Menang Pemilu

 Ilustrasi pemungutan suara/Net
Ilustrasi pemungutan suara/Net

SETELAH reformasi 98, terutama sejak pemilu secara langsung dilaksanakan pada tahun 2004, relatif hanya ada tiga partai yang berhasil memenangi pemilu, yaitu Golkar, Demokrat dan PDIP.

Jika akhirnya diperlukan jawaban atas pertanyaan; partai mana yang bisa dijadikan best practices dalam memenangi pemilu, maka mereka jadi jawabannya. Walaupun tentu saja, tiga partai tersebut masih menyimpan banyak catatan.

Setiap partai memang punya target memenangi pemilu, bahkan dengan kemenangan yang sebesar-besarnya. Karena memenangi pemilu, merupakan salah satu jalan, bahkan jalan yang paling cepat untuk mendapatkan kekuasaan. Jalan yang paling efektif untuk menduduki jabatan politik.

Maka jadi wajar jika setiap partai, berpikirnya dari pemilu ke pemilu. Tidak hanya wajar, tapi juga harus. Pun jika partai tersebut, punya rencana-rencana yang bersifat jangka panjang.

Untuk memenangi pemilu, partai bekerja dengan urutan tertentu. Dimulai dari membangun popularitas, likeabilitas, akseptabilitas dan elektabilitas. Semua kerja partai harus dipastikan bisa meningkatkan hal-hal tersebut di atas.

Kesadaran yang utuh tentang apa tujuan dari partai politik serta bagaimana seharusnya partai politik tersebut bekerja, seharusnya bisa membuat fungsionaris partai dapat menjalankan partainya dengan efektif.

Efektif di sini, kalau dalam teori manajemen, adalah kondisi di mana partai bisa mendapatkan hasil yang maksimal, walaupun resources yang dimiliki bersifat minimal.

Jika masih ada program yang dikerjakan oleh partai politik, tapi tidak mengarah pada peningkatan elektabilitas, maka dapat dikatakan bahwa partai politik tersebut belum dijalankan dengan efektif oleh para fungsionarisnya.

Apakah sia-sia?

Harusnya iya. Untuk apa sebuah partai menjalankan sebuah program kerja, tapi tidak berorientasi pada pemenangan pemilu. Apa guna sebuah program kerja, jika tidak berdampak pada peningkatan jumlah anggota dan penambahan jumlah suara.

Inilah yang saya kira dilakukan oleh Golkar, Demokrat dan PDIP, terutama saat mereka berhasilkan memenangi pemilu. Mulai dari mencalonkan tokoh populer dan kuat sebagai caleg, mengoptimalkan peran politik kepala daerah, serta memanfaatkan momentum coattail effect, dsb.

Mereka yang dicaleg-kan haruslah merupakan tokoh yang kuat dan populer. Kuat di sini banyak maknanya, tapi yang paling penting adalah mempunyai banyak resources.

Karena berfokus pada kekuatan dan popularitas, maka mereka yang dicalonkan itu, tidak selalu merupakan kader asli dari partai tersebut. Mereka direkrut bersamaan waktunya dengan waktu pencalegan. Mereka kemudian dijadikan anggota lebih kepada untuk memenuhi persyaratan saja.

Partai juga merupakan organisasi yang bersifat publik. Maka, mau tidak mau, ia harus dijalankan dengan transparan dan akuntabilitas. Dua hal ini tidak hanya perihal keuangan, tapi perihal apa saja. Terutama yang berkaitan dengan pemenangan pemilu.

Semua apa yang dikerjakan oleh partai, akan menjadi konsumsi publik. Pun yang mereka lakukan, bersifat internal. Apalagi jika kebijakan yang bersifat internal tersebut, ada dokumen tertulisnya.

Kalau begitu, apakah agenda pasca pemilu menjadi tidak penting? Termasuk fungsi-fungsi partai politik seperti sosialisasi, pendidikan, rekrutmen, advokasi dsb?

Tentu penting, sangat penting. Tapi semua harus dikerjakan dalam kerangka pemenangan. Program-program tersebut harus berorientasi juga pada penambahan jumlah anggota dan suara di pemilu.

Dengan kata lain, setiap partai harus berorientasi jangka pendek. Dari pemilu ke pemilu. Jika ada partai yang berorientasi pada jangka panjang, maka ia tetap dan harus dikerjakan dalam kerangka jangka pendek. Ia harus berdampak signifikan pada setiap pemilu. 

Pada akhirnya, berpikir dan menyiapkan rencana masa depan, bagi sebuah partai, tentu merupakan sebuah kebijakan yang sangat strategis. Tetapi ia menjadi berkurang manfaatnya jika partai tersebut tidak mendapatkan hasil yang maksimal di pemilu.

Aang Kunaifi

Pemerhati politik dan isu strategis