Melihat Potensi Kemenangan Tanpa Politik Transaksional

Founder Inkrenusa Teknologi Pemilu, Arief Rahman Chalid/Ist
Founder Inkrenusa Teknologi Pemilu, Arief Rahman Chalid/Ist

*OLEH: ARIEF RAHMAD CHALID

PEMILU 2024 sudah diambang pintu, sejumlah Bakal Calon Legislatif dan Kontestan Pemilu 2024 sudah mulai menghidupkan mesin mesin politik mereka. Persiapan semakin mengguat di semua elemen stakeholder politik tanah air, dari sejak rekrutmen relawan, rekrutmen koordinator pemenangan disemua tingkatan bahkan konsolidasi di akar rumput. Spanduk dan baliho serta stiker mulai bertebaran, hotel-hotel mulai padat kegiatan disewa kalangan entitas politik untuk konsolidasi hingga kongres.

Satu hal yang saya perhatikan sangat serius adalah menguatnya politik transaksional di level akar rumput. Bahkan masyarakat akar rumput seolah menjadikan tradisi even pemilu sebagai ladang meminta sembako yang dibarter dengan dukungan mereka.

Seorang sahabat yang berencana maju sebagai bakal calon kontestan Pemilu 2024 mengalami hal yang sama, sebagaimana yang disampaikan relawannya bahwa masyarakat mau memberikan KTP dukungan bila si bakal calon mau membarter dengan “sembako". Sahabat yang memiliki prinsip dan idealisme ini menolak dan keberatan dengan segala pola dan budaya politic transaksional itu. Apakah sahabat saya ini mampu lolos dan mencapai target dukungan KTP sesuai syarat KPU?

Beliau bukannya tidak memiliki dana untuk melakukan itu, namun hati kecilnya menolak segala bentuk politik transaksional yang sudah mendarah daging di masyarakat kita. Satu sisi dia dihadapkan dengan syarat KPU, di sisi lain berhadapan pula dengan politik transaksional yang mengakar di masyarakat akar rumput kita.

Di Jawa, umum dikenal istilah "Wani Piro". Istilah yang menggambarkan tradisi radikal politik transaksional ini menjalar di seluruh tanah air kita. Sebagian kita pura-pura tutup mata dengan hal ini, sambil mencampakkan hati nurani kebangsaannya. Padahal jujur kata hati kita pasti menolak tradisi semacam itu. Bahkan semangat UU Pemilu juga melarangnya. Tapi mengapa tradisi ini makin mengakar?

Siapa yang Memulai Semua Ini?

Mengutip sejumlah pandangan soal ini. Istilah politik transaksional juga kerap dinamakan sebagai politik dagang sapi. Maksudnya, politik transaksional adalah perjanjian yang dilakukan oleh beberapa pihak dalam usahanya untuk memperoleh dan menguasai kekuasaan. Pandangan tentang politik transaksional bisa lebih luas dan bahkan dapat mencakup seluruh kegiatan politik.

Artinya, politik transaksional bukan hanya terjadi pada ranah pilihan presiden atau Pilpres saja. Pemahaman ini juga bisa berkembang ketika penyelenggaraan pilgub, pileg, pikades, pilkada, dan lain sebagainya.

Menurut sebuah pendapat ahli, awal mula berkembangnya politik transaksional adalah ketika tahun 1950-an. Zaman tersebut adalah ketika Indonesia menerapkan presidensial di mana presiden akan memberikan jatah menterinya kepada koalisi dan bukan malah kepada oposisi. Tentu hal ini bisa memunculkan berbagai macam dampak positif dan negatif. Lalu apa saja dampak dari politik transaksional?

Masyarakat masih sangat permisif terhadap politik  uang baik dalam pemilihan kepala desa, kepala daerah, dan pemilihan umum lainnya. Mereka menganggap wajar pemberian uang, barang, atau fasilitas lain selama kontestasi politik tersebut. Budaya politik transaksional ini perlu dihilangkan untuk memperbaiki kualitas demokrasi.

1. Dalam politik transaksional, calon berkwalitas akan kalah. karena pertarungan pemilu berubah arah menjadi kompetisi uang, kompetisi bagi bagi sembako untuk menarik dukungan publik akar rumput.

2. Dalam poltik transaksional, orang-orang jujur dan idealis akan tumbang dan kalah. Kompetisi akan dimenangkan orang orang yang 'berani' halalkan segala cara demi kemenangan, demi tujuan tercapai.

3, Politik transaksional menghancurkan budi pekerti bangsa Indonesia yang dulunya dikenal jujur, santun, penuh pertimbangan untuk kepentingan semua.

4. Politik transaksional akan melanggengkan korupsi, uang-uang haram berkeliaran di saat pemilu untuk 'menyuap' masyarakat yang sudah rusak moralitas politiknya akibat godaan uang, materi dan asal perut kenyang.

5. Politik transaksional akan berpotensi meruntuhkan kebaikan dan menguatkan kejahatan dan amoral di masyarakat kita.

6. Politik transaksional jelas bertentangan dengan segala norma agama, budi pekerti, akhlak dan moralitas.

Masih Adakah Harapan? Lantas Siapa yang paling berdosa? Dan Siapa Yang Paling Dirugikan?

Harapan menuju perbaikan akan tetap ada. Namun karena kerusakan ini masif, yang menurut saya sudah hampir 80 persen masyarakat ternodai dengan tradisi ini sejak tahun 1950-an itu, kian parah di era pasca reformasi ini.

Menurut analisa saya, jika kita sependapat menolak politik transaksional, maka pendidikan politik di masyarakat harus dijalankan sungguh-sungguh.

Masyarakat harus diajak untuk mendukung kontestan pemilu tanpa iming-iming 'sembako', 'uang' dan sebagainya. Hal ini tak mudah memang!

Karena masyarakat juga memiliki alasan alasan, diantaranya kekecewaan masyarakat pada kontestan pemilu yang sudah terpilih malah meninggalkan mereka setelah terpilih menang. Sehingga ada pandangan "Lebih baik minta sekarang, daripada nanti pasti gigit jari".

Alasan lainnya adalah, karena masyarakat kita banyak yang miskin. Miskin secara ekonomi yang melahirkan miskin moralitas akhlak. Yang penting perut kenyang, apapun yang terjadi maka terjadilah! Itulah pandangan yang mengakar kini.

Untuk masyarakat kalangan atas, atau masyarakat berpendidikan tinggi, masyarakat ekonomi menengah keatas. Mereka sama sekali tidak membutuhkan barter dukungan semacam itu. Namun berapakah prosentasenya masyarakat ideal seperti ini di negeri kita? Tentu sangat kecil jumlahnya.

Survei lapangan kami di Jakarta membuktikan, ketika kontestan pemilu semisal caleg mencari dukungan masyarakat akar rumput melalui Ketua RT dan Ketua RW di lingkungan dapilnya, seringkali di hadapkan dengan permintaan 'sembako' minimal isinya seperti 1 liter minyak goreng, 5 kg beras, 5 bungkus mie instan. Itu akan membuat kontestan pemilu itu akan mudah mendapatkan dukungan kolektif di tingkat kampung-kampung Jakarta.

Apakah semua orang yang berhasil duduk di parlemen melakukan ini saat mereka menjadi caleg dalam pemilu? Silakan anda survei sendiri di wilayah anda. Politik transaksional terjadi masif di masyarakat ekonomi lemah, bahkan di negara negara miskin kerap budaya ini dianggap lumrah. Demokrasi tidak dapat subur berkembang dengan baik pada kondisi ekonomi morat marit di masyarakat.

Solusi Kemenangan Anda yang Antipolitik Transaksional

Saya membaca dan menganalisi sejak pemilu 2009. Teknik mendapatkan dukungan tidak semata-mata dengan iming-iming materi atau uang itu.

Masih banyak masyarakat kita yang juga menolak money politic. Namun anda harus tahu, bahwa jumlahnya sangat kecil dan sedikit. Sementara untuk jadi pemenang anda membutuhkan perolehan suara yang siginifikan.

Artinya anda pasti akan masuk juga di tengah masyarakat yang sudah rusak itu. Walau anda juga mendapatkan masyarakat baik yang antipolitic uang. Akhirnya antara idealisme dan keinginan untuk menang akan bertarung kuat dalam bathin anda.

Popularitas dan keterpilihan di level pemilu caleg sangat lebih besar potensi berhadapan dengan masyarakat sakit yang doyan sembako, vulgar meminta uang ke caleg. Anda dan timses anda harus bisa mengklusternya dengan baik.

Anda harus bisa membuat pemetaan politik soal ini. Jika anda adalah sosok idealis yang anti politik transaksional disarankan harus siap bekerja ekstra jauh jauh hari. Bukan kerja pemenangan yang dadakan.

Anda harus menanam budi di masyarakat. Misalnya anda dikenal berjasa dimasyarakat sejak lama, maka masyarakat pun sungkan meminta syarat dukungan kepada anda.

Namun jika anda adalah new commer, sosok baru di mata masyarakat dapil anda. Maka jangan berharap banyak bila anda belum dikenal memiliki jasa besar di masyarakat Dapil anda. Kemunculan anda dalam konstelasi pemilu di dapil itu, tidak akan diperhitungkan jika anda adalah sosok yang belum memiliki popularitas kebaikan di dapil.

Tapi ada juga pendatang baru yang cepat populer karena dia gencar bagi-bagi sembako, rutin menyambangi konstituennya, blusukan, mau door to door campaign, mau datang langsung menyapa masyarakat misalnya. Jadi tidak melulu harus ada apa-apanya baru dapat dukungan.

Mengetuk hati tiap orang untuk mendukung anda adalah pekerjaan yang tidak mudah. Ini membutuhkan sistem dan kerjasama tim yang solid. Ditunjang dengan manajemen pemenangan yang terukur dan tertarget. Tapi itu juga harus jauh-jauh hari anda mulai, bukan dadakan!

Kapan Anda Bisa Memulai untuk Menang?

Pengalaman kami sejak 2010 membuktikan bahwa caleg yang bekerja keras sejak dia masih bakal caleg akan berpotensi jadi pemenang ketimbang yang berbuat setelah dapil dikuasai pesaing-pesaingnya.

Maka saran saya, mulailah! Jangan menundanya!

Inkrenusa Jakarta menyediakan sistem pemenangan pemilu yang runut dan rapi, namun disarankan agar persiapan pemenangan harus dimulai sejak jauh jauh hari, sejak sekarang misalnya. Bukan menunggu nanti!

Perhitungkan dengan matang jika sungguh-sungguh mau menjadi kontestan pemilu. Kuasai dapil anda sejak sekarang! Lakukan pemetaan politik di dapil jauh-jauh hari dan rekrut tenaga tenaga potensial untuk membantu anda menang.

Akhirnya, tulisan ini tidak semata mata mengeluhkan dampak politik transaksional. Namun juga mengemukakan secercah harapan buat kita semua yang masih memiliki hati nurani yang suci murni membangun sistem politik tanah air yang beradab, berakhlak, bermoral. Semoga kebaikan kebaikan lah yang menjadi pemenang. Aamiin.

Bagi anda yang membutuhkan informasi produk pemenangan pemilu, silakan menghubungi WA 082122011505. Semoga bermanfaat. 

*Penulis adalah Founder Inkrenusa Teknologi Pemilu, yang juga anggota Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta, alumni Angkatan XIV Lembaga Demografi UI, dan Tenaga Ahli Konsultan Pemenangan Pemilu Alcotech Indonesia