Hidup Mencekam di Bawah Teror, Ini Kesaksian Empat WNI di Ukraina

(Kiri Atas) Prihatini, (Kanan Atas) Maysaroh, (Kiri Bawah) Pepi Aprianti Utami, dan (Kanan Bawah) Rini Ambarwati menceritakan perang di Ukraina dalam program RMOL World View pada 14 April 2022/RMOL
(Kiri Atas) Prihatini, (Kanan Atas) Maysaroh, (Kiri Bawah) Pepi Aprianti Utami, dan (Kanan Bawah) Rini Ambarwati menceritakan perang di Ukraina dalam program RMOL World View pada 14 April 2022/RMOL

Ledakan bom, alarm peringatan, jerit ketakutan, dan tangis sudah menjadi makanan sehari-hari bagi penduduk Ukraina. Setidaknya sejak 24 Februari lalu.


Apa yang disebut sebagai "operasi militer khusus" oleh Rusia telah memporak-porandakan negara yang dijuluki "keranjang roti Eropa" ini.

Pemerintah Ukraina memperkirakan 30 persen dari infrastrukturnya sudah hancur dan rusak akibat perang.

Data dari Kantor Komisi Tinggi HAM PBB menunjukkan jumlah korban tewas akibat perang sudah mencapai 2.224 orang, dan 2.897 lainnya terluka. Kendati begitu, angka ini masih terus diperdebatkan bagi Ukraina dan Rusia.

Tragedi Bucha yang disebut sebagai genosida oleh beberapa pemimpin dunia juga menjadi salah satu titik panas lain antara Kyiv dan Moskow.

Terlepas dari diskrepansi data dan perselisihan kedua belah pihak, dunia dibuat pilu dengan kenyataan bahwa perang telah menelan banyak korban.

Di antara penduduk Ukraina yang saat ini masih berjibaku dengan teror perang, terdapat 32 warga negara Indonesia (WNI) di sana.

Memutuskan untuk tidak ikut dalam proses evakuasi ke tanah air, mereka menjadi saksi perang di Ukraina. Dari 32 WNI tersebut, empat di antaranya mengungkap pengalaman mereka dalam program RMOL World View bertajuk "Kesaksian WNI di Ukraina" pada 14 April lalu.

Ibukota Porak Poranda

Kabar mengenai kemungkinan invasi Rusia ke Ukraina telah menyebar di ibukota Kyiv beberapa hari sebelum 24 Februari. Hal itu membuat Pepi Aprianti Utami cukup khawatir dan memutuskan untuk berlindung di KBRI Kyiv.

Hari pertama invasi, Pepi dan sejumlah WNI lainnya menjadi saksi serangan bom dan rudal yang menargetkan pinggiran ibukota.

"Di KBRI, saya dan WNI lainnya ikut merasakan teror serangan rudal Rusia. Semakin hari, semakin intens. Setiap jam ada peringatan serangan udara. Kami harus sembunyi di bunker," tutur Pepi mengisahkan pengalamannya.

"Selama lima hari kami hidup di bawah teror Rusia," imbuhnya.

Situasi yang tidak kondusif di ibukota memang mengharuskan Pepi dan WNI lainnya untuk tinggal lebih lama di KBRI Kyiv sebelum bisa direlokasi ke kota bagian barat yang relatif lebih aman.

Ketika itu, Pepi menyebut, beberapa jembatan menuju kota-kota di Ukraina bagian barat telah dihancurkan oleh pasukan Rusia.

“Melihat situasi yang tidak mungkin untuk melaksanakan evakuasi, KBRI telah memutuskan untuk mengevakuasi seluruh WNI di Ukraina untuk berangkat ke negara perbatasan Moldova,” jelas Pepi.

Namun Pepi tidak mengikuti arus evakuasi tersebut, ia memilih untuk merelokasikan dirinya ke kota Vinnytsya.

Selama di Vinnytsya, Pepi selalu mendapatkan kabar dari sang mertua yang berada di distrik Ivankiv, Oblast Kyiv.

Dari mertuanya, Pepi mendapatkan kabar bahwa setelah pasukan Rusia meninggalkan kawasan tersebut, banyak rumah warga yang dijarah dan dijadikan markas mereka. Tidak terkecuali rumah Pepi.

"Setelah pasukan Rusia mundur, mertua saya ngecek rumah di Ivankiv. Kami sangat kaget, rumah kami dijadikan sebagai sarang tentara Rusia, di mana mereka meluncurkan rudal-rudalnya ke Kyiv,” terang Pepi.

“Jadi rumah kami dijarah, microwave hilang, dapur sudah berantakan, dan mereka meninggalkan 'souvenir' berupa ranjau. Jadi tidak aman untuk kembali,” tambahnya.

Mykolaiv, Kota Petani yang Terus Dibombardir

Kisah Pepi tidak jauh berbeda dengan WNI lainnya yang tinggal di kota bagian selatan dari Ukraina, Mykolaiv.

Di kota yang mayoritas penduduknya bertani itu, Prihatini atau Titin tidak menyangka Mykolaiv menjadi salah satu zona pertempuran.

Ketika serangan di Kyiv sudah terjadi sejak 24 Februari, penduduk Mykolaiv dikejutkan dengan serangan Rusia pada 1 Maret.

"Saat aku bersama suami ke apotek untuk membeli obat, persediaan sudah habis. Kemudian kita belanja ke supermarket terdekat, untungnya beras masih ada, pasta masih ada, dan lain-lainnya masih tersedia. Di perjalanan kami mendengar gosip dari warga sekitar bahwa pasukan Rusia sudah mendekati Mykolaiv, mau menuju ke sini,” jelas Titin.

Tidak lama setelah pulang, Titin kemudian mendengar beberapa suara tembakan yang diiringi rentetan bom. Alhasil, ia bersama suami dan anak-anaknya bersembunyi di garasi.

Serangan yang semakin intens membuat keluarga kecil Titin terpaksa berlindung di dalam mobil sembari berdoa dan berharap dapat selamat.

"Setelah mulai mereda, bom datang lagi. Kali ini lebih dekat suaranya, dan tiba-tiba lampu mati semua. Untungnya beberapa jam kemudian lampu kembali menyala,” kisah Titin dengan suara gemetar.

Dua hari setelah serangan tersebut, Titin kembali mengunjungi apotek yang sama, dan ia dibuat terkejut dengan situasi seluruh gedung yang sudah hangus.

“Aku nggak mengerti kenapa Rusia ingin menyerang Mykolaiv. Kota ini mayoritas hanya petani. Ternyata setelah aku melihat berita, tentara Rusia hanya ingin lewat, dan penduduk lokal tidak menyambutnya dengan baik," tuturnya.

Demi mempertahankan Mykolaiv, Titin mengatakan, penduduk memberontak dengan berbekal molotov dan Kalashnikov (AK-47). Akhirnya mereka juga dibantu dengan artileri dan serangan udara dari pasukan Ukraina hingga tentara Rusia mundur dan bergerak menyebar ke pinggiran.

Serangan di Mykolaiv tidak berhenti, bahkan semakin intens. Pada 3 Maret, serangan kembali terjadi, tepat ketika Titin sedang berbelanja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pengalaman mengerikan itu akhirnya membuat Titin terpaksa berdiam diri di rumah, sembari menjadi saksi bagaimana roket dan rudal saling bersahutan.

"Mereka (Tentara Rusia) itu ada di kampung sebelah, mencari makan, dan menyandera warga lokal,” ucap Titin.

Titin dan keluarganya akhirnya memberanikan diri untuk meninggalkan Mykolaiv pada 12 Maret, setelah jet terbang di atas rumahnya dan menjatuhkan bom ke pusat kota.

Saat ini, Titin dan keluarga tinggal di Odessa.

Hidup "Normal" Bersama Teror di Odessa

Suara alarm peringatan disusul ledakan bom hampir didengar setiap hari oleh Maysaroh dan keluarganya yang tinggal di Odessa, kota pelabuhan di selatan Ukraina.

Maya, panggilannya, mengungkap, kapal peluncur rudal Rusia sempat bertengger di pelabuhan Odessa pada dua minggu pertama invasi. Kapal tersebut diduga merupakan Moskva yang tenggelam pada akhir pekan lallu.

“Di dua minggu pertama, itu terdapat banyak suara ledakan. Suasananya sangat mencekam di saat itu. Suara rentetan bom dan senjata setiap subuh hampir kita dengar. Alarm serangan juga nyala setiap saat di waktu itu, kita sangat siaga dan waspada,” ujar Maya.

Situasi yang tidak memungkinkan membuat Maya dan keuarganya memutuskan untuk tetap tinggal di Odessa.

Meski menghadapi teror, Maya diyakinkan sang suami untuk tetap menjalankan aktivitas sehari-hari, seperti yang dilakukan penduduk Odessa lainnya.

“Ketika perang sudah memasuki minggu ketiga, aktivitas di Odessa sudah terlihat normal dan kami pun keluar dari rumah untuk membeli makanan. Kita sempat ke taman, pasar dan membeli bahan makanan. Dan itu ramai, baik di jalanan maupun di pasar,” ujar ibu dua anak itu.

Kendati berusaha hidup senormal mungkin, Maya mengaku masih selalu merasa khawatir dan takut. Terlebih polisi dan tentara berseragam yang jarang ia lihat tiba-tiba menjadi ramai di seluruh penjuru kota.

Lviv yang Tidak Selalu Aman

Berada di perbatasan Ukraina dan Polandia, Lviv disebut sebagai salah satu kota "paling aman" sejak invasi Rusia dimulai.

Kota ini menjadi tujuan warga Ukraina dari wilayah zona pertempuran untuk berlindung, atau hanya lewat demi mengungsi ke negara lain.

Sejak 24 Februari, Rini Ambarwati menuturkan, pengungsi telah berbondong-bondong datang ke Lviv. Saat ini, restoran telah disulap menjadi dapur bersama. Sementara sekolah, teater, dan tempat umum lainnya menjadi pusat pengungsian.

Lviv juga menjadi salah satu kota yang berusaha untuk tetap produktif selama perang. Pasokan makanan diupayakan terus mengalir ke seluruh Ukraina dari Lviv.

Sayangnya, Lviv tidak selalu aman. Rini mengatakan, alarm peringatan tidak jarang terdengar di kota kecil tersebut. Setidaknya sudah ada tiga kali ledakan bom yang terjadi sejak invasi di Lviv.

“Selama pasukan Rusia masih berada di Ukraina, saya tidak merasa aman. Aman kami itu fake,” ujar Rini.

Sejak perang terjadi, Rini dan penduduk Lviv lainnya juga semakin sering mendapatkan pengecekan identitas. Otoritas Ukraina sendiri khawatir jika ada penyusup Rusia yang berusaha masuk ke Lviv.