Tukang Masak dan Rahasianya (1)

Buku kumpulan Cerpen Seribu Perempuan/Cover by Denny NJA
Buku kumpulan Cerpen Seribu Perempuan/Cover by Denny NJA

KORBAN-korban itu ditemukan mati mengenaskan. Yang mengambang di pelabuhan Oejoeng (sekarang Tanjung Perak) sana, kondisinya sudah tidak bisa dikenali. Mereka mengalami berbagai macam kematian. Satu persatu garis kakinya patah seperti terkena pukulan balok.

Korban lain ditemukan di got-got sepanjang Jalan KH. Mansyur dan Jalan Iskandar Muda. Ada yang diberdirikan dan ditekuk-tekuk seperti patung, seolah pembunuhnya membuat patung dari mayat tersebut, atau justru alam yang telah membuatnya seperti demikian. Sebab setelah pembunuhnya menghabisi nyawa mereka, mayat-mayat tersebut ditinggalkan begitu saja tidak terurus. Sehingga pengaruh alam sangat mendukung terjadinya kekakuan dan kebusukan.

Pembunuhnya terkesan sadis dan bengis dalam menghabisi korban-korbannya. Diduga pembunuhnya benar-benar menaruh dendam dan kebencian yang mendalam terhadap prilaku mereka semasa hidup.

Di bagian tubuh korban ditemukan beberapa kali bekas tusukan sangkur. Diduga tubuh yang dibolongi itu ditusuk oleh lebih dari satu orang. Setelah korban dibunuh, barang-barang berharga mereka kemudian dijarah, nyaris tidak meninggalkan apapun kecuali seragam dinas yang menempel di badan. Yah, kesemua korban itu tak lain tentara-tentara Belanda yang beberapa waktu lalu singgah di rumah Tjan Cuk.

Tahun 1940 merupakan tahun penuh ketegangan antara pribumi dan kolonial. Pada tahun itu telah terbit beberapa geng dan gerombolan pemuda yang mengatasnamakan pencoleng sekaligus pembela rakyat yang merasa harga dirinya terinjak-injak oleh perbuatan bangsa asing.

Sempat terjadi penyelidikan atas pembunuhan tersebut. Semua polisi yang berada di tangsi-tangsi polisi dikerahkan untuk menemukan jejak pembunuhnya. Akan tetapi pada akhirnya proses penyelidikan tidak membuahkan hasil. Selama penyelidikan semua bukti-bukti mengarah pada satu titik, yakni perampokan. Kasus pun ditutup. Berkas-berkas korban kemudian dipeti-eskan sebagai korban perampokan biasa. 

***

Rumah Tjan Cuk terletak di Jalan Kebalen, Soerabaja. Tjan Cuk adalah seorang Tionghoa yang namanya sudah terkenal di kalangan Pribumi, Belanda dan Tionghoa. Dia bekerja di perusahaan rokok yang terletak di Jalan Kalisosok. Karena keramah-tamahannya itulah, banyak warga Tionghoa dan Belanda yang menyukai pribadi Tjan Cuk. Tidak sedikit dari mereka yang keluar masuk rumah Tjan Cuk. Dari sekedar urusan bisnis hingga hiburan semata.

Memang, hubungan Tjan Cuk dan Goobermen (sebutan pemerintah Belanda) saat itu dikenal cukup baik. Tjan Cuk termasuk pebisnis yang handal dan pandai mengambil hati pemerintah Belanda. Lelaki Tionghoa itu membangun bisnisnya dari bawah. Agar bisnisnya terus lancar, mau tak mau dia harus menjalin relasi dengan pihak Belanda yang sedang berkuasa.

Tidak heran jika perusahaan rokoknya hingga detik itu belum tergoyahkan dan menjadi satu-satunya penyuplai rokok terbesar di Jawa. Ini tentu membawa dampak positif bagi perkembangan bisnisnya. Untuk urusan kelancaran dokumen bea cukai, suplai rokok, hingga konsumen, Tjan Cuk sangat diuntungkan. Sebaliknya, hubungan ini berimbas pula dikemudian harinya. 

Oleh Goobermen Tjan Cuk dianggap mampu menjadi teman baik Belanda. Sehingga wajarlah jika kedekatan ini berlanjut dari urusan hiburan hingga pertemanan, seperti yang dilakukan para prajurit-prajurit Belanda yang tinggal di kawasan tersebut.

Selama ini rumah Tjan Cuk kerap dijadikan jujugan para prajurit muda ini. Namun demikian, makin hari sikap prajurit-prajurit muda ini semakin arogan dan tidak menunjukkan rasa sopan santun. Mereka kurang ajar. Pemilik rumah tidak dihargai. Apabila sudah duduk di meja makan, mereka kerap melontarkan kata-kata makian dalam bahasa Belanda. Suka mabuk-mabukan. Suka berplesiran ke tempat-tempat wanita penghibur. Melihat itu Tjan Cuk tak berkutik.

Nyaris setiap hari rumah magrong-magrong milik Tjan Cuk dijadikan tempat persinggahan sesaat. Kadang malah ada yang menginap sampai berhari-hari. Dan ketika pulang mereka berlalu begitu saja. Datang tanpa permisi, pulang tanpa pamit.

Namun tidak demikian halnya dengan Musening. Mus, demikian ia dipanggil, perempuan asal Gresik ini tidak rela rumah majikannya terus-terusan disinggahi orang-orang dari luar, khususnya tentara-tentara muda Belanda. Di usianya yang masih 15 tahun, adalah sesuatu yang wajar jika emosinya mudah terusik. Apalagi Mus mendengar kabar betapa kejam sepak terjang Belanda di luar sana.

Banyak rakyat menjadi korban akibat ulah tentara-tentara itu. Rumah-rumah mereka dihancurkan. Pemiliknya diseret dan ditembak. Ada yang dijebloskan penjara. Orang-orang dibunuh seenaknya tanpa melalui proses pengadilan yang layak. Bahkan anak-anak kecil banyak kehilangan orang tuanya, yang pada akhirnya membawa mereka pada suatu keadaan yang nista.

Menjadi gelandangan bukan cita-cita anak-anak itu, toh pada akhirnya terjadi juga. Seolah derita dunia tiada memiliki awal dan akhir. Dan ketika luka-luka rakyat belum sembuh, mereka kembali mengalami siksaan yang sama.

Hal itu terjadi berulang-ulang hingga hinggap perasaan sedih di hati gadis muda tersebut. Semua yang dirasakan Mus adalah sebagian kecil dari perasaannya yang carut marut. Jiwa dan pikirannya tidak sanggup berkata apa-apa, setiap perkataannya hanya akan menanggalkan sebuah kepahitan, yang nantinya membawa dampak buruk bagi diri maupun orang-orang terdekatnya. Mus pun diam dalam pergolakan batin yang lemah.

“Aku sangat benci Belanda. Benci sekali. Seandainya aku sanggup, aku akan membawa mortir dan meledakkan mereka bersama dengan nyawaku. Tapi aku tidak memiliki semua kekuatan yang hebat itu. Aku hanya gadis desa yang tumbuh dan besar di Soerabaja tanpa bermodal pengetahuan apa-apa. Jangankan pengalaman berperang, belajar memasak pun baru kali ini aku bisa.” [bersambung]

Diambil dari kumpulan Cerpen Seribu Perempuan karya Noviyanto Aji