Sekali Lagi, Mempersatukan Indonesia

Anies Baswedan saat di Jalan Tunjungan
Anies Baswedan saat di Jalan Tunjungan

SAYA kudu berterima-kasih pada staf ahli Walikota Surabaya, Andri Arianto, yang telah menegaskan bahwa Anies bukan figur yang suka mengkotak-kotakkan hasil kerja siapapun. Melalui amatannya yang disebar ke berbagai media daring, Andri melihat dua hal penting. Pertama, persepsi publik terhadap Anies. Kedua, fakta dua lokasi yang diklaim sebagai hasil kerja kader parpol tertentu.

Hal pertama, tentang persepsi publik. Ujaran Andri ini memperkuat ketokohan Anies, bahwa Anies figur terbuka. Anies tidak membeda-bedakan atau mengkotakkan hasil sebuah kerja. Asalkan untuk kebaikan bersama, untuk kemaslahatan bersama, hasil kerja tentu layak diapresiasi. Anies mencontohkan itu, bagaimana cara mengapresiasi hasil kerja dari manapun.

Sekadar pengingat, apresiasi terhadap hasil kerja saat ini kian memudar akibat politik pengkotakan. Politik semacam ini sebenarnya warisan masa akhir Orde Lama yang lantas dilanjutkan Orde Baru. Melalui politik pengkotakan ini, dua orde itu berusaha menciptakan siapa sekutu, yang lain perlu diburu. Perburuan berlangsung sepanjang hayat rezim. 

Ciri khas politik pengkotakan adalah surplus pencitraan, defisit pengakuan (rekognisi). Adalah menarik untuk mencermati bagaimana filsuf Jerman generasi ketiga Mazhab Frankfurt, Axel Honneth, mengatasi defisit rekognisi ini. Dalam bukunya ''The Struggle for Recognition'' (1992), Honneth menyebut tiga poin penting dalam rekognisi, yaitu cinta, rasa hormat, dan penghargaan sosial. Cinta terhadap tanah-air dan bangsa. Rasa hormat pada sesama anak bangsa, serta penghargaan sosial pada karya atau hasil kerja.  

Ketiga poin itu menjadi fakta dalam rangkaian 'Sambang Dulur' Anies ke Surabaya dan Sampang beberapa hari lalu. Ia tidak memilah-milah ''Dulur'' yang disambanginya. Semua warga bangsa adalah seduluran. Apalagi, tur simfoni kebangsaan itu merupakan langkah nyata sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia.

Hal kedua, tentang klaim hasil kerja parpol tertentu untuk Kota Surabaya. Ini tentu saja kurang pas. Sebab, kota ini bukanlah milik parpol tertentu. Kota ini milik warga Surabaya secara keseluruhan. Patut diduga, sudah lama klaim semacam ini digembar-gemborkan kesana-kemari seolah-olah kota Pahlawan cuma milik parpol tersebut. 

Klaim itu berusaha ditanamkan ke dalam benak warga atau pihak-pihak di luar kota Surabaya. Akibatnya, pertama, klaim itu untuk memperlancar pengucuran proyek garapan serta menyingkirkan rival dalam tender. Kedua, patut diduga berkembangnya favouritisme, bahwa hanya mereka yang bernaung di bawah parpol itu saja yang layak menjadi warga utama. Yang lain, cuma warga biasa. Wallahu 'alam bisawab.

Penulis adalah warga Surabaya