LPG 3 Kg Langka dan Tanggung Jawab Menteri BUMN

Ilustrasi LPG/Net
Ilustrasi LPG/Net

KELANGKAAN Liquefied Petroleum Gas (LPG) baru-baru ini menjadi perhatian publik dan memunculkan pertanyaan bagaimana kerja Erick Thohir sebagai Menteri BUMN yang bertugas membantu presiden untuk mencukupi kebutuhan dasar warga atau hajat hidup orang banyak. 

Peralihan konsumsi dari minyak tanah ke LPG mulai tahun 2007 yang lalu, menjadikan LPG sebagai bahan dasar konsumsi mayoritas warga Indonesia. Khususnya pada gas LPG 3 kg yang bersubsidi. Peristiwa kelangkaan gas LPG 3kg banyak terjadi di daerah-daerah seperti di Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi, Kalimantan Timur, dan lain sebagainya.

Banyak yang mengatakan jika kelangkaan ini disebabkan karena distribusi gas LPG 3kg bersubsidi tidak tepat sasaran. Kemudian, yang dilakukan adalah menambah pasokan dan operasi pasar. Sehingga, diberlakukan sistem pendaftaran dengan mengunakan KTP maupun KK dalam proses pembelian gas LPG 3kg.

Patut diketahui, LPG dipasok oleh Kilang Pertamina, Kilang Swasta, dan Impor dari negara produsen gas. Pertamina kemudian menyalurkan ke Stasiun Pengangkutan dan Pengisian Bulk Elpiji (SPPBE) untuk dimasukan kedalam tabung gas 3kg, 12kg, dan 50kg. Selanjutnya, gas disalurkan ke Agen, lanjut sub Agen, lalu ke rumah tangga dan industri.

Dari sisi hulu, LPG dapat dihasilkan dari lapangan minyak bumi yang diolah menjadi LPG dan lapangan gas bumi yang menghasilkan LPG. Kilang minyak bumi di Indonesia dimiliki oleh Pertamina, sedangkan kilang gas bumi mayoritas dimiliki swasta. Seperti, Petrochina, PT Maruta Bumi Prima, PT Medco LPG Kaji, PT Titis Sampurna, dan lain sebagainya.

Untuk impor gas, pemasok utamanya adalah Amerika Serikat, kemudian Uni Emirat Arab, Qatar, Arab Saudi, dan beberapa negara lainnya. Akhir-akhir ini ada keterbukaan impor minyak dan gas dari Rusia dan harganya lebih murah. Indonesia menjadi pasar baru Rusia karena Uni Eropa berupaya melepaskan diri dari ketergantungan bahan bakar fosil dari Rusia.

Dari sisi hulu, dapat diketahui Pertamina tidak sendiri sebagai penghasil gas, namun ada pihak swasta dan ketergantungan impor. Kemudian, untuk menjadikanya sebagai gas elpiji, pintu masuknya hanya satu, yakni melalui Pertamina yang nantinya disalurkan ke SPPBE yang juga dimiliki oleh Pertamina. Artinya kunci menuju hilir ada di Pertamina.

Kunci di hilir yang di pegang oleh Pertamina ini, nantinya akan bisa menentukan jumlah pasokan gas yang ada, kemudian mitigasi ketika ada permintaan gas yang melonjak, dan praktek jalur distribusi LPG sampai ke rumah tangga dan industri. Pertamina adalah satu-satunya pemain disini. Termasuk juga dalam menentukan harga jual LPG.

Untuk gas LPG 3kg dan isi ulangnya, jalur distribusinya dilakukan secara tertutup. Karena dikendalikan oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Peruntukannya pun untuk masyarakat miskin, sebagaimana tertulis pada tabung gas LPG 3kg. Sedangkan untuk 12kg, dan 50kg diterapkan mekanisme pasar.

Harga isi ulang gas 3kg adalah Rp 21.000-25.000, untuk 12 kg seharga Rp 220.000-225.000, dan 50 kg seharga Rp 950.0000. Dapat kita ketahui bersama, perbedaan harga antara gas 3kg dengan 12 kg yang biasa dikonsumsi rumah tangga sangatlah jauh perbedaanya. Bahkan, jika kita hitung harga 12 kg gas itu 10x lipat harga gas 3kg.

Ini bisa menjadi pemicu utama kelangkaan gas lpg 3kg, karena ada perpindahan penguna gas 12 kg ke 3kg. Hitungan sederhananya, bila gas 3kg dipakai untuk 1 minggu habis, maka dalam satu bulan diperlukan 4 tabung gas 3kg, dan harganya hanya Rp.100.000. Sedangkan kalau membeli gas 12 kg untuk satu bulan, harganya 2x lipatnya.

Ketika disampaikan diawal, terjadi tidak tepatnya sasaran pembeli gas LPG 3kg, maka peralihan ini bisa dikatakan benar adanya. Kemudian, distribusi yang dilakukan oleh Pertamina semula adalah tertutup, maka disini menjadi pendistribusian yang terbuka. Dalam sebuah pendistribusian terbuka, gas LPG bersubsidi dilepas pada mekanisme pasar.

Dari kelangkaan ini, kita juga bisa melihat, bahwasanya ada permintaan yang tinggi, namun barang yang disedikan jumlahnya sedikit. Artinya, kemampuan Pertamina untuk memprediksi pasar dan mendistribusikan LPG kepada konsumen dengan tepat patut dipertanyakan. Apalagi khusus LPG bersubsidi yang harus sampai pada yang berhak.

Melalui fenomena ini, lantas bagaimana kerja Erick Thohir sebagai Menteri BUMN yang membawahi Pertamina untuk menjamin ketersediaan gas LPG 3kg untuk masyarakat miskin. Kelangkaan gas 3kg bersubsidi dapat menjadi indikator kegagalan ET sebagai menteri BUMN.

Secara garis besar, tugasnya adalah untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh hajat hidup orang banyak. Apalagi dengan revolusi ‘AKHLAK’ yang digemborkan. Melalui Pertamina, ET seharusnya bisa mengimplementasikan core values sebagai budaya kerja untuk hajat hidup orang banyak, termasuk dalam persoalan ini.  

Sebagai Menteri BUMN, Erick Thohir, dapat selalu melakukan pengawasan terhadap distribusi gas LPG mulai dari hulu ke hilir. Karena ini menyangkut kebutuhan dasar hajat hidup orang banyak. Point (A)manah yang diterapkan dalam BUMN menjadi tak bermakna dengan kejadian ini.

(K)ompeten untuk menjamin kebutuhan dasar warga melalui Pertamina ternyata inkompeten. ET setidaknya bisa melakukan kerjasama dengan Kementerian Sosial yang memiliki Data Terpadu Kesejahteran Sosial (DTKS) untuk pendistribusian gas LPG 3kg. Peruntukannya juga menjadi jelas dan komitmen pendistribusiannya secara tertutup menjadi nyata.

(H)armonis, (L)oyal, (A)daptif, (K)olaboratif, untuk hajat hidup orang banyak ternyata tidak bernilai dengan langkanya ini. Loyal terhadap warga tentu tidak, adaptif penyelesaian juga belum dilakukan, kolaboratif juga ternyata tidak ada jaminan penyelesaian masalah. Bagaimanapun dalam persoalan ini kinerja ET di BUMN patut dipertanyakan.

*Penulis adalah Direktur Riset dan Kajian, Lingkar Studi Pengembangan Pembangunan Nusantara (LSP2N)