Sumpah, Ini Indonesia, gaes!

Peneliti JPIPNetwork, Roadiansyah/Ist
Peneliti JPIPNetwork, Roadiansyah/Ist

COBA tebak berapa usia mereka yang hadir dalam Kongres Pemuda 17-28 Oktober 1928? Tak lebih dari usia 30 tahun. Seluruh peserta Kongres Sumpah Pemuda di Batavia merupakan generasi Perang Dunia I. Pimpinan Kongres Soegondo Djojopoespito, lahir tahun 1905 di Tuban. Sekretarisnya, Mohammad Yamin, lahir tahun 1903 di Minangkabau. Bendaharanya, Amir Syarifuddin, lahir tahun 1907 di Medan. Komponis lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan saat Kongres, Wage Rudolf Supratman, lahir 1903. 

Dari tahun kelahiran masing-masing, bisa diperkirakan, rata-rata usia panitia Kongres Pemuda tersebut adalah 20an tahun. Soegondo masih berusia 23 tahun, Yamin 25 tahun, Amir 21 tahun, WR Supratman 25 tahun. Begitupula usia peserta kongres. Boleh dikata, masih berusia produktif yang sangat idealis. Terbiasa bercakap dalam bahasa Belanda atau bahasa-bahasa Eropa lainnya. Membuat mereka gampang melahap literatur-literatur canggih pada masa itu.  

Mereka tahu situasi global berkat sajian informasi aktual dari koran berbahasa Belanda. Belum ada radio karena NIROM, radio pemerintah Hindia-Belanda, baru berdiri tahun 1934. Hanya media cetak serta buku yang menjadi pintu ke dinamika dunia. Membaca buku atau media cetak memberi mereka asupan pengetahuan. 

Membaca, tulis Belinda Jack dalam buku ''Reading, A Very Short Introduction'' (2019), memberi beragam efek kepada pembaca. Efek menakutkan, larut dalam emosi, membangkitkan simpati, menambah wawasan, menjadi lebih paham, bahkan sanggup menyadarkan. Aktivitas ini tak mengenal etnis, agama, ras apalagi golongan. Asalkan punya akses ke literatur, siapapun bisa memperoleh efek itu. 

Berkat kefasihan berbahasa Belanda, muda-mudi terdidik pada dekade '20an berhasil memahami apa yang mereka baca. Dan mereka berasal dari berbagai etnik di tanah Hindia-Belanda. Tak ada lagi halangan bagi mereka untuk menyelami isi bacaan. Membaca sejarah bangsa-bangsa lain, menyimak perkembangan politik serta ideologi yang sedang beken saat itu, termasuk menikmati untaian karya sastra dunia. 

Indonesia sebagai Petanda 

Mari kita lihat kenapa momen Sumpah Pemuda 1928 sukses memantik rasa kebangsaan. Kita pakai kerangka pasca-struktural untuk memotretnya. Merujuk buku kondang ''Of Grammatology'' (1967), karya filsuf Prancis Jacques Derrida. Ditegaskannya, menulis merupakan tipe utama komunikasi dibanding bercakap-cakap atau ngobrol. Jabaran Derrida ini reaksi pada pandangan strukturalis tentang tanda (sign) dalam sistem bahasa, penanda (signifier) dan petanda (signified). Kaum strukturalis melihat petanda dan penanda selalu berkaitan. Petanda adalah tempat kata dalam keseluruhan sistem bahasa dan penanda adalah suara lisan dari kata atau tanda tertulis dari kata. Kaum strukturalis meyakini petanda (konsep) memberi makna kepada penanda. Derrida menolak ini.

Derrisa mengusung apa yang kemudian disebut sebagai ''Graphocentric'' (grafo-sentris). Ia berpandangan, bahasa tulis lebih kuat dari sekadar bahasa lisan. Menulis jadi penting, dan apa yang telah dituliskan menjadi bagian dari perjalanan umat manusia. Di dalam tulisan terkandung konsep. Ketika seseorang membaca tulisan, maka ia tersadar bahwa dirinya hadir dalam lingkungan sekitar. Para pendiri bangsa kita nyaris seluruhnya menuliskan cita-cita, kehendak atau keinginan bersama. Mereka menyaksikan dampak penjajahan. Mereka melihat begitu getir hidup di bawah kolonialisme Belanda. 

Dari membaca dan menulis itulah, lalu makna apa itu bangsa dan menjadi bangsa mandiri, hadir di tengah-tengah masih menguatnya rasa kedaerahan. Lalu, mereka pun larut menulis. Segalanya karena ditulis, tertulis dan berkegiatan menulis. Derrida menyalahkan anggapan kaum strukturalis bahwa ucapan adalah primer dan menulis itu sekunder. Justru menulis, tegas Derrida, itu yang utama, yang primer, dan merupakan pangkal peradaban, menandai munculnya kebudayaan yang bisa disebar. 

Soegondo Djojopoespito, pemimpin Kongres Pemuda II di Batavia adalah figur yang gemar membaca dan menulis. Begitupula dengan Mohammad Yamin dan peserta kongres lainnya. Mereka menyerap berbagai pengetahuan yang telah tersebar dalam buku-buku berbahasa asing, lalu menulis gagasan-gagasan orisinilnya. Kesadaran mereka bangkit bukan karena seringnya membincang soal-soal kehidupan masyarakat saja, melainkan juga ditopang oleh kebiasaan membaca dan menulis yang intens. 

Penjajahan adalah tanda penghisapan, eksploitasi sekaligus sumber ketidakadilan. Semua struktur sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat kolonial yang timpang adalah penanda penjajahan. Oleh karena itu, dibutuhkan petanda (signified) yang kontras dari semua idiom-idiom penjajahan. Itulah rasa kebangsaan, yang disatukan ke dalam rasa sebagai korban penghisapan, dampak eksploitasi yang telah berlangsung selama berabad-abad. Petanda itu kudu mewujud dalam ekspresi tekad. 

Ketika Sumpah Pemuda 1928 dituliskan lalu dibaca oleh kaum terdidik yang sudah memahami tata bahasa modern dengan baik. Kata ''Indonesia'' menjadi kata yang didalamnya termaktub petanda anti-penjajahan, anti-eksploitasi sekaligus anti penindasan. Menggunakan ritme penulisan yang mudah diingat, gampang dipahami, maka tiga untai frasa sumpah itu menjadi sumber inspirasi. Indonesia yang dicita-citakan adalah Indonesia yang bebas dari penindasan, anti-penjajahan dan anti-eksplotasi. Inilah terobosan awal abad 20 di Indonesia. 

Ala kulli hal, Sumpah Pemuda 1928 tentu bukan sembarang sumpah dan tidak sembarangan menyumpah. Melalui sumpah itu, kata ''Indonesia'' yang semula dipakai sebagai kata pengganti sebutan 'Hindia-Belanda' sejak 1925 oleh organisasi Pehimpunan Indonesia, lalu sejak 1928 menjadi sebutan tanah-air, bangsa sekaligus bahasa yang telah menyatu dalam pikiran dan sanubari. Itu petanda penting. Sumpah, itu Indonesia, gaes!

Peneliti JPIPNetwork