Surat Edaran Mendagri soal Penjabat Gubernur Lahirkan Persoalan Baru 

Pengamat kebijakan publik Amir Hamzah/Ist
Pengamat kebijakan publik Amir Hamzah/Ist

Kurang dari satu bulan ke depan Provinsi DKI Jakarta akan dipimpin Penjabat Gubernur hingga Pilkada 2024 untuk menggantikan Anies Baswedan.


Tak cuma siapa calon Pj Gubernur DKI, publik turut menyoroti Surat Edaran Mendagri No. 831/5492/SJ. 

Surat Edaran Mendagri tersebut menentukan nasib Pj Gubernur dalam menjalankan tugas hingga akhir waktu menjabat.

Terlebih lagi, berdasarkan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan UU No 13 Tahun 2022, maka Surat Edaran Menteri tidak termasuk dalam struktur Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Melihat hal itu, pengamat kebijakan publik dari Budgeting Metropolitan Watch (BMW) Amir Hamzah menilai SE Mendagri tentang Persetujuan Mendagri Kepada Pelaksana Tugas/Penjabat/ Penjabat Sementara Kepala Daerah dalam Aspek Kepegawaian Perangkat Daerah untuk melakukan tindakan kepegawaian justru menimbulkan banyak tanda tanya.

"Apalagi SE Mendagri yang diterbitkan bersamaan dengan penyerahan dokumen dan berita acara tiga nama calon Pj Gubernur DKI Jakarta 14 September 2022," kata Amir dalam keterangannya yang dimuat Kantor Berita RMOLJakarta, Selasa (20/9).

Amir melanjutkan, berangkat dari pemahaman tentang ketentuan yang menyangkut proses pembentukan peraturan perundang-undangan maka SE Mendagri tersebut bukannya akan menjadi rujukan bagi pelaksanaan tupoksi dan wewenang para penjabat kepala daerah.

Namun sebaliknya, SE Mendagri itu akan melahirkan banyak persoalan baru bagi setiap pejabat kepala daerah dalam melaksanakan tupoksi dan wewenangnya.

“Memahami butir 4 dari SE ini dapat disimpulkan bahwa hal ini merupakan pelimpahan wewenang secara mandat dari Mendagri Kepada para pejabat kepala daerah,” kata Amir.

Dengan demikian artinya bila para pejabat kepala daerah ini melakukan kesalahan dalam setiap tindakan kepegawaiannya maka tanggung jawab dan tanggung gugat atas kesalahan itu harus dibebankan kepada Mendagri, bukan kepada Pj kepala daerah bersangkutan. 

Sementara itu, khusus berkaitan dengan pejabat kepala daerah di tingkat provinsi yang lazimnya disebut penjabat gubernur maka isi dari SE tersebut juga menimbulkan banyak kerancuan.

Apabila tupoksi dan wewenang pejabat gubernur adalah sama dengan gubernur definitif maka eksistensi para pejabat gubernur tersebut sama sekali bukan merupakan satuan tugas khusus (Satgassus) Menteri Dalam Negeri.

Sebab para penjabat gubernur itu adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat yang berarti pula bahwa setiap pejabat gubernur adalah medebewind presiden di daerahnya.

Oleh karena itu, sambung Amir, maka SE Mendagri tersebut tidak boleh ditujukan kepada para pejabat kepala daerah di tingkat provinsi.

“Untuk mencegah timbulnya pretoria administratif dan pretoria birokrasi maka penentuan tugas dan wewenang para pejabat gubernur harus diatur dengan kebijakan presiden. Hal ini untuk memastikan bahwa para pejabat gubernur adalah medebewind presiden dan bukan medebewind Mendagri,” demikian Amir.