NU dan Dramaturgi Kiai Marzuki Mustamar

KH Marzuki Mustamar/Net
KH Marzuki Mustamar/Net

SUDAH muncul beberapa tokoh sebagai calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk bertarung pada Muktamar NU di Lampung. Salah satunya Ketua Pengurus Wilayah (PWNU) Jawa Timur KH Marzuki Mustamar. Ia dideklarasikan oleh Gawagis Penjaga Nahdlatul Ulama (GPNU) sebagai calon alternatif.

Kiai Marzuki memang dikehendaki oleh beberapa Pengurus Cabang (PCNU) di Jawa Timur untuk maju sebagai calon Ketua Umum PBNU. Namanya juga muncul pada survei dari Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) sebagai calon ketua umum paling favorit pilihan nahdliyyin.

Dalam Survei yang dilakukan pada 25 Maret-5 April 2021 terhadap 1.200 responden itu, Pengasuh Pondok Pesantren Sabilulrasyad Malang ini mengungguli KH Said Aqil Siroj dan KH Yahya Cholil Staquf dengan 24,7 persen. Sementara, kedua caketum lain masing-masing mendapat 14,8 persen dan 3,7 persen.

Sayangnya, sistem pemilihan Ketua Umum PBNU bukan melalui pemilu raya. Sehingga, hasil survei di atas tak selaras dengan keinginan pemilik suara Muktamar NU. Apalagi pada kernyataannya, Kiai Marzuki sendiri mendukung duet KH Miftachul Akhyar-Gus Yahya sebagai Rais Aam dan Ketua Umum PBNU yang akan datang.

Manuver Kiai Marzuki dan para pendukungnya sengaja berbagi peran secara dramaturgi. Satu sisi mendukung orang lain, sisi lain didukung untuk maju sendiri.

Skenario ini bertujuan menaikkan barganing position di antara para kandidat calon yang muncul. Bahwa Jatim berjasa besar, sampai rela mengalah demi kemenangan sang calon.

Kiai Marzuki sangat lihai memainkan seni panggung. Antara panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage) taklah sama. Muktamar NU merupakan drama teater yang berisi interaksi sosial dalam memperebutkan kursi Rais Aam dan Ketua Umum PBNU. Kiai Marzuki seorang aktor yang ingin menjadi pemeran utama dalam agenda terbesar Jam'iyyah lima tahunan sekali ini.

Adalah hal lumrah dalam beberapa pemilihan, Kiai Marzuki pada Pilkada Serentak 2020 di berbagai daerah Jatim, memainkan double gardan dengan menggerakkan dua poros roda.

Di Jember misalnya, tersebar video dua baiat terhadap dua pasangan calon bupati dan wakil bupati. Yaitu, pasangan H Hendy Siswanto-KH Muhammad Firjaun Barlaman, dan pasangan Abdussalam-Ifan Ariadna.

Kiai Marzuki dalam membaiat dua pasangan calon tersebut, tak menunjukkan wajah bercanda sedikit pun. Bahkan mimiknya selalu nampak sangat serius mengarahkan masyarakat Jember untuk memenangkan pasangan dari keluarga nahdliyyin.

Dari kasus di atas, Kiai Marzuki terlihat benar-benar "pemain watak" yang sulit ditebak kemana arah pembicaraan dan tindakan yang sesungguhnya.

Sebagai teatris, ia pemain panggung yang sukses mengelabui tebakan para penonton. Ending cerita dari sebuah lakon akan selalu mendebarkan. Apakah akan Happy ending atau sebaliknya? Hanya ia dan Allah SWT yang tahu.

Muktamar NU dalam perspektif dramaturgi ala Ervin Goffman, merupakan drama teater terbesar yang diwarnai banyak intrik sebagai bentuk respon dari konflik kepentingan para pemimpin NU, baik di pusat maupun di daerah. Kiai Marzuki membawa kepentingan Jatim dalam perebutan pucuk pimpinan NU.

Selama ini, Jatim merupakan daerah istimewa NU yang menjadi episentrum ideologi dan gerakan Islam ala ahlussunah wal jamaah annahdliyah.

Dalam konteks ini, manuver Kiai Marzuki haruslah dibaca. Bila tidak, Muktamar NU tak ada bedanya dengan kongres partai politik yang berisi perebutan kursi semata. Bahkan boleh jadi lebih dari partai politik. Menjadi perebutan kursi yang berkedok agama.

Memang, NU bukan partai politik, Muktamar yang berlangsung menjelang Nataru (Natal dan Tahun Baru), merupakan peristiwa politik akbar di Indonesia. Dimana, para kiai NU di jajaran Syuriah dan Tanfidziyah seluruh Indonesia memilih pimpinan mereka.

Muktamar NU bukan momen hampa kepentingan politik. Intervensi pemerintah pasti tidak bisa dielakkan. Apalagi, banyak tokoh NU sekarang yang berada di dalam pemerintahan, baik di pusat, propinsi maupun Kabupaten/kota.

Saya teringat pernyataan Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris yang berhasil meraih kemenangan gemilang pada Perang Dunia II, "politik itu seperti perang sama membahayakannya. Dalam perang, anda hanya bisa dibunuh satu kali, tetapi dalam politik anda bisa dibunuh berkali-kali".

Lalu kartu siapakah yang akan hidup atau mati? Apakah Kiai Marzuki? Kiai Said? Atau Gus Yahya? Biarlah sejarah yang menjawabnya.

*Mantan Wakil Sekretaris PCNU Jember, Jawa Timur.