Kleyang Kabur Kanginan

Bagong dan Gareng/Net
Bagong dan Gareng/Net

BAGONG NJAMBAL (32)

BAGONG dan Gareng terpingkal-pingkal melihat Durmagati ambruk karena mabuk tuak.

Setelah tertawanya reda, Bagong mendekati Durmagati. Diraba tubuhnya. Digoyang-goyang. Masih stabil. Tidak mati.

“Bagaimana, Gong?” Tanya Gareng.

“Dungu,” jawab Bagong singkat.

Gareng heran. Apa yang dimaksud Bagong dengan ‘dungu’?

“Maksudnya dungu, Gong?” Gareng bertanya lagi.

“Ya orang-orang seperti Darmagati ini seperti wedhus kopoken (budhek). Tidak bisa menggunakan akalnya. Mungkin kebanyakan bergaul dengan orang-orang dungu,” balasnya.

Gareng masih tidak paham dengan kata-kata Bagong. Matanya memandang Bagong berharap menjelaskan perkataannya.

“Ada pepatah mengatakan jangan dekati kuda dari belakang kalau tidak mau disepak, jangan dekati banteng dari depan kalau tidak mau diseruduk, dan jangan dekati orang dungu dari arah manapun kalau tidak mau ikutan bodoh,” sebut Bagong.

“Maksudnya, Gong?”

“Maksudnya kang, kalau Lojitengara dipimpin Welgeduwelbeh yang dungu, maka semua pengikutnya jadi dungu berjamaah. Ya ini contohnya Durmagati. Tidak peduli yang dilakukannya benar atau salah, dia akan membela mati-matian pemimpinnya yang dungu,” tegas Bagong.

“Durmagati, Citraksi, CItraksa, dan Kurawa lain memang pekok dari dulu, Gong. Tidak kaget,” sergah Gareng.

“Hei Reng, jangan salah. Adipati Ngawangga itu pinter. Ksatria linuwih. Titis dewa. Punya senjata ampuh Kaladite dan Bramastra. Tapi karena punya dharma dengan Prabu Duryudana, akhirnya semua perbuatannya selalu mencerminkan keangkaramurkaan. Ratu Karna selalu mendukung semua tipu muslihat Ratu Ngastina,” sahut Bagong.

“Terus?”

“Ada Begawan Durna dan Patih Sengkuni. Mereka sebenarnya orang-orang hebat. Durna menjadi gurunya para Pandawa. Sengkuni dipercaya menjadi patih Ngastina. Namun setiap perbuatannya mencerminkan kedunguan. Sebab ratu yang dibela dungu. Dan sekarang Ratu Ngastina mendukung Prabu Welgeduwelbeh. Setiap perkataan dan perbuatan ksatria-ksatria itu jadi dungu,” urai Bagong.

Bagong kemudian mencontohkan kebijakan negeri Lojitengara yang dipimpin Welgeduwelbeh dan Ngastina yang dipimpin Duryudana menjadi morat-marit. Bukan akibat pagebluk, melainkan memang pemimpinnya yang dungu. Sehingga apapun kebijakan yang diambil selalu berubah-ubah. 

Bagong mengibaratkan kebijakan negeri Lojitengara seperti kleyang kabur kanginan. Pemerintah Welgeduwelbeh dalam memutuskan sebuah perkara tidak mempunyai arah yang jelas.

Utang negara ditumpuk-tumpuk. Setelah bingung bayar bunga utang, cecenguk Welgeduwelbeh urusan keuangan ingin mendatangkan orang-orang dari negeri seberang untuk dimintai saran dan masukan.

Di dunia pendidikan, lanjut Bagong, cecunguk Welgeduwelbeh seperti mati suri. Gara-gara pagebluk, semua anak dilarang belajar.

“Pokoknya pagebluk dijadikan kepentingan penguasa untuk menindas rakyat. Bikin kebijakan sak karep udele. Otaknya diletakkan di dengkul,” ujar Bagong.  

Dengan kebijakan yang morat-marit ini, Bagong melihat rakyat yang menjadi korban. Satu generasi dibuat dungu. Mereka generasi penerus yang dilarang belajar. Alasannya agar tidak kena pagebluk. Padahal pasar-pasar sudah buka. Pemilihan kepala desa digelar serentak. Tempat hiburan rakyat dibuka. Lokasi wisata dibuka lebar-lebar. Bahkan orang-orang dari negeri seberang dipersilahkan masuk.

Bagong juga menyebut Welgeduwelbeh mengijinkan digelar kondangan. Bahkan Welgeduwelbeh tidak sungkan menghadiri kondangan orang-orang kaya.

“Kondangan yang dihadiri Welgeduwelbeh tidak dipermasalahkan. Masyarakat dibiarkan bergerombol. Tidak takut lagi dengan pagebluk. Tapi kondangan yang digelar begawan dipermasalahkan. Bahkan ada begawan itu dimasukkan pakunjaran,” gerutu Bagong.

Yang tidak habis pikir lagi, mudik dilarang. Pelarangan ini dikritik Bagong.

“Masa mudik yang sudah menjadi tradisi dilarang. Orang ibadah disuruh di rumah saja. Semua yang berada di dekat Welgeduwelbeh jadi pekok berjamaah,” njambal Bagong.   

“Lho, yang dilarang itu mudik bukan pulang kampung, Gong!” Timpal Gareng.

“Reng, lama-lama goblokmu kayak Welgeduwelbeh. Yang namanya mudik dan pulang kampung itu sama yo, Nyuuukkk!” Umpat Bagong gregetan.  

“Ya beda, Gong. Mudik itu rame-rame, Pulang kampung sendiri-sendiri,” Gareng tidak mau kalah.

“Kang, ini telapak tanganku sudah tak buka. Tak kaplok lho jika kakangku gobloknya kayak Welgeduwelbeh,” Bagong mengingatkan.

Gareng diam. Sesenggukan. Lalu membelakangi Bagong.

“Aku pulang saja, Gong!” Seru Gareng mengiba.

“Nesuuu. Kakangku kok nesu toh!” Seru Bagong.

“Lha, aku salah apa toh, Gong. Kok mau kamu tampar?” Gareng bertanya.

“Yo wis, Kang. Mudik beda dengan pulang kampung. Puas kowe!”  

Gareng tersenyum.

Dari kedunguan demi kedunguan ini, Bagong tidak sungkan menyebut Welgeduwelbeh sebagai Prabu Lojitengara yang tidak punya otak.

“Dia otaknya di dengkul. Welgeduwelbeh tidak punya otak. Cecunguk-cecunguknya yang berotak pintar jadi kethul. Kleyang kabur kanginan. Selalu berubah-ubah.”

“Gitu ya Gong. Terus nasib rakyat bagaimana, Gong. Apa juga jadi dungu?”

“Rakyat sekarang mulai kritis, Reng. Mereka sudah tidak percaya dengan janji-janji pemerintah. Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya dianggap tidak mampu mengelola negeri. Segala kebijakan yang diambil pemerintah terkesan sembrono. Kalau dibiarkan akan kacau. Karena itu Prabu Dwarawati menugaskan kita untuk melengserkan keprabon Welgeduwelbeh,” jawab Bagong.

“Tapi kita cuma berdua, Gong. Masa dua orang melawan satu kerajaan. Ini yang dungu kita mau menerima tugas atau yang memberi tugas?” Tanya Gareng.    

Bagong diam. Memikirkan perkataan kakangnya. Gareng ada benarnya. Tidak mungkin dua orang bisa mengalahkan satu kerajaan.

Bagong lalu berujar, “Sepertinya yang dungu yang memberi tugas, Reng!”

“Berarti Prabu Kresna dungu. Dan kita tidak boleh mendekati orang dungu dari arah manapun. Sebab kita ikutan dungu, Gong,” jawab Gareng sekenanya.  

“Sik…sik…Reng. Kok aku tambah mumet yo.”

Kedua Punakawan tersebut diam sesaat lamanya. Saling pandang-pandangan. Mereka memeras otak mencari cara untuk mengalahkan Welgeduwelbeh. Karena terus dilanda kebingungan, tanpa sadar mereka kelelahan dan tertidur.  

Penulis adalah wartawan Kantor Berita RMOLJatim

ikuti terus update berita rmoljatim di google news