Sejarah Monumen Banteng Ketaton Di Madiun, Cermin Semangat Pejuang Saat Agresi Militer Belanda I

foto/RMOLJatim
foto/RMOLJatim

Monumen Banteng Ketaton yang berada di Komplek GOR Wilis, Kota Madiun dibangun untuk mengenang dan mencerminkan semangat warga Madiun yang dikenal sebagai the Flame of Java dalam menghadapi agresi militer Belanda I, minggu (6/11).


Monumen dengan dimensi ukuran Patung Banteng 90 x 290 x 160 cm, balok pedestal 255 x 480 x 175 cm ini, merupakan monumen publik pertama yang dikerjakan oleh seorang pematung perempuan, bernama Trijoto Abdullah (adik dari pelukis Basoeki Abdullah) pada tahun 1947.

Pada bentuk awalnya, selain patung banteng, juga terdapat sosok rakyat pejuang dengan ikat kepala sedang mengangkat bambu runcing. Menurut informasi yang diperoleh, sejak dipindahkan dari lokasi awal di Taman Makam Pahlawan ke kawasan Stadion Wilis, sosok pejuang tersebut tidak tampak lagi.

Penyangga patung, diberi tulisan dengan semboyan ‘rawe-rawe rantas, malang-malang poetoeng’ yang artinya (segala sesuatu yang merintangi maksud dan tujuan, harus disingkirkan). Banteng Ketaton dapat diartikan banteng yang luka terkena senjata sebagai simbolisasi sikap melawan atau mempertahankan diri dengan gigih.

Perpindahan monumen karya Trijoto Abdullah ke kawasan GOR Wilis menurut Koordinator Madiun Heritage Community Bernadi S Dangin, terkait erat dengan perubahan peta perpolitikan di Indonesia

Dalam dokumentasi Claire Holt, peneliti Indonesianis dari Cornell University Amerika Serikat, tertulis inkripsi “Monumen ini didirikan oleh Rakyat Murba dipersembahkan kepada “Banteng Kurdho” dan “Pahlawan Bambu Runcing”.