Adu Klaim Caketum PBNU

Muktakar Nahdalatul Ulama di Lampung/Net
Muktakar Nahdalatul Ulama di Lampung/Net

POLITIK itu klaim, kata seorang sahabat, A Fadil Muzakki Syah, anggota DPR RI. Pendapat ini ternyata dipedomani oleh banyak orang. Tak terkecuali oleh calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dua kubu yang berlaga pada Muktamar ke-34 NU pada 2021 di Lampung, melakukan adu klaim.

Melalui Ketua Pengurus Wilayah (PWNU) Propinsi Jawa Barat, KH Juhana Muhammad, kubu KH Said Aqil Siroj mengklaim dukungan dari 28 PWNU. Sementara, melalui Ketua PBNU, Saifullah Yusuf, kubu KH Yahya Cholil Staquf mengklaim didukung oleh 80 persen PWNU seluruh Indonesia.

Dari klaim ini, pasti ada PWNU yang bermain dua kaki. Sebab, bila dikalkulasi dukungan itu melebihi 100 persen jumlah PWNU yang ada.

Seluruh Indonesia, jumlah PWNU sebanyak 34. 

Adu klaim caketum PBNU di atas, pasti sekadar pengakuan tanpa didukung oleh kenyataan. Tentu, ini sebuah ironi dari permainan politik ala kaum sarungan.

Padahal, siapa pun yang mengklaim dirinya orang NU pasti terikat dengan 9 Pedoman Berpolitik Warga NU. Terutama point kelima yang berbunyi berikut:

"Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama".

Jelas, di antara kubu dan para pendukung caketum PBNU bertindak tak jujur dan melakukan tipu muslihat. Cara berpolitik seperti ini kurang patut sebagai tokoh pemangku moral di tengah-tengah masyarakat. Praktik politik ini pula membenarkan permisifisme dalam meraih kekuasaan.

Mangunhardjana dalam buku, "Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z", permisifisme adalah pandangan dan sikap memperbolehkan segala sesuatu, tanpa peduli dengan tuntuntan etika dan sanksi moral apa pun. Semestinya, Muktamar NU menampilkan moral agung dari ulama sebagai pewaris para nabi.

Bila para ulama mempraktikkan cara tak jujur dalam perebutan posisi sebagai Rais Aam dan Ketua Umum PBNU, maka dengan jujur harus dikatakan, ini malapetaka moral yang kian memperburuk citra politik praktis. Banyak orang akan putus asa terhadap masa depan moral politik agung. Lalu kepada siapa lagi umat dan bangsa ini mencontoh?

Imam Al-Ghazali sudah mengingatkan: "fasadud dunya bifasadil umara' wa fasadul umara' bifasadil ulama' wa fasadul ulama' bihubbid dunya (kerusakan dunia disebabkan oleh kerusakan pemerintah, dan kerusakan pemerintah disebabkan oleh kerusakan ulama dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta pada dunia).

Jadi, adu klaim Caketum PBNU bukan sekadar hal sederhana, ini sejatinya momentum untuk mempertontonkan integritas moral para kaum nahdliyyin pada dunia. Para elite NU telah menanggalkan cara politik lama yang permisif dan hipokritistik.

Tapi tampaknya, para tokoh NU jamak layaknya politisi pada umumnya. Bahwa politik itu "seni muslihat", bukan "seni maslahah". Demi dan atas nama meraih atau mempertahankan kekuasan, semua cara dihalalkan.

Padahal, tidak demikian adanya. Di politik ada fatsun. Kata Surya Paloh, politik bukan sekadar untuk meraih kekuasaan tapi juga mewujudkan nilai-nilai kebajikan. Madinatul Fadhilah (negara utama) merupakan cita luhur akhlak dari perjuangan politik Rasulullah SAW dalam membangun Negara Madinah.

Para ulama berkewajiban menjalankan siyasah nubuwah (politik profetik) yang membawa misi liutammima makarimal akhlaq (menyempurnakan kemuliaan akhlak) manusia. 

Bila politik nirmoral tetap dipraktekkan oleh para kubu caketum PBNU, maka mereka secara moral, tak sah sebagai pewaris para nabi.

Akhirnya, saya kutipkan kata bijak Bill Murray, seorang aktor, penulis dan komedian serba bisa Amerika Serikat, "Jadi, jika kita berbohong kepada pemerintah, itu kejahatan. Jika mereka berbohong kepada kita, itu politik".

Perkataan Murray tersebut merupakan autokritik komedian terhadap praktek kebohongan yang dipilih-pilih. Bergantung pada kekuasaannya. Bila orang yang berkuasa berbohong itu politik, dan bila orang yang tak berdaya berbohong itu kejahatan.

Kesimpulan ini puncaknya sangat berbahaya secara moral, politik itu sejatinya dianggap seni berbohong.

Oleh karena itu, adu klaim Caketum PBNU, jangan sampai dipersepsikan oleh publik sebagai adu lihai kebohongan antar sesama kader NU. Na'udzubillahi min dzalik!

Moch Eksan

Wakil Ketua DPW Partai Nasdem dan Pendiri Eksan Institute