Kebebasan (Wakanda No More)

Rosdiansyah/Ist
Rosdiansyah/Ist

KALIMAT penutup Anies Rasyid Baswedan dalam debat capres pada 12 Desember benar-benar unik. Ia mengatakan ''Wakanda No More, Indonesia Forever''. Wakanda merujuk pada film Blackpanther produksi Marvel Studios. Dalam sekuel mutakhir film tersebut yang bertajuk 'Wakanda Forever', adik perempuan Blackpanther, Shuri, sempat berteriak ''Wakanda Forever!''. Pekik kebebasan.

Belakangan, mereka yang kritis pada kebijakan atau program orde rezim saat ini selalu memakai sebutan ''Wakanda'', yang implisit merujuk ke Indonesia. Sebutan ini sering ditemukan dalam perbincangan di media sosial atau sehari-hari warga untuk mengekspresikan kekecewaan pada situasi. Tersirat ketidakbebasan warga untuk menyebut langsung ''Indonesia'' karena waswas rezim tersinggung lalu mengkriminalisasi.

Artinya, sebutan ''Wakanda'' menjadi tameng agar bebas mengkritik, leluasa berkomentar. Siasat warga kritis seperti ini lazim ditemui di negara-negara yang mempraktekkan pengawasan ketat, anti-kritik dan cenderung menekan segala bentuk kebebasan warga. Pada masa akhir Orde Lama dan selama Orde Baru, ketidakbebasan warga menjadi ciri menonjol. Walaupun segala kebutuhan warga terpenuhi, tapi kebebasan warga mengkritik ditekan sedemikian rupa melalui berbagai cara.  

Diakui atau tidak, elit-elit rezim menganggap diri mereka adalah orang suci yang tak boleh dikritik. Mengkritik rezim akan disamakan dengan melawan negara. Dan siapapun yang sudah dicap melawan negara, maka ia akan menjadi ''musuh negara'' (enemy of the state). Lalu, aparat rezim pun bergerak. Mengawasi, memantau, mengkriminalisasi bahkan kemudian membunuh ''musuh negara''.

Contoh aktual dalam kasus ini adalah sesudah Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017. Aparat rezim menciptakan Satuan Tugas Khusus (Satgasus) yang berfungsi mengawasi lawan-lawan rezim. Aparat Satgasus menguntit para kritikus, bahkan mengawasi gerak-gerik siapapun yang dianggap musuh politik rezim. Rumah pengkritik rezim terus diawasi, dimonitor selama 24 jam. Tidak ada kebebasan warga.

Sepak-terjang Satgasus bersama para influencer bayaran terus memojokkan para kritikus. Selama akhir 2017 sampai 7 Desember 2020 Satgasus begitu digjaya. Mereka beroperasi pada semua wilayah yang dianggap sebagai basis kritikus. Berkat bantuan para buzzer, Satgasus bebas mengkriminalisasi siapa saja. Modusnya, setiap warga yang mengkritik rezim akan dilaporkan orang-orang binaan Satgasus ke kepolisian. Lalu, pelaporan itu disebar ke media massa dan media sosial. Tujuannya, menciptakan rasa takut atau teror kepada warga kritis.

Operasi cipta kondisi anti-kebebasan pun ditebar. Fokus utama operasi ini adalah mempersempit ruang gerak para kritikus. Puncaknya, terjadilah pembunuhan enam warga sipil di KM50 oleh aparat Satgasus pada dini hari 7 Desember 2020. Eksekusi tanpa proses pengadilan ini menjadi sorotan dunia internasional, tapi Satgasus tak acuh. Bahkan hasil proses penyelidikan Komnas HAM dianggap dekoratif, sampai sidang terdakwa kasus pembantaian KM50 itu pun tak sanggup menghadapi kedigjayaan Satgasus.

Kebebasan di Indonesia akan selalu terancam saat rezim bersikap fasis. Rezim tak demokratis selalu merasa berada dalam ancaman, anti-kritik bahkan cenderung membungkam suara-suara kritis. Padahal, kebebasan atau kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Artinya, hak tiap warganegara.

Peneliti di Surabaya