Dua Cabup Banyuwangi Tak Satupun Usung Literasi Dalam Visi-misi

Tunggul Harwanto/Ist
Tunggul Harwanto/Ist

SUASANA menjelang Pilkada 2020 di Kabupaten Banyuwangi sepertinya semakin hangat, terlebih dengan terpilihnya 2 kandidat yang resmi berkompetisi setelah disahkan oleh KPU 23 September 2020. Meskipun masih berada di situasi pandemi dan tren temuan kasus baru terjadi setiap hari, tidak juga menjadikan Pilkada ini ditunda. Padahal sejak tulisan ini dibuat, Banyuwangi masih menyandang kategori sebagai zona merah.

Kini, adu gagasan kedua paslon terus digencarkan baik oleh partai pendukung, tim sukses, simpatisan maupun relawan. Banyak cara yag dilakukan kedua paslon, mulai dari rajin “blusukan” sampai ke gang-gang kampung, meskipun saat itu belum ada jadwal kampanye resmi dari KPU, Memajang baliho-baliho berukuran raksasa ditiap persimpangan, hingga memanfaatkan influenser/buzzer di media sosial untuk menjangkau pemilih pemula serta kaum milenial yang jumlahnya sekitar 40%.

Sebagai bagian dari warga negara, saya merasa perlu melihat lebih detail visi misi kampanye yang dijadikan daya tarik untuk meraup sebanyak mungkin suara saat pencoblosan dibilik suara nanti. Bagi saya, 9 Desember nanti bukan hanya sekedar menunaikan kewajiban untuk mencoblos, tetapi juga tentang kemampuan umat memilih pemimpin yang terbaik dan amanah, karena kelak pilihan tersebut juga dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.

Untuk itu saya akan coba memberi catatan singkat tentang hal-hal yang menurut saya penting untuk menjadi bahan pertimbangan kaum milenial dalam menentukan pilihan kepada kedua paslon. Diantaranya :

1. Kedua Paslon Belum Memprioritaskan Literasi DI Visi-misi

Jangan heran jika di banyak hasil penelitian bangsa kita selalu berada di nomor buncit jika bicara tentang kemampuan literasi. Tentu kita percaya bahwa penyebab Ini semua karena banyak faktor. Selain diperlukan waktu yang cukup panjang untuk membongkar beragam miskonsepsi tentang literasi, sepertinya tak salah juga jika kita menyoroti tentang produk kebijakan yang dihasilkan oleh para penguasa yang belum mendukung ekosistem peningkatan budaya literasi.

Mari sejenak kita lihat hasil riset dari Kemendikbud tahun 2017 yang respondennya siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) di Jawa Timur. Hasilnya, 71,35% kemampuan numerasi peserta didik sangat kurang, sebanyak 30,76% kemampuan membacanya sangat rendah dan 68,83% kemapuan literasi sains sangat kurang. Bagaimana dengan di Bumi Blambangan? Saya belum sempat melakukan riset mendalam soal ini, tapi kami sempat punya survey menarik yang respondennya anak-anak siswa-siswa SMA sebanyak 100 orang. Dimana mereka cukup menjawab 2 pertanyaan kunci. 

Pertama tentang perasaan yang sering kali muncul saat mereka belajar di sekolah. Hasilnya 86% menyatakan merasa stress, 8% menyatakan senang dan 4% menyatakan tidak tahu. 

Kedua, tentang bakat mereka selama belajar di sekolah. Hasilnya, 92% siswa-siswa tidak menemukan bakatnya selama belajar di sekolah, 6% mengetahui bakatnya dan 2% tidak menjawab.

Belum lagi jika kita fokus untuk melihat bagaimana program-program pemerintah terkait peningkatan budaya literasi warga banyak yang tersendat-sendat, mulai dari produk kebijakan yang belum mengakomodir berbagai elemen, baik pemerintah, sekolah, keluarga dan masyarakat yang selama ini terlibat memberi kontribusi nyata bagi kemajuan literasi di lingkungannya.

Terpilihnya Kabupaten Banyuwangi sebagai salah satu penerima penghargaan USAID Prioritas dalam kategori Kabupaten Literasi tahun 2017 memang perlu diuji. Mengapa? sebab sebagian besar kita melihat upaya peningkatan literasi mulai dari pembiasaan hingga pada level pengembangan cenderung hanya bersifat artifisial, lebih didominasi kegiatan yang sekedar seremonial sehingga belum menyentuh hal yang lebih kontekstual.

Misal, adanya Festival Literasi yang diselenggarakan tahunan dalam kalender Banyuwangi Festival masih dirasa belum bisa mendongkrak kamampuan literasi di masyarakat. Bicara soal akses saja, masih banyak sekolah negeri dan swasta kekurangan sumber belajar, baik buku maupun media yang menunjang proses belajar masyarakat. Apalagi kalau melihat komunitas seperti taman baca, rumah baca atau perpustakaan mini yang diprakarsa oleh warga secara mandiri belum sepenuhnya mendapat perhatian dari pemerintah.

Kita bisa cek data Dinas Perpustakaan Kabupaten Banywuangi, saat saya diberi kesempatan untuk duduk bareng menjadi narasumber seminar nasional “Safari Literasi” yang digagas Perpusnas, kita bisa melihat taman baca yang terdaftar di Dinas Perpustakaan hanya sejumlah 34. Padahal Perpustakaan Umum Kabupaten Banyuwangi didirikan pada tahun 1992 melalui Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Banyuwangi Nomor 8 Tahun 1992. Sedangkan kami saja komunitas yang baru bergerak sejak 2014 sudah memiliki anggota jejaring sekitar 50 lebih rumah baca. 

Kami gotong-royong bersama relawan untuk bisa mengisi ruang-ruang kosong yang seharusnya bisa dilakukan oleh pemerintah dengan sebab instansi pemerintah ini punya kemampuan kebijakan dan kemampuan fiskal yang besar.

Ironisnya gerakan literasi justru tidak tumbuh dan lahir dari gedung-gedung mewah dan bertingkat milik plat merah, tapi justru dari gang-gang kampung, musola-musola kecil hingga pekarangan rumah dan teras warga yang oleh pemiliknya merelakan untuk dijadikan rumah baca demi kepentingan warga yang salah satunya bernama anak-anak. 

Mereka yang biasa kami sebut relawan ini bekerja dengan kepedulian dan gotong-royong, sebagian besar sumber belajar didapatkan dari iuran bareng dan donasi dari orang-orang yang peduli dan memahami betapa pentingnya literasi sebagai fondasi pembangunan sumber daya manusia.

2. Anak Putus Sekolah Belum Mendapatkan Layanan Maksimal

Hampir berhubungan dengan situasi diatas, saya pernah punya pengalaman bekerja dengan Kementerian Tenaga Kerja, khusunya di program Pengurangan Pekerja Anak Untuk Mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) di tahun 2019.

Masih terngiang dengan jelas selama 10 tahun terakhir Banyuwangi belum memiliki system informasi yang terpadu untuk melihat situasi demografi khususnya yang berkaitan dengan anak putus sekolah. 

Diawal pelaksanaan program PPA-PKH kami dibekali sejumlah data anak putus sekolah milik Kemenaker, namun 95% sudah tidak valid. Sehingga kami bersama relawan harus turun langsung hingga level RT dan Dusun di 5 Kecamatan, belum semua kecamatan karena keterbatasan tenaga dan waktu. Hasilnya lebih dari 40 anak-anak putus sekolah kami temukan, yang awalnya di level desa data tersebut pun sulit untuk diakses karena aparatur desa pun tidak memiliki informasi tersebut.

Lalu, apa kabar Garda Ampuh? Sebuah terobosan bagus yang menurut saya patut untuk kita apresiasi untuk memastikan pemerataan akses terhadap hak pendidikan anak-anak Banyuwangi. Sepertinya inovasi yang sudah mendapatkan 4 jempol dari Kemenpan ini belum bisa efektif untuk memfasilitasi anak-anak putus sekolah.

Menariknya, saat acara pembuakaan Program PPA-PKH, saya sempat mengundang Kepala Disnaker untuk hadir melihat dan membuka acara namun diwakilkan oleh Kabid Ketenagakerjaan. 

Beliau sempat kaget, kenapa rumah baca yang lokasinya di bawah kaki Gunung Remuk bisa bekerjasama langsung dengan Kementrian Tenaga Kerja untuk membantu anak-anak putus sekolah kembali memiliki kesempatan yang sama tentang mimpi dan masa depannya seperti anak-anak yang ada di sekolah regular. 

Bahkan secara jujur dalam sambutannya, Disnaker juga belum memiliki data tentang anak-anak putus sekolah. Jangankan memiliki data, bidang yang menangani anak-anak putus sekolah saja belum dibentuk atau bahkan tidak ada.

Terlepas dari itu semua, terlebih di masa pandemi ini, kami bersama relawan pengelola rumah baca akan terus berkomitmen menjadikan rumah baca sebagai ruang belajar yang merdeka, ramah dan nyaman bagi semua anak. Ada segudang masalah yang jika kita mau duduk bersama, perlahan masalah tersebut bisa kita urai melalui kerja-kerja kolaborasi.

3. Belum Ada Komitmen Tentang Isu Lingkungan (Sampah)

Benarkah Festival Kali Bersih bisa menyulap banyak sungai di Banyuwangi bebas dari urusan sampah? Pasti sebagian besar akan menjawab “TIDAK”. Atau bagi fans berat Bupati 2 periode ini akan menjawab “YA” dengan lantang. Tidak ada masalah soal pilihan jawaban tersebut, tapi mari kita uji dengan beberapa kondisi faktual yang ada.

Pertama, saya sempat melihat langsung hampir sebagian besar sungai di desa-desa masih dikotori dengan sampah plastik. Diperlukan kerja panjang untuk memastikan kesadaran warga tumbuh. Tentu tak cukup hanya dengan pegelaran 1 tahun sekali melalui Festival Kali Bersih. 

Praktik membuang sampah ke sungai sudah menjadi habit terutama bagi warga yang tinggal di dekat bantaran sungai, meskipun tak jarang juga kita melihat orang yang jauh dari sungai kerap kali ikut membuang ke sungai.

Kedua, belum ada system yang terintegrasi dalam pengelolaan sampah mulai tingkat RT hingga ke TPA. Di banyak tempat banyak warga memang tidak punya pilihan untuk bisa membuang sampah di lokasi yang tepat. 

Minimnya fasilitas tempat pembuangan sementara memang bukan menjadi kunci, tapi untuk kesadaran di level awal warga perlu juga difasiltasi tempat pembuangan, sebelum mereka naik level di kesadaran selanjutnya yaitu mengelola sampah dengan lebih bijak.

Belum lagi peristiwa protes dan blokade dari warga sekitar TPA Bulusan, pemerintah Kabupaten Banyuwangi akhirnya menutup tempat pembuangan akhir yang sudah beroperasi sejak tahun 1988 tersebut. 

Meski demikian, masalah lingkungan masih dialami oleh warga sekitar TPA, terutama terkait dengan ketersediaan air bersih. Kedatangan mesin pencacah sampah yang sempat didatangkan dari Kementrian Perdagangan dan Industri yang dihibahkan untuk TPA Bulusan, ternyata menjadi bumerang baru. Pemerintah tidak mampu mengoperasikan mesin karena biayanya tinggi. Kabar terakhir, kini kondisi mesin itu rusak.

Ini baru persoalan sampah, kita belum bahas tentang kebaharuan energi. Kedua Paslon ini tidak ada yang memiliki visi misi soal kebaharuan energi. Atau mereka memang sejalan dengan semangat RUU Omnibuslaw? Yang membuka peluang besar untuk menarik investasi perusahaan-perusahaan raksasa menguasai lahan-lahan di Tanah Gandrung ini. 

4. Smart Kampung Didominasi Pembangunan Fisik

Program Smart Kampung yang diterapkan Banyuwangi, membuat kabupaten berjuluk Sunrise of Java ini, meraih penghargaan di berbagai level, mulai dari Kementrian hingga Instansi Swasta.

Bahkan Banyuwangi dalam pengembangan ekonomi kerakyatan yang merupakan salah satu kriteria Revolusi Industri 5.0 yang kini telah dikembangkan di beberapa negara.

Saya yakin sebagian besar dari kita sudah membaca syarat/indikator sebuah desa bisa dikatakan “Smart Kampung”. Jika mengacu pada Peraturan Bupati Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Integrasi Program Kerja Berbasis Desa/Kelurahan Melalui Smart Kampung, maka kita melihat sebuah harapan baru yang bisa menjadi pintu perubahan pembangunan yang lebih baik di segala aspek.

Sayangnya, masih banyak desa/kelurahan belum mengimplementasikan ruh dari program Smart Kampung ini. Bukti yang paling nyata adalah ketika pengalaman kami yang ingin mengetahui data tentang anak putus sekolah di program PPA-PKH yang saya jalankan di tahun 2019 lalu, ternyata 100% desa tidak punya data yang akurat. 

Belum lagi soal mengurus administrasi secara online, memang benar adanya layanan tersebut sudah siap dan sesuai semangat revolusi industry 4.0, tapi kemampuan literasi digital warga hanya 0.4.

Harusnya Smart Kampung tak boleh hanya berhenti pada penyediaan layanan secara fisik semata, namun seharunya punya gairah untuk mencerdaskan warganya. 

Tidak cukup dengan adanya tulisan besar di pagar sebagai identitas “Smart Kampung”, adanya Wifi gratis (meski kadang dikunci), taman bermain anak (kadang lokasinya di pojokan dan sempit) dan sebaginya. Sebagian besar hanya tentang pembangunan fisik. 

Padahal salah satu aspek penting dari Smart Kampung adalah menumbuhkan partisipasi warga dalam pembangunan di desa. Untuk itu, mengelola sumber daya manusia adalah prioritas dan tidak bisa ditawar jika ingin sebuah desa mengalami kemajuan yang progesif dan massif.

Adanya 1000 titik wifi misalnya, mampukah secara signifikan memperbaiki prestasi dan memperbaiki kualitas akhlak anak-anak dan pemuda di desa? Mari kita temukan jawabannya sendiri.

PAUSE !!!!

_________

Ini adalah cacatan kecil yang coba saya tulis. Tentu masih banyak hal lain yang juga seharusnya bisa menjadi sumber pembelajaran sebagai warga yang memiliki hak pilih, karena pada akhirnya kita akan dihadapkan dengan 2 paslon ini di bilik suara pada tanggal 9 Desember nanti.

Selamat Menentukan Pilihan !!

Salam Literasi

Penulis adalah Founder Rumah Literasi Indonesia