Sambut HUT RI ke-77, Young Buddhist Association Ajak Generasi Muda Tangkal Bahaya Radikalisme dan Ekstremisme

Young Buddhist Association dalam forum dialog lintas agama dan etnis yang digelar secara daring di Surabaya, Sabtu malam (6/8)/ist
Young Buddhist Association dalam forum dialog lintas agama dan etnis yang digelar secara daring di Surabaya, Sabtu malam (6/8)/ist

Jelang HUT Republik Indonesia ke-77, Young Buddhist Association Indonesia mengajak generasi muda  untuk bersama-sama menangkal bahaya radikalisme dan ekstremisme. Ajakan tersebut seperti yang dilakukan Young Buddhist Association lewat forum dialog lintas agama dan etnis yang digelar secara daring di Surabaya, Sabtu malam (6/8). 


Dalam forum dialog ini dihadiri pula oleh beberapa aktivis kemanusiaan, aktivis Islam, aktivis Budha, dan Bhiksu yang menjadi pembicara dalam forum ini dengan tujuan untuk merajut toleransi antar umat beragama. Bahkan beberapa pembicara berasal dari lintas negara seperti Indonesia dan Malaysia, diantaranya Wawan Gunawan (Aktivis Kemanusiaan di Indonesia), Bhante Dhirapunno (Bhiksu), Eow Shiang Yen (General Secretary Young Buddhist Association of Malaysia), dan Aizat Shamsuddin (Founder and Director Komuniti Muslim Universal).

Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha Kemenag RI,  Supriyadi dan Ketua Young Buddhist Association Indonesia, Gondo Wibowo Tantri, M. Eng mengapresiasi penuh dengan adanya kegiatan dialog lintas agama ini. 

Billy Lukito Joeswanto, Koordinator acara dari Young Buddhist Association Indonesia mengatakan acara ini memiliki fungsi bertukar pikiran dari dua bangsa serumpun, dari muslim dan buddhis dalam menangkal ekstremisme dan radikalisme yang dimana menjadi krisis di kehidupan sosial saat ini.  

"Radikalisme dan ekstremisme bisa dihambat perkembangannya dengan orang baik dan yang toleran, mulai bersama komunitasnya beraksi. Apabila kita diam dan acuh tak acuh dalam melihat situasi krisis itu, maka oknum radikal dan ekstrim pemenangnya. Young Buddhist Association berjalan sesuai visi misi ajaran buddha dhamma tidak membiarkan hal itu terjadi," ujarnya.

Wawan Gunawan mengatakan radikalisme muncul dari bagaimana seseorang menempuh kehidupan keagamaan. Hal ini merupakan gejala yang terjadi di beberapa lapisan kehidupan dari sosial, individu serta dari sisi keagamaan dan politik. 

"Pada dunia media sosial sekarang ini sangat dibutuhkan beberapa filter, dari diri sendiri, sosial, dan politik. Kebijakan pemerintah dalam dunia agama akan menjadi peran penting dalam mewujudkan masyarakat yang toleran dan dapat menghadapi radikalisme. Toleransi yang dijalani oleh masyarakat Indonesia dan Malaysia bukan hanya sikap menghormati adanya perbedaan, tetapi juga berfungsi untuk menegaskan perbedaan yang dibutuhkan untuk memunculkan kerjasama dalam perbedaan, dan saling mendorong dalam hal yang positif dalam perbedaan. sebagaimana fungsi Pancasila di Indonesia yang dihidupi oleh semua agama. Dia bukan agama, tetapi mengakomodasi semua agama dan menjadi titik temu. Penting bagi kita sebagai masyarakat untuk sadar kembali tentang pancasila dan bhineka tunggal ika," ujarnya.

Sementara Bhante Dhirapunno menegaskan dalam radikalisme dan ekstremisme yang penuh emosi pada media sosial, kita harus sadar agak tidak membawa penderitaan bagi diri sendiri dan membawa penurunan toleransi dalam pergaulan dan komunitas di sekitar.

"Perlu kita renungkan bahwa cinta kasih yang diajarkan semua agama tidak merugikan orang lain dan diri sendiri. Jaga pikiran, jaga ucapan, jaga mata, jaga jari di medsos. Jalan hidup ini, kemanapun kita melangkah tinggalkan jejak kebaikan dan kebenaran. Menjaga pikiran adalah sebuah proses latihan. Perjuangan bertoleransi tidak akan ada finishnya, Karena akan selalu ada yang tidak toleransi dan ada orang-orang seperti kita yang selalu berjuang untuk menghadapi toleransi," tegasnya. 

Eow Shiang Yen, General Secretary Young Buddhist Association of Malaysia menjelaskan perbedaan budaya dan kebebasan beragama adalah nafas. Kebebasan beragama membawa berkah bagi banyak orang secara keseluruhan. Karena itu ia menegaskan jika kita perlu mempromosikan pemahaman yang lebih baik dan hubungan yang lebih baik terkait perbedaan dan juga bagaimana mengelolanya.

"Kita perlu memiliki pengalaman unik yang mendalam tentang kerja sama Indonesia dan Malaysia, untuk menggabungkan solusi dari banyak ras atau agama untuk mencegah radikalisme dan ekstremisme kekerasan. Seperti yang dinyatakan oleh Buddha, Jalan Tengah adalah yang terbaik untuk masalah ini. Tidak terlalu ekstrim dan tidak terlalu pasif adalah cara menghadapi ekstremisme dan radikalisme," tuturnya. 

Pembicara lain dari Malaysia, Aizat Shamsuddin selaku Founder and Director Komuniti Muslim Universal (KMU Malaysia) mengatakan Ideologi ekstremisme berperan dalam radikalisasi masyarakat. Kelompok ekstremisme menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebencian dan kekerasan pada masyarakat luas. 

"Untuk mengatasinya kita perlu meningkatkan kehadiran media sosial kita, karena itulah sumber informasi. Kita semua memiliki peran untuk dimainkan di komunitas kita sendiri. Kita harus mencoba yang terbaik untuk mempromosikan kepositifan, kedamaian, kasih sayang, dan kebaikan", ungkapnya. 

Aizat menambahkan, pendidikan yang lebih holistik dan lebih terintegrasi perlu dilakukan di sekolah. Hubungan baik antar agama dan etnis perlu dilakukan.

"Kita membutuhkan pertukaran budaya untuk mempererat hubungan dan pertukaran ilmu dalam berbagai aspek. Kita berdua dari Indonesia dan Malaysia bisa saling belajar bersama untuk menangkal bahaya radikalisme dan ektremisme," tegasnya.