BAGONG NJAMBAL (25)
BAGONG berdiri di alun-alun Ngastina. Menunggu sonto Kurawa datang. Dia tidak sabar untuk memamerkan kesaktian barunya.
“Ayo kalian para Kurawa maju bareng. Tidak perlu rakyat berdemo, tak perlu rakyat bikin ontran-ontran, cukup lawan aku saja,” tantang Bagong.
Rasa kejengkelan Bagong sampai ubun-ubun. Sepertinya tak bisa lagi dihentikan.
Apalagi perkara yang dibuat Ratu Ngastina bersama sonto Kurawa sudah tidak bisa ditolerir.
Rakyat dirugikan lahir batin. Mengubah peraturan demi peraturan baru yang menguntungkan penguasa, telah membuat rakyat menderita tujuh turunan.
Kaum buruh, kaum pedagang, kaum petani, kaum nelayan, wong cilik semua dirugikan.
Sebagai wakil rakyat, sonto Kurawa nyatanya hanya menjadi tumbak cucukan. Semua hal diselewengkan demi melenggangkan kekuasaan.
Yang salah dibilang benar, yang benar dibilang salah.
Menurut Bagong, Kurawa hanya membela kaum pendatang (asing) dan konglomerat yang mengeruk kekayaan negara.
Melawan Kurawa memang bukan perkara gampang. Tapi dengan adanya Batara Narada yang manjing di tubuh Bagong, hal itu akan menjadi mudah mengalahkan Kurawa.
Meski Ngastina didukung Prabu Welgeduwelbeh yang memiliki kesaktiannya ngidap-ngidapi, namun Bagong tidak gentar sedikit pun.
“Jangankan Kurawa, Prabu Welgeduwelbeh suruh datang kemari, aku tidak takut!” Tantang Bagong.
Tampak dari kejauhan Begawan Durna dan Patih Sengkuni mempersiapkan prajuritnya. Satu persatu Kurawa maju.
Citraksi yang pertama maju, disusul Citraksa.
Bagi Bagong, ilmu perang keduanya belum seberapa. Dengan satu tendangan kaki melayang, Citraksi dan Citraksa langsung tersungkur.
Darmagati giliran berikutnya. Dengan petentang petenteng, Darmagati menyerang Bagong. Pukulan bertubi-tubi dilesakkan. Namun anak Semar itu dengan cekatan menangkis semua serangan.
Bagong mulai pamer kekuatan. Dia terbang ke angkasa lalu turun melesat ke bumi seraya menghantamkan tubuhnya ke Darmagati. Brukk!
Darmagati tidak dapat menahan serangan tersebut. Terjungkal dia. Bagong lantas menarik kaki Darmagati. Berputar-putar dan melemparkannya ke angkasa. Darmagati terbang dan jatuh di depan Durna.
Sonto Kurawa berikutnya yang maju Kartamarma. Dengan senjata andalannya, dia menyerang Bagong bertubi-tubi. Saat senjata nyaris mengenai kepala, Bagong langsung ambles ke bumi.
Kartamarma celingukan. Ke mana perginya Bagong. Tanpa disadari, Bagong muncul dari belakang Kartamarma. Diraih kepala Kartamarma, dipukul dan dilemparkan sejauh mungkin.
Tubuh Kartamarma berguling-guling hebat. Kekuatan Bagong membuatnya tak sadarkan diri.
Durna dan Sengkuni yang melihat dari kejauhan Kurawa dihajar Bagong menjadi heran.
“Oh, waru gembol…waru gembol…sumo rante…sumo rante…howelo…howelo…dari mana Bagong punya kekuatan ngidap-ngidapi seperti itu,” heran Durna.
Durna lantas memerintahkan semua Kurawa maju serentak. Saat ratusan anak panah dilesakkan ke arah lawannya, Bagong hanya diam seraya memejamkan mata. Bahkan dia tidak berusaha menangkis.
Alhasil, anak panah itu tidak mempan ke tubuh Bagong. Begitu pula senjata yang diarahkan ke Bagong sama sekali tidak menggores kulitnya.
Bagong kebal.
Kurawa keder.
Dan ketika Kurawa dibuat keheran-heranan, Bagong lantas membuat suatu gerakan berputar dan diakhir kedua tangannya diangkat ke angkasa. Gerakan Bagong memicu datangnya angin kencang yang menyapu para Kurawa. Semua lawan terlempar. Senjata-senjata terlepas dari tangan Kurawa.
Melihat kekuatan Bagong yang luar biasa itu, sonto Kurawa memilih kabur.
Hanya tinggal Sengkuni dan Durna. Keduanya ragu-ragu untuk maju. Sebab kekuatan Bagong tidak tertandingi dengan senjata apapun.
“Bagaimana Kakang Durna, apa kita masih mau maju?” Tanya Sengkuni.
“Eh, Dik Patih, kalau kita maju malah babak belur. Bagong nggeleleng tenan. Entah dia kasungpan dewa dari mana. Lebih baik kita mundur,” seru Durna.
Sepeninggal Kurawa, Batara Narada keluar dari tubuh Bagong.
“Waru kencong waru doyong, pak pak pong buk bolong, kali code sopo sing gawe, Bagong!” Panggil Narada.
Bagong mengapurancang dan membalas, “Pukulun sudah keluar dari raga saya!”
“Iya Bagong. Urusanku dengan Kurawa sudah selesai. Tapi yang namanya Kurawa pasti tidak akan puas dengan ini. Pasti mereka akan kembali membuat ulah lagi.”
“Kalau begitu Pukulun jangan pergi dulu. Dengan kekuatan dewa, Bagong bisa membunuh sonto Kurawa,” balas Bagong.
“Bukan begitu aturannya Bagong. Kurawa akan mendapat balasannya saat perang Baratayudha. Bukan kamu yang akan membunuh Kurawa, tapi para Pandawa,” dawuh Narada.
“Ampun Pukulun, lalu bagaimana dengan Prabu Welgeduwelbeh. Saya disuruh Sinuwun Dwarawati untuk melawan Welgeduwelbeh. Tapi saya tidak punya kekuatan. Kalau Pukulun masih bersedia manjing ke saya, barangkali saya bisa mengalahkan Welgeduwelbeh!” Pinta Bagong.
“Welgeduwelbeh adalah tugasmu, bukan tugas dewa. Kamu sendiri yang harus menyelesaikannya. Tugas dewa hanya menyelaraskan keadaan. Sekarang keadaan kembali seimbang. Kurawa tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Tapi aku yakin Kurawa akan meminta bantuan Welgeduwelbeh untuk melawanmu. Saat itulah kamu harus siap,” ujar Narada.
“Bagaimana cara saya mengalahkan Welgeduwelbeh. Dia sakti kalintang jayane perang. Para Pandawa saja kalah. Para lancur Pandawa juga kalah. Ratu Dwarawati juga tidak berani,” Bagong meminta petunjuk.
“Itu urusanmu, Bagong. Yang bisa mengalahkan Welgeduwelbeh cuma kamu!”
Bagong heran. Semua orang bilang bahwa yang bisa mengalahkan Welgeduwelbeh hanya dirinya. Padahal dia tidak punya kesaktian.
Sementara Bagong melihat sudah banyak ksatria tangguh kalah melawan Welgeduwelbeh. Bahkan dewa pun tidak berani turun ke jagat melawan Welgeduwelbeh.
“Ada apa dengan semua ini,” Bagong tidak habis pikir.
Seolah bisa membaca pikiran lawan bicaranya, Batara Narada mengatakan bahwa Bagong tidak usah takut melawan Welgeduwelbeh. Sebab saat berhadap-hadapan nanti, kesaktian Welgeduwelbeh akan luncur dengan sendirinya.
“Kamu gak usah takut, Bagong. Kesaktian Welgeduwelbeh akan luntur saat bertemu kamu,” urai Narada.
”Piye toh!” Bagong nyinyir.
Batara Narada tahu siapa sebenarnya Prabu Welgeduwelbeh. Ratu Lojitengara itu adalah jelmaan Petruk. Dia memiliki kesaktian tiada tanding karena menggenggam Jamus Kalimasada. Sehingga siapapun yang melawan pasti akan kalah, bahkan dewa sekalipun.
Namun Welgeduwelbeh tidak akan berani melawan saudaranya sendiri, Bagong dan Gareng. Jangankan melawan, Welgeduwelbeh tidak akan berani menyakiti saudaranya. Dia lebih memilih untuk menghindar dari perang jika berhadapan dengan Bagong maupun Gareng.
Soal itu, Batara Narada tidak mau menjelaskan ke Bagong. Jadi, biarlah Bagong yang nantinya akan menyelesaikan sendiri.
Yang jelas, sepak terjang Welgeduwelbeh harus dihentikan. Semenjak negara dipimpin Welgeduwelbeh, rakyat selalu dibuat menderita.
“Prabu Welgeduwelbeh harus segera dihentikan, Bagong. Entah bagaimana caramu. Jika dia tetap memimpin, alam mayapada tidak akan tenang. Yang terjadi kawula cilik selalu dibuat bimbang,” tandas Batara Narada.
“Bukannya dia mengklaim berasal dari rakyat jelata. Harusnya dia bisa memahami rakyat,” balas Bagong.
“Untuk memahami penderitaan rakyat, seorang ratu tidak harus berasal dari rakyat jelata. Tapi bagaimana ratu itu bisa menempatkan diri sebagai rakyat jelata. Coba lihat, negara yang dipimpin dari rakyat jelata seperti Welgeduwelbeh, hasilnya negeri itu mabot mawut. Rusak semua tatanan. Dia tidak punya pengalaman memimpin negara. Tidak tahu cara memimpin negara. Sekali diberi amanah dibuat tidak amanah. Dia hanya menjadi jongos selamanya meski menduduki singgasana ratu,” jawab Narada.
“Kalau ratunya menjadi jongos, apalagi rakyat. Jadi jongos di negeri sendiri. Ratu seperti Welgeduwelbeh tidak akan bisa memakmurkan rakyat. Bisanya cuma plonga plongo. Akhirnya para cecunguknya dibiarkan bebas bekerja tanpa ada pengawasan. Semua kebijakan cecunguk morat marit. Para cecunguk bebas mengubah peraturan demi menyenangkan diri dan kepentingan-kepentingan asing. Mereka menjadi tumbak cucukan. Main sana, main sini. Serang sana, serang sini. Menciptakan kebohongan demi kebohongan,” tambahnya.
Bagong menyiyakan ucapan Batara Narada. Sebab sebagai pengejawantahan wong cilik, Bagong merasakan hal yang tidak sebagaimana mestinya dengan kepemimpinan Prabu Welgeduwelbeh.
“Memang benar, Pukulun. Saya merasakan sendiri bagaimana kepemimpinan Welgeduwelbeh. Ratu Lojitengara itu tidak bisa mikul dhuwur mendem jero. Ngakunya berasal dari rakyat jelata, tapi tidak bisa mengangkat derajat kawulanya. Rakyat jelata malah diinjak-injak. Bisanya tumbak cucukan. Mengadu domba rakyat,” kata Bagong.
“Kepongahan Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya terihat saat pagebluk. Segala aturan ditabrak. Dirusak. Sungsang bawana balik. Tatanan dunia serba terbalik. Welgeduwelbeh mengajak manusia menerjang arus. Kesimpangsiuran makna, ketidaktepatan cara pandang, kesesatan pikir, kekacauan budaya, ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum. Semua sungsang. Alih-alih mendatangi orang-orang berilmu, negarawan, guru-guru bangsa, Prabu Welgeduwelbeh malah mendatangkan pelawak untuk menghiburnya di istana,” Bagong njambal.
“Yang namanya kekacauan dunia dipupuk dengan cara keji. Ketidakadilan, ketidakpatutan, ketidaksesuaian dipertontonkan. Akibat ulah Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya, kekacauan yang dilakukan Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya agar manusia menjadi menjadi jahat. Agar jiwa kamanungsan hilang sehingga muncul kekuasaan tunggal. Di situlah akhir zaman semakin dekat,” tutur Bagong.
Batara Narada memandang Bagong. Manggut-manggut. Lalu tubuhnya menjadi ringin. Terangkat pelan-pelan ke angkasa.
“Bagong, kamu sudah tahu siapa Welgeduwelbeh. Karena itu dia harus disingkirkan. Aku kembali ke suralaya!” Seru Narada.
“Sendiko dawuh, Pukulun!” Bagong mengapurancang.
Wartawan Kantor Berita RMOLJatim
ikuti terus update berita rmoljatim di google news