Transaksi di Restorative Justice

Ilustrasi / net
Ilustrasi / net

RESTORATIVE justice disoal. Anggota Komisi III DPR RI, Komjen (Purn) Adang Daradjatun mengatakan, kini itu dijadikan jual-beli. 

"Ini nggak main-main. Saya lihat sendiri di lapangan," katanya.

Itu dikatakan Adang di Rapat Komisi III DPR RI dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) di Gedung DPR, Selasa, 17 Januari 2023.

Adang: "Ini memberikan kesempatan bagi masyarakat dengan kemampuan ekonomi tinggi untuk membeli keadilan."

Suatu warning keras. Buat sitem hukum yang diterapkan penyidik Polri dan Kejaksaan sejak 5 Februari 2021.

Prof. John Braithwaite dalam bukunya: "Restorative Justice and De-Professionalization" (2004) restorative justice atau keadilan restoratif, adalah:

"Suatu proses hukum, di mana semua pemangku kepentingan yang terkena dampak ketidakadilan (korban kejahatan) punya kesempatan untuk mendiskusikan, bagaimana mereka telah terpengaruh oleh ketidakadilan yang sudah dilakukan oleh pelaku kejahatan."

Dilanjut: "Gunanya untuk memutuskan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kerugian yang diderita korban kejahatan. Keadilan restoratif adalah gagasan, bahwa karena kejahatan menyakitkan, maka keadilan harus menyembuhkan. Maka, diskusi antara mereka yang telah disakiti dan dengan mereka yang telah menyakiti, harus menjadi inti dari proses tersebut."

Braithwaite adalah kriminolog Australia, guru besar kriminologi Australian National University.

Menurutnya, profesional hukum berperan sekunder dalam memfasilitasi proses keadilan restoratif. Warga negara, atau orang-orang yang berkonflik, yang harus mengambil sebagian besar tanggung jawab dalam menyembuhkan rasa sakit yang disebabkan oleh kejahatan.

Braithwaite: "Maka, proses keadilan restoratif menggeser tanggung jawab untuk mengatasi kejahatan."

Dalam bahasa gampang, korban dan pelaku berdamai. Perkara tidak diproses hukum. Selesai.

Syaratnya, korban harus ikhlas. Dan, perdamaian harus melibatkan para pihak: Pelaku, korban, penyidik, dan masyarakat. Sejak itulah perkara hukum selesai.

Jika perdamaian hukum sudah bergeser jadi transaksi jual-beli, maka orang kaya diuntungkan. Ketika orang kaya melakukan pelanggaran hukum dan korbannya orang miskin, lalu orang kaya akan menawarkan restorative justice kepada korban. Daripada pelaku dihukum penjara.

Pastinya, di situ terjadi negosiasi. Tawar-menawar harga damai. Besaran harga jadi relatif. Sebab, tidak ada tolok ukur harga pokok akibat suatu kejahatan.

Misal, seseorang dituduh sebagai penipu di depan publik, melalui medsos, dampaknya korban dipecat dari pekerjaan, atau bisnisnya bangkrut, anak-isterinya malu. Lalu, berapa kerugiannya jika dikonversi dalam rupiah?

Seumpama sudah terjadi kesepakatan harga kompensasi, maka korban menyatakan, ikhlas. Korban menerima tawaran pelaku kejahatan untuk berdamai. Pelaku membayar korban. Restorative justice. Beres.

Pernyataan Adang Daradjatun itu bermula dari pernyataan Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo dalam rapat tersebut. Hasto mengatakan:

LPSK kini telah tergabung dalam Tim Pokja Restorative Justice Peradilan Pidana. Bentukan Menko Polhukam Mahfud Md. Hasto mengatakan, tim itu dibentuk agar ada satu pemahaman dalam penerapan restorative justice. Supaya aparat hukum tidak jalan sendiri-sendiri.

"Ini memberikan kesempatan bagi masyarakat berkemampuan ekonomi tinggi atau kuat, bisa membeli keadilan."

Dari situ kelihatan, LPSK kurang setuju restorative justice. Meskipun sudah dua tahun diterapkan. Meskipun LPSK masuk dalam tim pokja bentukan Menko Polhukam.

Pembentukan Tim Pokja Restorative Justice Peradilan Pidana dituangkan dalam Keputusan Menko Polhukam No.109 Tahun 2022.

Itu disosialisasikan Menko Polhukam, Prof Mohammad Mahfud MD saat membuka acara bertajuk “Konferensi Nasional Keadilan Restoratif: Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia dengan Keadilan Restoratif” di Jakarta, Selasa, 1 November 2022.

Artinya, restorative justice sudah diterapkan hampir dua tahun, barulah dibentuk Tim Pokja. Mungkin, karena dirasa terjadi ketidak-sepahaman. Penyidik jalan sendiri-sendiri. Sehingga dikoordinir dalam Pokja (Kelompok Kerja).

Prof. Mahfud di forum itu: “Semua akan dikoordinasikan dalam Tim Restorative Justice Peradilan Pidana yang diputuskan oleh Kemenkompolhukam.”

Struktur organisasi Tim Pojka: Prof Mahfud sebagai Ketua Tim Pengarah. Menkum HAM dan Menteri Bapennas sebagai Wakil Ketua Tim Pengarah 1 dan 2. Anggota Tim Pengarah: Menkes, Mensos, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPP), Jaksa Agung, Kapolri, Kepala BNN, dan Kepala LPSK.

Ketua Tim Pelaksana, Wamenkumham Prof Edward Omar Sharif Hiariej. Wakil Ketua 1 dan 2, Deputi Koordinator Bidang Hukum dan HAM Kemenkopolhukam dan Deputi Politik, Hukum, dan Pertahanan Keamanan Bappenas.

Anggotanya: Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkum HAM, Dirjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM.

Pokoknya lengkap, semua pemangku kepentingan masalah hukum ada di pengurus.

Restorative justice tergolong relatif baru di dunia. Di Inggris dibentuk lembaga semacam Pokja itu, bernama Restorative Justice Council (RJC) pada 1998. Berkantor di Rouen Street, Norwich.

RJC adalah lembaga independen untuk perkara hukum yang diajukan sebagai keadilan restoratif. RJC membantuk melakukan advokasi kepada pihak yang berkepentingan terkait restorative justice. Setelah RJC terbentuk, diterapkan restorative justice.

Di Indonesia, sudah belasan ribu perkara diterapkan restorative justice.

Sabtu, 31 Desember 2022, Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam rilis akhir tahun, mengatakan: Selama 2022 tercatat ada 276.507 perkara yang telah ditangani Polri. Itu naik 18.764 perkara (7,3 persen) dibanding tahun sebelumnya.

Dari 276.507 perkara, yang tertangani 200.147 perkara. Ini menurun 1.877 atau 0,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Dari 200.147 perkara, tercatat 15.809 perkara yang diterapkan restorative justice.

Di Kejaksaan, berdasar laporan akhir tahun 2022 yang diumumkan Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, sepanjang 2022 tercatat 1.545 perkara yang diterapkan restorative justice.

Total dari Polri dan Kejaksaan tercatat 17.354 perkara diberlakukan restorative justice.

Menyitir pernyataan Adang Daradjatun dan Hasto Atmojo Suroyo tersebut, orang berduit 'bermain' di belasan ribu kasus itu. Membayar kompensasi kerugian terhadap korban. Sehingga tercapai kesepakatan restorative justice. Itulah yang mereka protes.

Betapa pun, orang berduit tetap unggul dalam masyarakat mana pun di dunia. Termasuk dalam berperkara hukum. Mereka selalu menang.

Prof Mahfud sering mengatakan, bahwa mafia perkara, atau mafia peradilan, benar-benar ada. Dan, pemerintah terus berupaya memberantas dari dulu hingga kini.

Mafia perkara 'dimainkan' orang berduit yang berperkara hukum. Tapi, itu dilakukan secara diam-diam, dan ilegal. Maka, diberantas.

Restorative justice juga menguntungkan orang berduit, tapi teransparan. Proses damai pelaku-korban, disaksikan penegak hukum dan masyarakat. Tinggal kita pilih yang mana?

Penulis adalah wartawan senior