Disebut Terlibat Serangan Umum 1 Maret 1949, Fadli Zon: Saat Itu Soekarno-Hatta dalam Tahanan

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon/Net
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon/Net

Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang hingga kini menuai polemik, diharapkan segera untuk direvisi.


Hal itu disampaikan langsung Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dalam postingan kanal YouTube pribadinya Fadli Zon Official, dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (5/3).

"Kita berharap ada revisi terhadap Keppres 2/2022 tersebut khususnya pada bagian pertimbangan, yang menurut saya salah," kata Fadli Zon.

Terutama, kata dia, bagian Pertimbangan dalam Keppres 2/2022 itu disebutkan bahwa Soekarno dan Hatta menyetujui dan menggerakkan Serangan Umum 1 Maret 1949. Padahal, kala itu Soekarno-Hatta masih dalam tahanan Belanda, bukan menggerakkan SU 1 Maret 1949.

"Pada bagian Pertimbangan (Keppres 2/2022) yang menurut saya salah, terutama Soekarno Hatta menyetujui dan menggerakkan, karena bukan dari situ, karena mereka dalam status sebagai tahanan," tegasnya.

Fadli Zon menjelaskan, peristiwa SU 1 Maret 1949 itu tidak berdiri sendiri. Selain itu, peristiwa tersebut juga memiliki rentetan peristiwa yang panjang hingga akhirnya serangan tersebut berhasil dilancarkan untuk menegaskan bahwa Indonesia masih ada.Indonesia merdeka proklamasi pada 17 Agustus 1945.

Singkat cerita, Belanda yang juga dibantu oleh sekutu Inggris yang baru menang dari Perang Dunia ke-2 berusaha mengambil alih kembali wilayah yang ketika itu diduduki oleh Jepang, dalam hal ini Indonesia.

Selanjutnya, Belanda melakukan berbagai macam usaha, termasuk dengan kekerasan dan bahkan dengan pembunuhan massal terhadap rakyat Indonesia, dengan melakukan agresi militer pertama tahun 1947 dan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948.

Agresi kedua ini memang diantisipasi oleh para pemimpin nasional ketika itu Presiden Republik Indonesia Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, sekaligus juga Kepala Kabinet atau Perdana Menteri.

"Jadi ketika itu sistemnya adalah sistem parlementer. Jadi, kabinet Hatta rapat waktu itu dan mengantisipasi jika sewaktu-waktu terjadi agresi militer Belanda kembali maka ditunjuklah Mr. Safrudin Prawiranegara sebagai Kepala Pemerintahan yang mengetuai, semacam emergency government atau pemerintah darurat," jelasnya.

Pada 22 Desember 1949 Mr. Safrudin Prawiranegara mendeklarasikan sebuah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yaitu di daerah Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota di Sumatera Barat, dengan ibukota pemerintah darurat di Kota Bukittinggi.

"Jadi, resmilah bahwa kita masih ada sebagai negara 22 Desember 1948," kata Fadli Zon menjelaskan.

Lanjutnya, ketika agresi militer Belanda kedua, Bandara Maguwo di Yogyakarta dikuasai oleh Belanda. Selanjutnya, Belanda menangkap Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Haji Agus Salim.

"Mereka dibuang ke Prapat, Soekarno, Syahrir, dan Haji Agus Salim. Bung Hatta langsung dibuang ke Menumbing di Bangka. Kemudian pada bulan berikutnya, barulah kemudian Bung Karno dibuang juga ke Bangka bersama dengan Haji Agus Salim," tutur Fadi Zon.

"Jadi, selama periode itu Bung Karno dan Bung Hatta tidak bisa melakukan aktivitas apapun karena mereka statusnya adalah tawanan Belanda. Bahkan Bung Hatta di dalam rumah tahanannya itu berada di dalam sel pada mulanya yaitu di rumah Bung Hatta di Menumbing yang kini bisa dilihat di Provinsi Bangka," pungkasnya.


ikuti update rmoljatim di google news