OTT Era Novel Baswedan Rawan Terjadi Korupsi Penyidikan, Siaga 98: KPK Sekarang Sudah On The Track 

Ilustrasi gedung KPK/RMOL
Ilustrasi gedung KPK/RMOL

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini dianggap sudah on the track dengan melakukan kegiatan tangkap tangan, bukan melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) seperti Novel Baswedan. OTT era Novel Baswedan saat menjadi penyidik KPK dianggap berpotensi disalahgunakan dengan merencanakan penindakan pihak-pihak tertentu semata.


Begitu yang disampaikan oleh Koordinator Simpul Aktvis Angkatan 98 (Siaga 98), Hasanuddin menanggapi pernyataan Novel Baswedan yang menyatakan "KPK sekarang sudah sangat jarang OTT, disuruh jangan sering-sering. Apa Artinya dilarang sama sekali OTT?".

Hasanuddin mengatakan, OTT sering terjadi di era KPK masa lalu. Sebab, OTT menjadi bagian dari strategi pemberantasan korupsi. Sebagai suatu strategi, maka tangkap tangan adalah penindakan yang direncanakan secara terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Model penindakan seperti itu dianggap berpotensi melanggar hukum atau KUHAP.

Karena kata Hasanuddin, tangkap tangan dalam pengertian KUHAP yakni dalam Pasal 1 butir 19, dilakukan secara spontanitas tanpa adanya rencana. Sementara operasi dilakukan secara terencana atau TSM.

"Dalam OTT dapat dilakukan penyadapan bahkan jauh sebelum peristiwa pidananya terjadi, cukup dengan dugaan atau indikasi semata, yang tentu saja sudah bukan lagi dalam pengertian tangkap tangan sebagaimana dimaksud KUHAP Pasal 1 butir 19 yang sifatnya spontanitas," ujar Hasanuddin dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (22/12).

Dalam Pasal 1 butir 19 itu jelas Hasanuddin, berbunyi "Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu".

Oleh sebab itu kata Hasanuddin, OTT berpotensi disalahgunakan dengan merencanakan penindakan pihak-pihak tertentu semata. Secara ekstrim, OTT dapat berpotensi menjadi korupsi penyidikan atau penindakan yang dilakukan internal KPK sendiri.

"Oleh sebab itu, kami memahami evaluasi kembali terkait OTT, yang kemudian istilah dan operasi ini tidak digunakan lagi, melainkan menjadi Kegiatan Tangkap Tangan (KTT) demi memastikan pemberantasan korupsi dilakukan secara sah dan benar mengikuti ketentuan hukum," jelas Hasanuddin.

Terkait perdebatan OTT beberapa hari ini kata Hasanuddin, apa yang dikemukakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, dan Novel Baswedan dianggap aneh dan janggal.

"Sebab LBP dan Mahfud MD sebagai Menko representasi pemerintah sudah mengetahui adanya koreksi OTT ini, tapi tetap menggunakan istilah ini. Berbeda dengan Novel Baswedan yang memang menjadi bagian dari OTT masa lalu, tentu akan membela pengertian OTT sebagai strategi dan operasi yang direncanakan yang efektif, sebab itulah kritik LBP dan Mahfud MD terkait OTT dimaksud ditujukan pada dirinya," kata Hasanuddin.

Siaga 98 kata Hasanuddin, berpendapat bahwa, Tangkap Tangan yang dilakukan secara terus menerus akan menempatkan korupsi bukan lagi sebagai extra ordinary crime dan white colour crime, sebab Tangkap Tangan adalah peristiwa pidana umum atau biasa.

"KPK saat ini sudah on the track dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam melakukan integrasi pencegahan dan penindakan korupsi. Khususnya dalam menjalankan tangkap tangan sebagaimana ketentuan perundang-undangan," pungkasnya.