Analisis Ekonom: Utang Bisa Bengkak di Kuartal II 2022, Negara Terancam Krisis

Ilustrasi / net
Ilustrasi / net

Besaran utang pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terus melonjak hingga hari ini diprediksi bakal mengancam stabilitas perekonomian nasional.


Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios), Bhima Yudhistira memperkirakan, pada kuartal II-2022 rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) akan naik.

"Rasio utang idealnya dijaga pada level di bawah 40 persen terhadap PDB. Tekanan pembiayaan bunga utang juga berisiko meningkat ketika suku bunga acuan dinaikkan sehingga memicu naiknya kupon SBN secara kontinyu," ujar Bhima kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (9/4).

Bhima menjelaskan, jika suku bunga acuan naik dalam kisaran 25 hingga 50 bps, maka imbal hasil SBN diperkirakan akan naik lebih menjadi 7 sampai 7,75 persen.

"Saat ini imbal hasil SBN tenor 10 tahun mencapai 6,74 persen atau naik 36 bps," imbuhnya memaparkan.

Di samping itu, Bhima juga mengingatkan pemerintah agar memperhatikan beban utang terhadap penerimaan pajak yang masih tinggi.

"Meskipun keseimbangan primer bisa ditekan menjadi surplus namun pengeluaran belanja pemerintah yang meningkat akibat tambahan subsidi energi dan pangan menimbulkan kenaikan beban pembiayaan utang pada kuartal ke II 2022," tuturnya.

Maka dari itu, Bhima berharap pemerintah bisa membuat kebijakan prudent untuk menghadapi dampak utang pemerintah yang membengkak.

Tercatat, hingga Februari 2022 utang sudah mencapai Rp 7.014,58 triliun, atau bertambah sekitar Rp 4.349,7 triliun dari semenjak awal Presiden Jokowi memerintah di periode pertama pada tahun 2015.

"Melihat perkembangan risiko utang secara global, pemerintah harus lakukan berbagai mitigasi risiko sehingga krisis utang bisa dihindari," demikian Bhima.