Soal Uji Materiil Syarat Capres-Cawapres di Pilpres 2024, Aliansi Pengacara 98 Desak MK Beri Kepastian Hukum

Edesmen Andreti Siregar, SH didampingi Firmansyah,SH dan Sekjen Aliansi ’98, Anang Suindro, SH, MH  di kantor MK Jakarta/ist
Edesmen Andreti Siregar, SH didampingi Firmansyah,SH dan Sekjen Aliansi ’98, Anang Suindro, SH, MH  di kantor MK Jakarta/ist

Gugatan uji materiil (Judicial Review) mengenai syarat Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang kini disidang di Mahkamah Konstitusi (MK) masih menjadi sorotan publik. 


Aliansi Pengacara 98 mendesak MK agar bisa memberi kepastian hukum.

Desakan terhadap MK itu terutama terkait batas usia dan rekam jejak Capres dan Cawapres yang bakal  maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Aliansi 98 Pengacara Pengawal Demokrasi dan HAM meminta MK agar memutuskan permohonan uji materiil terhadap pasal 169 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukannya.

“MK mengatakan akan mempertimbangkan dengan sangat layak. Besar harapan kami, laporan ini dilanjutkan ke persidangan agar ke depan menjadi lebih baik,” ujar anggota Tim Aliansi 98 Pengacara Pengawal Demokrasi dan HAM, Edesman Andreti Siregar, SH dalam rilis yang dkutip Kantor Berita RMOLJatim, Selasa, (3/10).

Menurutnya guna melindungi segenap rakyat Indonesia dari Presiden dan Wakil Presiden yang berpotensi bertindak secara otoriter, bertangan besi dan anti demokrasi, maka diperlukan antisipasi  yang seharusnya dituangkan pada persyaratan Capres dan Capres.

Hal ini, masih kata Edesmen, untuk menjamin rakyat Indonesia mendapatkan pilihan Capres dan Cawapres yang produktif, sehat secara fisik dan mental, sehat secara jasmani dan ruhani sebagaimana diamanatkan pada pasal 6 ayat (1) UUD 1945. 

"Kami melihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada pasal 169 yang mengatur persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden belum mencakup semua hal tersebut," papar Edesmen didampingi Firmansyah,SH dan Sekjen Aliansi ’98, Anang Suindro, SH, MH  di kantor Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Seharusnya, lanjut dia, pasal 169 yang mengatur persyaratan itu menjadi benteng awal negara memberikan perlindungan kepada rakyat Indonesia dari Capres dan Cawapres yang tidak produktif. Baik secara usia, fisik, jasmani dan rohani.

Persyaratan itu, sambung Edesmen, juga mengantisipasi dari Capres dan Cawapres yang memiliki rekam jejak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.

Termasuk orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya.

Dua Tuntutan ke MK

Dengan dasar di atas, Aliansi 98 Pengacara Pengawal Demokrasi & HAM meminta kepada Mahkamah konstitusi sebagai lembaga negara yang diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD untuk menguji undang-undang Pemilu terhadap Undang-Undang Dasar.

Pertama, meminta MK untuk memberikan kepastian hukum terkait batas maksimal usia capres dan Cawapres pada pasal 169 Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017.

"Melalui Pemilu nantinya rakyat Indonesia dapat memiliki presiden yang mempunyai kemampuan secara fisik, psikologis dan moral yang stabil secara jasmani dan rohani, sehingga presiden terpilih merupakan sosok pemimpin yang produktif dalam menjalankan kinerjanya," papar Edesmen. 

"Untuk itu, batas usia maksimal capres pada Pemilu 2024 harus ditetapkan dengan ketentuan paling tinggi 70 tahun pada proses Pemilihan Presiden sebagaimana batas usia pemimpin lembaga tinggi negara lainya," sambung dia.

Kedua, meminta MK memberikan kepastian hukum terkait syarat capres dan Cawapres pada pasal 169 Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 agar tidak pernah memiliki rekam jejak pelanggaran HAM berat.

Selain itu, Capres dan Cawapres tidak terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun Tahun 1998, tidak terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang kontra demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya. 

"Dengan demikian, rakyat Indonesia tidak mendapatkankan pemimpin yang otoriter, bertangan besi dan anti-demokrasi," pungkas Edesmen dari Aliansi 98 Pengacara Pengawal Demokrasi dan HAM.