Aktivis dan Akademisi Soroti Fenomena Pejabat Pelaksana Tugas SKPD Pemkab Banyuwangi

Diskusi publik, aktivis dan akademisi soroti pejabat Plt SKPD pada Pemkab Banyuwangi/RMOLJatim
Diskusi publik, aktivis dan akademisi soroti pejabat Plt SKPD pada Pemkab Banyuwangi/RMOLJatim

Belasan orang yang terdiri dari kalangan aktivis dan akademisi kembali menggelar diskusi publik menyoroti kebijakan Bupati Banyuwangi.


Itu untuk menyoroti banyaknya pejabat di Satuan Kerja Perangkat Daerah pada Pemkab Banyuwangi dengan status Plt atau pelaksana tugas.

Bertempat di sebuah kafe di Kecamatan Genteng, diskusi bertema ‘Mengkritisi Kebijakan Bupati: Fenomena Plt SKPD dan Efektivitas Penyelenggaraan Pemerintahan’, dihadiri oleh Marsindi, Cak Toli, Langlang, Masruri, Faruq perwakilan IAIDA Blokagung, Ainur Rofiq, Danu Budiyono, dan Mukhlisin inisiator diskusi.

Hadir sebagai narasumber, pakar Administrasi Publik Fisip Untag 1945 Banyuwangi Dr Hari Priyanto dan dipandu MK Abbas, yang menjadi pemantik diskusi didampingi Danu Budiyono. Acara itu berlangsung gayeng lantaran dihadiri Moh Rifai, aktivis senior yang juga mantan ASN bidang pendidikan.

Hary Priyanto mengatakan, Plt adalah pejabat yang diberi mandat menduduki jabatan tertentu untuk melaksanakan fungsi pejabat definitif tanpa melupakan jabatan awalnya, misalnya sekretaris dinas diberi mandat menjadi kepala SKPD dengan batas waktu sesuai peraturan yang berlaku.

Dalam aspek kesejarahan, birokrasi sebagai warisan kolonial belanda. Birokrasi sebagai kerajaan modern yang rajanya adalah pejabat (Thoha, 2005:2).

“Jika birokratnya banyak, maka pejabat menerapkan model Parkinsonian dalam pembagian struktur demi kepentingan kekuasaan politik. Struktur kebirokrasian menjadi besar tetapi tidak efektif dan tidak efisien. Tugasnya untuk mengendalikan masyarakat,” papar Hary mengutip model Orrwelian, dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Sabtu (27/8).

Semua pihak sepakat bahwa tidak boleh ada politisasi dalam pemerintah. Namun, kata dia, ‘kepentingan’ Plt dalam birokrasi menyebabkan bertabrakan dengan batasan untuk tidak berpolitik. “Pejabat Plt lebih ‘mengikuti alur kepentingan’ bupati dibanding menjalankan tupoksi aslinya, administrasi dan pelayanan publik,” tegas dia.

Sementara itu, Danu Budiyono yang juga sekretaris Apindo Banyuwangi mengatakan, kebijakan Bupati Banyuwangi yang menetapkan sejumlah pejabat sebagai Plt termasuk Kepala DPMPTSP itu berdampak bagi para pengusaha yang mengajukan PBG (sebelumnya IMB).

“Dimana produk perizinan seperti PBG belum bisa diproses sejauh ini semenjak kepemimpinan Bupati Ipuk. Padahal di banyak daerah itu bisa, contoh saya ngurusi di Situbondo di Malang jadi PBG,” ujar Danu.

“Hanya 1 di Banyuwangi yang PBG-nya sudah keluar yaitu masjid di Sraten, itupun setelah ada rame-rame ada demo,” imbuhnya.