Tukang Masak dan Rahasianya (6)

Buku kumpulan Cerpen Seribu Perempuan/Cover by Denny NJA
Buku kumpulan Cerpen Seribu Perempuan/Cover by Denny NJA

MUS dan Warti pergi ke warung Mbah Wito. Di sana mereka bertemu dengan para pencoleng. Ketika rencana ini disampaikan, bukan main kagetnya mereka.

“Apa benar kalian mau meracuni mereka semua?” Tanya Moenasan.

“Iya, Cak!”

“Kalian tidak salah. Apa sudah kalian pikirkan masak-masak!” Mbah Wito menimpali.

Sementara pemuda-pemuda lain hanya mendengarkan rencana Mus dengan geleng-geleng kepala. Ada yang melamun dalam kebingungannya, ada pula yang cengar-cengir karena merasa bahwa ini adalah perjuangan yang sesungguhnya. Menghabisi semua orang Belanda adalah cita-cita mereka. Namun ada pula yang mendengarkan dengan seksama bagai patung karena rencana tersebut, entah dianggap berani atau sekedar nekat.

“Siapa yang merencanakan ini?” Tanya Moenasan.

“Bik Inah.” Jawab Warti.

“Yah, aku tahu dia. Aku kenal dengan suaminya. Saat ini suaminya sedang menggalang pejuang-pejuang di daerah untuk ikut dengannya berjuang. Kalau memang ini rencana Inah, aku yakin dia pasti sudah memikirkannya dengan matang,” Mbah Wito menimpali.

“Jadi bagaimana, Cak?” Mus menunggu jawaban teman-temannya.

“Kita jalankan sesuai rencana. Toh, kita juga tidak tahu apa yang bakal terjadi nanti. Jadi, biarlah Tuhan yang membantu kita. Kalau begitu aku dan teman-teman akan segera mengerahkan orang-orang. Ini bukan pekerjaan mudah. Sebab kita butuh banyak orang untuk melakukannya. Nanti kita akan mencegat mereka di tengah jalan. Setiap sudut-sudut kota akan kita awasi. Tenang saja Mus, teman-teman siap mati demi negara. Kamu kembali ke rumah dan sampaikan pesan ini ke Bik Inah. Salam kami untuk kalian dan semoga berhasil.”

Setelah Moenasan berkata demikian, dia lantas berdiri dan mengajak anak buahnya pergi. Dari kejauhan Mus dan Warti melihat Moenasan memberi komando ke teman-temannya. Setelah itu mereka berpencar.

“Mbah, kalau begitu aku pulang ya. Oh iya, Mbah, sampeyan punya kapur barus dan racun tikus nggak?”

“Tunggu sebentar ya.”

Mbah Wito masuk ke dalam dan keluar sembari membawa buntelan berisi pesanan Mus dan Warti.

Setelah itu mereka berpisah. Semua rencana sudah disusun dengan matang. Tinggal menjalankan saja.

Kepulangan Mus dan Warti disambut Bik Inah dan Ijah. “Bagaimana?”

“Sudah bik, semua teman-teman sudah dihubungi. Mereka siap!”

“Iya.” Sambut Warti.

“Baiklah, kita siapkan menu-menu hari ini untuk esok. Simpan dulu buntelan itu di tempat yang aman. Ayo kita bekerja!” Bik Inah menyemangati.

Hari ini pekerjaan serasa tidak melelahkan. Sebab perempuan-perempuan pemberani itu memiliki tujuan yang sangat berarti dalam pekerjaannya. Tujuan itu kini lebih mulia, lebih bermartabat, lebih patriotisme, lebih sempurna ketimbang sekedar memperoleh 5 sen. Uang bisa dicari tapi harga diri bangsa tetap nomor satu.

Seperti biasa, hari Senin telah tiba. Puluhan tamu sudah singgah di rumah Tjan Cuk. Hari ini akan menjadi hari paling bersejarah. Sebab pada hari ini, pembantu-pembantu itu akan mengukir sejarah dengan melakukan tugas kenegaraan yang teramat penting. Satu kesalahan saja akan membuat semua rencana berantakan.

Pukul 4 sore, tamu-tamu Tjan Cuk sudah datang. Mereka duduk di meja makan dan bersiap menyantap makanan yang dihidangkan. Wajah-wajah mereka nampak berseri. Semua orang saling menyapa. Para pejabat terlihat terlibat obrolan seru dengan pemilik rumah. Sedang yang berpakaian seragam perang, seperti para serdadu dan polisi nampak bersendau gurau. Mereka tidak tahu bahwa sebentar lagi semua kesenangan itu bakal berakhir.

Sementara keadaan di dapur jauh lebih menyeramkan. Mus dengan gigih mengaduk masakan di panci besar yang telah dicampuri kapur barus dan racun tikus. Bik Inah yang kebagian meracik racun. Sebab hanya dia sendiri tahu berapa takaran yang pas untuk menu-menu tersebut.

Perhitungan Bik Inah: kapur barus dan racun tikus dicampur dalam panci besar yang berisi masakan, seperti cap cay, tumis kangkung, dan lain-lain. Diperkirakan usai menyantap semua menu itu, mereka masih dalam keadaan sadar. Racun itu sendiri sebenarnya tidak mematikan, hanya cukup membuat mereka tidak sadar. Nah, setelah beberapa jam kemudian, tepatnya setelah keluar rumah, dipastikan mereka akan sempoyongan. Saat itulah tugas Moenasan dan teman-temannya untuk menghadangnya.

Waktu makan sudah tiba. Bik Inah, Mus, Ijah, dan Warti masuk ke ruangan makan. Semua tamu sudah tidak sabar menanti hidangan. Mereka tertawa-tawa, bersenda gurau, dan sesekali mengumpat pribumi-pribumi yang tidak becus.

“Sikap kalian benar-benar menjengkelkan. Awas! Sebentar lagi kalian akan mampus di tangan teman-temanku. Mereka sudah menunggu di sana. Menunggu kelengahan kalian. Dengan makanan yang telah kami bubuhi racun ini, kalian pasti akan mampus. Sekarang tertawalah sesuka kalian, sebab ini adalah hari terakhir kalian duduk di meja ini.” Batin Mus berteriak sekencang-kencangnya sewaktu menyajikan menu di hadapan mereka.

***

Waktu dua jam berlalu. Semua tamu sudah undur diri. Yang tertinggal Tjan Cuk dan keluarga. Karena racun dicampur berbarengan, sudah barang tentu Tjan Cuk dan keluarga ikut merasakannya.

Namun Bik Inah sudah memperhitungkannya, bahwa racun itu tidak akan langsung membunuh, hanya melumpuhkan saja. Seandainya Tjan Cuk merasa kurang enak badan, ia cukup masuk kamar, tidur, dan esoknya akan kembali segar. Apalagi Bik Inah telah menyiapkan beberapa ramuan guna menangkal racun. Jika sewaktu-waktu Tjan Cuk kesakitan, Bik Inah cukup memberi ramuan, dan masalah akan beres.

“Benar, setelah 3 jam, Tuan Tjan Cuk merasakan perutnya mules. Kepalanya pening. Beruntung Bik Inah segera datang dan memberikan penawarnya. Kata Bik Inah, penawar itu adalah obat untuk penghilang flu. Tjan Cuk percaya. Sebab setelah minum racun dalam tubuhnya berhasil dinetralisir. Sementara tamu-tamu yang lain, entah bagaimana kabarnya. Kalau aku melihat bila dikaitkan waktu tiga jam saat majikanku merasakan sakit, sudah barang tentu saat ini mereka merasakan hal yang sama. Ini tugas Moenasan dan teman-teman untuk mengakhirinya.”

Esoknya berita pembunuhan kembali menghebohkan. Koran-koran terbitan Belanda dan koran lokal menyebutkan: TELAH TERJADI PEMBOENOEHAN BESAR-BESARAN. ORANG BELANDA DIBANTAI DENGAN SADIS.

Semua koran terbitan Belanda mengutuk aksi keji tersebut. Sementara koran lokal terbitan pribumi lebih obyektif dalam menyingkapi. Mereka tidak mengutuk atau menyalahkan pembunuhan tersebut. Kata koran lokal, pembunuhan itu terjadi karena sikap tidak puas rakyat terhadap pemerintah.

Isu ini seketika menjadi isu nasional. Beberapa orang yang terlibat di dalamnya diperiksa. Begitu juga para pribumi-pribumi yang memiliki kedekatan dengan korban diperiksa. Beberapa di antaranya malah langsung dijebloskan ke Kalisosok karena dituduh turut terlibat dalam pembunuhan. Diduga pembunuhan tidak sekedar perampokan biasa melainkan sebelumnya sudah dirancang.

Pelakunya tentu tidak satu tapi banyak. Korban yang dibunuh saat itu mencapai 40 orang, yang kesemuanya adalah orang-orang Belanda.

Seperti biasa setelah korban dibunuh, semua hartanya dirampas. Namun mayat-mayat itu ditemukan tidak sekaligus. Beberapa diantaranya dilaporkan menghilang. Maklum, sewaktu pembunuhan terjadi, mayat-mayat itu dibuang secara terpisah. Ini untuk meninggalkan jejak.

Dilaporkan korban menghilang 25 orang. Yang telah ditemukan sebanyak 15 orang. Korban yang ditemukan hampir semua menunjukkan tanda-tanda mengenaskan. Ada yang tubuhnya berlubang-lubang akibat tusukan sangkur, ada pula yang lehernya digorok, ada yang kepalanya dipukul hingga pecah, dan masih banyak lagi yang mengerikan.

Surabaya genting.

Puluhan serdadu Belanda dikerahkan untuk mengamankan sudut-sudut kota. Jam malam kembali diberlakukan. Mereka mencari gerombolan atau geng yang dipimpin Moenasan.

Namun apa yang terjadi, Moenasan dan teman-temannya justru menghilang seperti ditelan bumi. Pencarian tidak membuahkan hasil. Jangankan hasil, para penyidik yang diutus menyelidikan kasus ini juga tidak menemukan bukti-bukti kuat. Mereka mengalami kebuntuan sebab pelaku yang dicari memang tidak ada.

Mereka ibarat mencari hantu di tengah rimba. Siapa dalang, siapa pelaku, mereka tidak tahu.

Apalagi di antara korban yang ditemukan terdapat komandan polisi yang beberapa waktu sebelumnya sempat mengancam Mus dan pembantu-pembantu. Yah, cuma dia satu-satunya orang yang menaruh curiga, tapi kemudian dia ikut terbunuh, maka bukti-bukti yang mengarah pada kecurigaan Mus dan teman-temannya menguap.

Sejak itu geng Moenasan tidak lagi terdengar kabarnya. Masing-masing berpencar. Ada yang bersembunyi di kampung halaman. Ada yang bersembunyi di hutan. Bahkan ada yang memutuskan bergabung dengan pasukan Bung Tomo. Sedang Moenasan sendiri, ada yang bilang dia bergabung dengan pasukan Kapten Djarot di bawah komando langsung Jendral Soedirman.

“Aku mendengar Moenasan dan teman-temannya berpencar. Kabar terakhir yang kudengar, Moenasan bergabung dengan orang kepercayaan Jendral Soedirman. Di antara orang-orang kepercayaan beliau adalah Kapten Djarot dan Basuki Rahmat. Moenasan memilih bergabung dengan Kapten Djarot.”

Sementara Mus dan teman-teman seprofesinya, sejak tragedi pembunuhan itu, mereka satu persatu memutuskan hengkang dari rumah Tjan Cuk.

Sebenarnya meski Mus tidak keluar dari rumah itu, tidak ada apa-apa. Toh, kecurigaan Belanda pada saat itu hanya mengarah pada pejuang-pejuang republik. Mereka sama sekali tidak menaruh curiga pada Mus dan teman-temannya.

Hanya saja Mus tahu bahwa cepat atau lambat rahasianya akan terbongkar. Jika masih berada di rumah itu, sewaktu-waktu Belanda akan menyisir tempat itu dan menangkap semua orang di dalamnya. Mus tidak ingin itu terjadi. Sikapnya adalah bentuk tindakan pencegahan sekaligus menghilangkan jejak seperti yang dilakukan Moenasan dan teman-temannya.

Dan ketika hendak pergi dari rumah itu, Tjan Cuk sempat melarangnya mengingat tenaga Mus masih sangat dibutuhkan. Akan tetapi tekad Mus sudah bulat. Perempuan muda dan pemberani itu akhirnya keluar dari rumah Tjan Cuk tanpa meninggalkan suatu apapun, kecuali koper peyok berisi pakaian dan sisa-sisa perjuangan kepedulian anak bangsa terhadap negaranya. Tak lama, kepergian Mus diikuti Bik Inah, Ijah, dan Warti.

“Sejak itu kami berpisah. Aku bekerja di rumah keluarga Arab di Ampel. Bik Inah kabarnya pulang kampung dan membantu suaminya berjuang di medan laga. Sedang Ijah dan Warti bekerja di rumah orang-orang Tionghoa mengurusi rumah makan. Awalnya kami berempat sering mengadakan pertemuan. Tapi setelah masa itu berakhir, kami tak lagi bertemu. Hingga detik ini rahasia kami masih tersimpan dengan baik. Meski kami sudah keluar dari rumah itu, Tjan Cuk tidak pernah tahu apa yang telah kami lakukan terhadap tamu-tamunya.” [tamat]

Diambil dari kumpulan Cerpen Seribu Perempuan karya Noviyanto Aji