Tukang Masak dan Rahasianya (4)

Buku kumpulan Cerpen Seribu Perempuan/Cover by Denny NJA
Buku kumpulan Cerpen Seribu Perempuan/Cover by Denny NJA

MATAHARI sepenuhnya condong dari timur. Langit menyala-nyala menjadi terang. Terdengar suara tetembangan Jawa mengiang di telinga.

“Bik Inah…!” Sambut Mus membuka mata.

Nyanyiannya lirih, membuat semangat orang tergantikan dengan manjaan yang nakal. Bagi orang frustasi, nyanyian itu akan membuat mereka bosan hidup. Bila sudah begitu mereka harus dibantu menuju kematian agar terlepas dari kekonyolan hidup. Harus dibantu. Itulah, Belanda.

Namun bagi Mus, nyanyian Bik Inah justru semakin menenggelamkannya ke alam mimpi. Betapa menggiurkan jiwa-jiwa yang merana. Badan perempuan itu masih terlalu pegal untuk digerakkan. Ia berusaha bangkit, tapi susah. Kelopak matanya nampak bengap-bengap. Rupanya “kegiatan malam” kemarin membuat tubuhnya tumpang tindih.

Segera ia bangun. Pergi ke kamar mandi, membersihkan diri, dan kembali menjalankan tugas pokoknya: Memasak.

Mus menyiapkan pisau. Mengasah sebentar. Lalu memotong-motong bumbu dengan perasaan campur aduk. Apa yang terjadi semalam? Mengapa belum ada kabar?

Saat itu Nasrowi, penjaga rumah, masuk dapur, mengambil makanan, mengunyah pelan-pelan, dan dengan tidak sabarnya melontarkan sebuah cerita. Sebuah kabar yang baru diterimanya pagi ini.

“Tadi pagi telah ditemukan mayat serdadu Belanda. Mati. Tubuhnya ditemukan di got di Jalan KH Mansyur. Tepatnya di gudang kosong tak jauh dari sini,” ceritanya.

Seketika Mus menghentikan potongan sayur mayur. Kekagetannya membuat Nasrowi menoleh ke arahnya. Namun mata Nasrowi tidak sampai mengarah pada sebuah dugaan, bahwa Mus terlibat atau dalang di balik peristiwa itu. Mata Nasrowi sebentar saja melihat Mus, kemudian kembali memalingkannya ke Bik Inah.

“Tahu nggak bik, serdadu itu kalau tidak salah pernah main ke sini!” Nasrowi menduga-duga.

“Ah, yang benar kamu Wi, kok bibi tidak pernah lihat!”

“Yang bener, Kang, kapan ke sininya?” Mus bertanya berpura-pura.

Kematian misterius serdadu Belanda itu rupanya mempengaruhi Mus. Ia tidak sabar ingin mengetahui detil ceritanya. Apakah benar serdadu yang mati itu adalah serdadu yang semalam singgah di rumahnya?

Namun, Mus tetap menjaga kata-katanya. Ia tidak ingin, seandainya terlalu agresif, kedoknya terbuka. Mus ingin menggali informasi dari Nasrowi pelan-pelan, sudah barang tentu ini tidak bisa dilakukannya sendiri melainkan dengan bantuan Bik Inah.

“Wah, kalau ke sininya aku kurang tahu. Soalnya orang yang ke sini banyak. Sulit untuk mengenali mereka satu persatu.”

Ah, leganya hati Mus. Dengan begitu Mus tidak perlu khawatir. Sebab tidak ada alibi kuat dirinya terlibat dalam pembunuhan tersebut. Nasrowi mulai bercerita kepada Mus soal kematian serdadu Belanda itu.

“Polisi beranggapan kematian itu murni perampokan. Korban dibunuh di tengah jalan. Setelah itu seluruh hartanya dirampas. Jasadnya kemudian dibuang di got.”

“Sekeji itu!” Mus berpura-pura menaruh iba pada nasib serdadu muda tersebut, tapi dalam hati ia mengumpat sejadi-jadinya: biar tahu rasa dia.

“Bagaimana dia mati?” Tanya Mus lagi.

Cerita Nasrowi kepada Mus:

Saat itu korban ditemukan dalam keadaan duduk di got. Mayatnya seperti patung. Entah pembunuhnya sengaja membiarkan korbannya seperti ini, atau memang korban sewaktu dibuang posisinya lantas duduk sendiri. Kondisi korban sewaktu ditemukan sangat mengenaskan. Dia ditelanjangi. Yang tertinggal cuma pakaian dalam. Pada tubuhnya terdapat luka-luka bekas tusukan sebanyak sepuluh kali. Pelaku diduga lebih dari satu. Yang mengerikan lagi, di garis kakinya juga terdapat bekas pukulan balok. Kaki itu hancur. Polisi menduga sebelum korban dihabisi pelaku sempat menyiksa korban terlebih dahulu dengan memukulkan sebuah balok kayu ke garis kakinya. Setelah korban tidak berdaya, lalu pelaku menusukkan sangkur berulang-ulang ke tubuh korban yang kemudian membuat nyawanya melayang. Setelah itu semua harta korban dibawa kabur.

“Kok, ngeri banget Kang ceritanya!” Seru Mus. Ia hilir mudik di hadapan Nasrowi menunjukkan kesibukannya di dapur, dan ketidakpeduliannya terhadap cerita Nasrowi. Padahal, konsentrasi Mus tertuju penuh pada mayat serdadu Belanda tersebut.

“Sudah, sudah, nggak usah dilanjutkan. Kembali kerja!” Seru Bik Inah.

Nasrowi pergi. Mus kembali ke pekerjaannya semula. Akan tetapi pikirannya terus melayang. Bayangan serdadu itu kerap muncul di pikirannya.

“Dia akhirnya mati!” Batin Mus.

“Dia mati. Dan semua itu karena aku. Tapi aku bukan pembunuh. Aku hanya membebaskan jiwa yang terikat kepada tubuh dan otaknya saja, dimana jiwa-jiwa itu telah memeras ribuan pribumi, yang membuat penderitaan sebangsaku. Yah, aku harus kuat. Ini adalah perjuanganku. Tidak ada yang perlu disesali. Semua harus jalan terus.” Mus mengomel sendiri dalam kerisauan hati.

***

Pagi itu, Sabtu. Esok minggu. Mus sudah tidak sabar bertemu dengan teman-teman seperjuangannya di warung bubur kacang ijo milik Mbah Wito. Setelah semua urusan di dapur selesai, esoknya Mus pergi ke warung Mbah Wito. Tak sabar ia ingin mendengar berita tentang kematian serdadu Belanda itu.

Di warung sudah ada Moenasan dan teman-temannya. Suasana hati mereka nampak riang. Senyum rancak ditunjukkan Mus saat tiba di warung. Seolah ingin menyeru pada dunia bahwa kini telah ada pahlawan wanita di Surabaya, mereka serempak mengganggukkan kepala pada Mus.

Moenasan mendekati gadis itu. Sebelumnya kepala geng itu sempat menyalami tangan Mus.

“Kami bangga dengan perjuanganmu. Kami tidak akan melupakanmu!” Puji Moenasan.

Ah, jangan begitu, Cak. Kemarin aku melakukannya karena dorongan hati.”

“Kami tahu itu. Rasa hormat kami berikan kepada satu-satunya wanita pribumi yang tengah menyantap bubur kacang ijo. Salut!”

“Sudahlah Cak, jangan dibesar-besarkan. Kita semua melakukan itu demi bangsa. Sampeyan juga kan. Semua orang-orang di sini juga pahlawan,” sambut Mus yang menolak dianggap pahlawan.

“Terima kasih, Cah Ayu!”

“Apa yang terjadi kemarin, Cak?” Mus bertanya.

“Apa yang kamu dengar, itulah yang terjadi!”

“Benar sampeyan bunuh dia?” Mus penasaran ingin mendengar jawaban langsung dari mulut ketua geng tersebut.

“Iya.”

“Hartanya?”

Alhamdulillah sudah sampai tempat yang layak (sudah dibagi-bagikan).”

“Aku sudah cukup mendengarnya. Terima kasih. Nanti aku kabari kalau ada apa-apa. Aku pengin jalan-jalan di Jembatan Merah,” Mus pamit, “ini mbah,” Mus memberi uang untuk semangkok bubur kacang ijo.

“Nggak usah Cah Ayu. Untuk kamu sekarang gratis. Terserah kamu mau makan kapan saja, nanti mbah bikinin yang lebih enak lagi buatmu,” sahut Mbah Wito.

Matur suwun, mbah!”

Mus pergi.

Setelah cukup jalan-jalan keliling Jembatan Merah, Mus kembali ke rumah. Hari ini tugasnya bertambah. Sebab ia semakin yakin perjuangannya sebagai pemberi informasi tidak akan berakhir sampai di situ saja.

Di luar sana banyak teman-teman yang mengharapkan bantuanku. Dan aku tidak akan mengecewakan mereka. Aku tahu tugasku ini berat. Tapi aku melakukannya demi bangsa. Aku ikhlas!

Setelah itu suasana kembali seperti biasa. Kabar kematian serdadu Belanda lambat laun tak terdengar gaungnya. Para tamu Tjan Cuk kembali berdatangan. Ini semakin memantapkan tugas Mus untuk memberi informasi sebanyak-banyak kepada teman-teman seperjuangannya. Beberapa kali Mus menyelinapkan informasi keluar, dan beberapa kali tugasnya tiada memiliki cacat. Sempurna.

Pun Moenasan, ia melaksanakan tugasnya cukup baik. Informasi yang diberikan Mus sangat terpercaya. Terbukti, sejak Mus menjadi informan, beberapa serdadu Belanda dan pejabat-pejabat teras telah berhasil dibunuh. Setelah hartanya dikuras, jasadnya dibuang seenaknya. Ada yang dibuang ke Jalan Iskandar Muda, Jalan Djakarta, Jembatan Merah, Kalimas hingga pelabuhan Oejoeng.

Rata-rata jasad itu diketemukan dalam keadaan mengenaskan. Semua tubuhnya dipenuhi luka-luka tusukan cukup dalam. Sementara polisi yang menyelidik kasus tersebut merasa kuwalahan. Polisi tidak memiliki cukup bukti yang dapat membawa mereka kepada pelaku pembunuhan.

Pasalnya, semua kejahatan itu telah direncanakan cukup rapi. Para pencoleng-pencoleng itu melakukannya dengan rencana matang. Mereka tidak mau menghabisi korbannya di sekitar rumah Mus. Mereka sengaja mengalihkan sasaran ketika korban sudah menjauh dari rumah Mus. Mereka tak mau Mus menjadi sasaran investigasi polisi.

Terbukti, tak satupun polisi yang berhasil menguak misteri di balik pembunuhan orang-orang Belanda tersebut. Walau semua tempat-tempat telah disisir, toh, semakin hari jejak pelaku semakin kabur dan sulit dikenali.

Sejak itu jam malam mulai diberlakukan di penjuru-penjuru kota. Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Sebab banyak polisi patroli yang bosan dengan pemberlakuan jam malam tersebut. Sehingga ketika jam malam tiba, mereka yang berpatroli lebih memilih ngepos di satu tempat ketimbang harus keliling kota.

Tentu saja hal ini menjadi angin segar bagi Moenasan dan anak buahnya untuk kembali melancarkan aksinya. Dan pembunuhan kembali terjadi. Lagi-lagi polisi setempat disalahkan karena dianggap lengah menjaga wilayahnya. Polisi dan pemerintah bersitegang.

Melihat kondisi itu, Moenasan menepuk bahu dengan bangganya. “Kalau tidak ada Mus, gadis muda asal Gresik di rumah Tjan Cuk, semua ini tidak akan terjadi. Ha…ha…ha…dia benar-benar gadis hebat, seorang gadis desa sanggup mengadu domba Belanda. Ckkk…ckkk…ckkk…!” kata Moenasan kepada anak buahnya.

“Aku tidak percaya Belanda bisa terpedaya. Bukannya mencari pelaku, malah saling tuding. Bukan aku saja yang turut andil, tapi juga pejuang-pejuang yang mengatasnamakan pencoleng-pencoleng Surabaya yang mampu melakukan semua itu. Mereka sudah hebat dari pertama kami bertemu. Aku salut dengan sepak terjang mereka. Aku salut dengan semangat mereka. Mereka bak singa di malam hari, dan menjadi kucing manis di siang hari.” [bersambung]

Diambil dari kumpulan Cerpen Seribu Perempuan karya Noviyanto Aji