dikucilkan'' dari daerah pemilihannya.

Dampak dari hambatan langit-langit kaca ini bisa menjadi lebih kompleks dalam penunjukan eksekutif (manajer regional dan bahkan presiden). Meskipun logika pencalonan dan sistem pemilu untuk lembaga eksekutif dan legislatif berbeda, dan kandidat dapat dicalonkan oleh partai politik, gabungan partai, atau individu (dalam kasus pemimpin daerah), tingkat kemenangan dalam pemilu lokal adalah sama.

Meskipun terdapat banyak hambatan bagi perempuan dalam mengejar karir politik, tentu ada cara untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Jika kita berbicara dalam konteks pemilu, setiap perubahan yang melibatkan sistem pemilu dan unsur-unsurnya berdampak pada keterwakilan perempuan dalam politik. Di antara berbagai sistem pemilu yang ada, representasi proporsional dianggap sebagai sistem pemilu yang paling ramah terhadap perempuan (Lijphart dan Aitkin, 1994).

Fakta bahwa beberapa caleg perempuan mengaku harus bekerja ekstra karena harus berkampanye untuk dirinya sendiri, partainya, dan calon presiden dalam pemilu serentak ini. Namun ternyata kampanye multi-tahap ini justru menyebabkan perempuan mengalami flux effect dari pemilu serentak. Strategi ini semakin efektif, terutama bila menyasar pemilih mengambang yang belum terpilih menjadi calon anggota parlemen.

Penulis adalah Formateur Kohati PB HMI 2023-2025