Keniscayaan Pj Gubernur Aceh dari Militer

Ilustrasi/adobe
Ilustrasi/adobe

ACEH dikenal sebagai daerah otonom. Daerah khusus yang mememiliki perbedaan kuat dengan daerah lain. Dimulai setelah damai lewat kesepakatan politik, Mou Helsinki. Kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Aturan itu memberikan Aceh kewewenangan mengatur pemerintahan sendiri, self government.

Namun kewenangan yang diagung-agungkan itu kemudian tak kunjung menjadi instrumen dalam melakukan perubahan di Aceh. Bahkan Aceh dianggap lalai dan lemah. Belakangan kenyataan yang sangat memprihatinkan, ketika Aceh masuk dalam klasmen degradasi "kemiskinan tertinggi se-Sumatera".

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Provinsi Aceh masih bertahan sebagai provinsi termiskin di Pulau Sumatera. Jumlah penduduk miskin di Serambi Mekah itu kini berjumlah 834 ribu orang atau 15,33 persen.

Dalam data dirilis BPS Aceh, pertengahan Juli 2021, jumlah penduduk miskin di Aceh periode September 2020 hingga Maret 2021 turun tipis secara persentase, dari 15,43 persen menjadi 15,33 persen. Namun, secara angka, masyarakat miskin di Tanah Rencong bertambah.

Padahal self government adalah suatu pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah untuk mengatur pemerintah sendiri, kecuali menyangkut tiga hal: kebijakan moneter atau keuangan, keamanan, serta kebijakan luar negeri. Tujuannya agar Aceh bisa bangkit dari ketertinggalan setelah konflik.

Artinya, di luar ketiga hal tadi, seharusnya Aceh mampu memulihkan ekonomi dan bangkit pasca-konflik dan tsunami. Dengan terobosan-terobosan kebijakan pembangunan yang merangsang ekonomi sehingga Aceh tidak terjerumus dalam klasmen terakhir kemiskinan di Sumatera.

Soal potensi ekonomi, Aceh sejatinya punya segalanya. Provinsi ujung barat Indonesia ini tercipta dengan limpahan sumber daya alam yang luar biasa mulai dari perikanan, perkebunan, hingga pertambangan. Namun, sekali lagi, bila potensi itu tak digarap dengan apik maka tak ada gunanya. 

Faktor sosial politik dan keamanan harus kita katakan masih menjadi hambatan. Sebagai bekas daerah konflik, Aceh masih menyimpan berbagai persoalan rumit di masyarakat. 

Jejak Masalah

Setelah perjanjian damai, Aceh mendapatkan kucuran anggaran. Pemerintah memberikan dukungan dana berupa pengalokasian dana otonomi khusus (Otsus) dalam APBN. Dana Otsus tersebut merupakan salah satu jenis belanja Transfer Ke Daerah dalam APBN yang besarannya ditentukan dalam persentase tertentu dari pagu Dana Alokasi Umum (DAU) nasional dan berlaku dalam jangka waktu tertentu.

Dana Otsus Aceh berlaku selama 20 tahun (2008-2027). Sejak 2008 atau tahun pertama pemberian dana otsus, Aceh belum punya rencana pokok maupun pengalokasian dana otsus yang rapi. Hingga 2015, pemakaian dana otsus dibiarkan liar atau hanya mengacu pada amanat Kesepakatan Damai Helsinki untuk enam bidang: pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, infrastruktur, ekonomi kerakyatan, dan keistimewaan Aceh.

Hingga 2018, total sekitar Rp 66,5 triliun digelontorkan pemerintah Indonesia demi memulihkan dan membangkitkan Aceh pasca-konflik dan tsunami. Jika mengacu pada UU Pemerintahan Aceh, pemberian dana otsus akan berakhir pada 2027 (Tirto, 30/07/18).

Meskipun demikian, hingga saat ini elit Aceh asyik betikai saat bagi kue APBA. Konfrontasi antara Legeslatif dan eksekutif begitu awet, berlarut hingga bertahun-tahun. Muara itu berimplikasi pada pembahasan anggaran beruoa penundaan dan tidak terencana dengan baik. Masyarakat selalu dirugikan. Persoalan yang trendnya selalu terjadi tak ada ujungnya.

Kebijakan anggaran, yang tidak tepat sarasan terus memberi ruang kesenjangan antara elit dan masyarakat. Apalagi, kegaduhan yang selalu muncul di kalangan penyelenggaraan negara bertumpu pada persoalan bagi jatah. Beberapa kali muncul isu sebagaian APBA dikuasai oleh segelintir orang yang dekat penguasa, kemudian hal itu diributkan oleh para elit di legeslatif. Hal-hal demikian kerap terjadi bertahun-tahun, hingga pergantian perioda kepemimpinan di Aceh.

Masyarakat semakin terpuruk, kemiskinan merajalela, pengangguran, kekerasan, narkoba, perampokan dan bahkan keamanan hidup semakin terancam. Beberapa waktu lalu Aceh kembali dimunculkan dengan agenda kriminal. Penyerangan Pos Polisi Panton Reu, penembakan Komandan Tim BAIS TNI yang tewas, dan perampokan Rp 140 juta di supermarker di Aceh timur dengan menggunakan senjata api.

Kasus beruntun ini terjadi akibat persoalan ekonomi. Sebelumnya, beberapa daerah pun kerap ditangkap pengedar narkoba jenis sabuh bahkan ada yang bertertonton.

Pembangunan ekonomi kita di bawah capaian semestinya. Bahkan berada di bawah angka nasional. Penurunan angka kemiskinan juga belum siginifikan, bahkan meningkat. Di saat yang sama, lapangan pekerjaan semakin sempit. Ini pertanda elit politik di Aceh tak peka pada persoalan Aceh yang berlarut-larut. Mereka selalu diasyikan dengan keributan persolan anggaran di setiap tahunnya. 

Situasi ini membuat kepercayaan (distruth) masyarakat terhadap Pemerintah Aceh dan DPR Aceh merosot ke titik nadir.

Padahal, gubernur yang telah memimpin Aceh hadir dari berbagai latar belakang, mulai dari profesor, bekas kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Belum satupun dari mereka mampu membuat Aceh bangkit dari ketertinggalan. Tak satupun yang mampu menjadikan Aceh menarik bagi investor. Para investor akan tertarik untuk melakukan investasi jika suatu daerah bisa menjamin tiga pilar, yakni potensi ekonomi, sosial politik dan keamanan.

Kepemimpinan Militer

Dalam kepemimpinan militer, loyalitas sering memegang posisi tertinggi. Unsur tersebut merupakan unsur utama dalam organisasi militer sehingga bisa menjadi karakter dasar. 

Kepemimpinan militer ditujukan untuk membangun, meningkatkan dan mempertahanhan loyalitasnya kepada masyarakat, bangsa, negara. Loyalitas dalam pandangan militer telah dibangun atas landasan falsafah bangsa dan Undang Undang Dasar.

Di negara barat yang berfalsafah demokrasi liberal dimana supremasi sipil memegang peran utama lcehidupan bernegara, maka di Indonesia kolaborasi antara tentara-rakyat dan rakyat-tentara (manunggal rakyat dan tentara) dalam menjalankan roda pemerintahan adalah hal yang lumrah. 

Peran kepemimpinan tentara sebagai pejuang yang kemudian dikenal sebagai tentara-rakyat, tentara- pejuang, tentara-profesional, tidak lantas menghilangkan peran mereka sebagai rakyat. Bentuk perjuanganpun mengalami metamorfosis. Dari perjuangan angkat senjata frontal langsung berhadapan dengan musuh negara, menjadi perjuangan dalam kegiatan sosial politik (Syam, 2003).

Militer mempunyai semangat yang tinggi dan jiwa harsa yang kuat, untuk dapat dikerahkan dalam rangka pelaksanaan tugas pokok sebagai pemimpin. Militer dibutuhkan untuk mengembalikan kewibawaan pemerintah daerah yang telah merosot di mata publik yang kecewa. Militer adalah entitas yang disegani, dan oleh karenanya amat tepat untuk misi mengembalikan kepercayaan publik kepada pemerintahnya.

Sosok Penjabat Gubernur Aceh dari kalangan militer juga menjadi keniscayaan untuk menjamin tegaknya aspek keamanan dalam pemilu serentak yang akan datang. 

Sebagaimana sudah jadi pengetahuan umum, setiap pesta demokrasi di Aceh pasti terjadi gangguan keamanan serius yang memakan korban. Beberapa kasus teror bahkan melibatkan penggunaan senjata api yang diduga sisa dari konflik Aceh.

Kementerian Dalam Negeri menganggap pejabat gubernur, atau pejabat sementara gubernur, yang berasal dari kalangan sipil tidak cakap untuk berkoordinasi mengamankan pelaksanaan pesta demokrasi. 

Sebaliknya, penjabat dari kalangan TNI/Polri mudah berkomunikasi dengan aparat keamanan. Selain faktor kemampuan mobilisasi pasukan keamanan, Kemendagri juga berdalih bahwa usul penugasan Pj atau Pjs dari kalangan perwira TNI/Polri karena kekurangan pejabat eselon I di Kementerian Dalam Negeri (Tirto, 28/01/18).

Menempatkan sosok militer sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Aceh bukan hanya bermanfaat bagi publik dan hadirnya kembali legitimasi pemerintahan daerah. Sosok militer juga akan menguntungkan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden Joko Widodo.

Dengan menempatkan seorang sosok militer yang berpengaruh, kuat, cerdas, dan tegas, beban Pemerintah Pusat dalam mengatasi berbagai problem politik yang merusak di Aceh dapat terminimalisasi. Pasalnya sosok militer pasti disegani semua pihak. Dengan gambaran di atas, menempatkan orang militer sebagai Pj Gubernur Aceh memang sebuah keniscayaan.

Penulis adalah pemerhati isu-isu sosial politik.