Waspadai Varian Omicron, ini Himbauan Dokter Spesialis Patologi RS UNS

Foto/RMOLJateng
Foto/RMOLJateng

Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengumumkan temuan varian baru SARS-CoV-2 B.1.1.529 atau Omicron, Kamis (25/11/2021).


Pemerintah Indonesia langsung merespons munculnya varian Omicron dengan melarang Warga Negara Asing (WNA) yang memiliki riwayat perjalanan 14 hari terakhir dari Afsel, Botswana, Namibia, Zimbabwe, Lesotho, Mozambique, Eswatini, Malawi, Angola, Zambia, dan Hongkong untuk masuk ke tanah air.

Selain itu, Warga Negara Indonesia (WNI) yang kembali ke Indonesia dan memiliki riwayat perjalanan dari negara-negara tersebut, akan dikarantina selama 14 hari. Kebijakan ini mulai berlaku Senin (29/11/2021) pukul 00.01 WIB.

Merebaknya varian Omicron turut mendapat perhatian dari Juru Bicara (Jubir) Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 sekaligus Dokter Spesialis Patologi Klinik Rumah Sakit (RS) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Tonang Dwi Ardyanto dr. SpPK, Ph.D.

"Meski hingga ini Pemerintah belum mengonfirmasi kasus varian Omicron di Indonesia, bukan berarti masyarakat bisa tenang dan abai dengan Protokol Kesehatan (Prokes). Justru dengan informasi penyebaran varian Omicron, masyarakat harus berhati-hati dan disiplin menerapkan Prokes supaya kasus merebaknya varian Delta pada Juli-Agustus lalu tidak terulang di libur Natal-Tahun Baru." Ungkap dr Tonang, dilansir dari Kantor Berita RMOLJateng, Jumat (3/12).

Saat ditanya mengenai tingkat keganasan varian Omicron, dr. Tonang menjawab bahwa informasi masih terus berkembang sesuai perkembangan penyebaran varian ini.

Ia meminta agar masyarakat tidak terlalu memikirkan tingkat keganasan varian Omicron. Yang terpenting bagi dr. Tonang adalah mewaspadai tingkat penyebaran varian Omicron.

dr. Tonang mengharapkan agar Instalasi Gawat Darurat (IGD) di RS lebih siap bila sewaktu-waktu terjadi lonjakan kasus Covid-19 akibat varian Omicron. Ia tidak ingin pasien Covid-19 terlantar seperti Juli-Agustus lalu.

“Memaknai ganas atau tidak, sebenarnya sangat tergantung kondisi setempat. Proporsi angka kematian (CFR) varian Delta misalnya, sebenarnya rendah. Walau kasus tinggi di beberapa negara, bahkan sangat tinggi, tapi persentase kematian rendah,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia justru menekankan penanganan Covid-19 difokuskan pada tingkat penyebarannya. Dengan demikian, penyebaran Covid-19 tetap terjaga, jumlah kasus tidak melonjak, fasilitas kesehatan tetap sanggup menampung sampai secara alami gelombang Covid-19 menurun. 

“Yang harus diperhatikan itu tingkat penyebarannya. Kalau kasusnya sangat tinggi, RS kewalahan, tempat tidur kurang, sampai harus antri di IGD, atau bahkan terpaksa bertahan di rumah saja, maka jadi besar risikonya. Angka kematian menjadi tinggi. Artinya, harus kita waspadai,” lanjut dr. Tonang.

Perlu diketahui, selama 1,5 tahun pandemi Covid-19 melanda dunia, Indonesia sudah terkena dua kali gelombang penyebaran Covid-19. Hal ini membuat jumlah pasien Covid-19 termasuk angka kematian melonjak drastis.

Dalam hal ini, dr. Tonang menjelaskan, ada dua hal yang dapat terjadi ketika gelombang Covid-19 melanda. Pertama, bisa saja walau penyebaran Covid-19 terjaga, tapi jumlah kasusnya tinggi dengan catatan orang yang terkonfirmasi Covid-19 tetap terisolasi dan pasien berat mendapat perawatan.

“Kedua, mulai terjadi lonjakan, penyebaran tidak tertahan, sampai tidak terkendali, semakin banyak terinfeksi, tersebar begitu saja, semakin tinggi kasusnya, semakin banyak yang maaf meninggal, kemudian setelah begitu banyak yang terinfeksi, kasus menurun karena virus tidak lagi menemukan tempat berkembang biak yang baru,” ucap dr. Tonang.

Untuk itu, dr. Tonang meminta agar Pemerintah memastikan kedisiplinan masyarakat melaksanakan Prokes, membantu memisahkan sumber-sumber penularan dengan isolasi, merawat orang yang mengalami gejala Covid-19, dan melakukan vaksinasi.

Ia menambahkan, cara-cara di atas juga perlu didukung dengan kebiasaan memakai masker, mencuci tangan, dan yang tak kalah penting adalah membatasi interaksi antara Indonesia dengan negara lain.

“Dua itu kewajiban Pemerintah, tidak mungkin masyarakat bisa melakukannya. Bisanya adalah mendukungnya. Mari kita awasi dan ‘juwehi' terus menerus diingatkan, bila perlu agar Pemerintah benar-benar memenuhi kewajibannya,” pungkas dr Tonang.