Akhir Petualangan Haji Merah

Misbach pembela komunis dan pembela Islam. Saat itu Martodharsono yang menerbitkan tulisan Djojodikoro dalam surat kabar yang dikelolanya, Djawi Hisworo.


Atas tulisan tak senonoh itu, Misbach meminta kepada pihak-pihak berwenang, yakni pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, agar menjatuhkan tindakan tegas kepada dua jurnalis Solo itu lantaran telah melecehkan Islam.

Misbach bahkan mendirikan laskarnya sendiri yang diberi nama Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV) untuk mendampingi Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM).

Selain itu, ia menyebar seruan tertulis yang menyerang Martodharsono. Segeralah beredar kabar bahwa Misbach akan berhadapan dengan mantan wartawan Medan Prijaji di arena debat.

Jantung peradaban Jawa pun berguncang. Tersengat oleh semangat Misbach, kaum muslimin dari berbagai daerah berbondong-bondong menghadiri tabligh akbar yang disponsori TKNM dan SATV di Lapangan Sriwedari Solo pada 24 Februari 1918.

Takashi Shiraishi menyebut pertemuan besar di Sriwedari itu diramaikan oleh lebih dari 20.000 orang. Sangat riuh, persis seperti Aksi Bela Islam 411 dan 212 yang dipusatkan di Jakarta beberapa waktu lalu.

Misbach memang pembela Islam sejati. Dia tak segan-segan menyerang orang-orang yang menistakan agamanya, bukan lewat aksi fisik tentunya tapi melalui debat atau tulisan.

Barangsiapa yang merampas agama Islam, itulah yang wajib kita binasakan!” tukas Misbach di surat kabar Medan Moeslimin (1918).

Bahkan terhadap sesama muslim yang justru tidak menghargai Islam, Misbach pun siap menerkam. Rekan Misbach sesama pejuang pergerakan nasional, Mas Marco Kartodikromo, pernah berujar: "Misbach itu seperti harimau di dalam kalangannya binatang-binatang kecil. Dia tidak takut mencela kelakuan orang-orang yang mengaku Islam tetapi selalu mengisap darah teman sendiri.”

Dan ketika kaum putihan "termakan” propaganda politik identitas oleh PSI/CSI tentang komunisme, tanpa tahu apa itu komunisme, Misbah justru menyatakan: Begitoe djoega sekalian kawan kita jang mengakoei dirinja sebagai seorang kommunist, akan tetapi misi soek mengeloewarkan fikiran jang bermaksoed akan melinjapkan igama Islam, itoelah saja berani mengatakan bahoewa mereka bukannya kommunist jang sedjati atau mereka beloem mengerti doedoeknja kommunist; poen sebaliknja, orang jang soeka mengakoe dirinja Islam tetapi tidak setoedjoe adanja kommunisme, saja berani mengatakan bahoewa ia boekan Islam jang sedjati, ataoe beloem mengertibetoel2 tentang doedoeknja igama Islam.

Pada bulan-bulan berikutnya, ia tetap aktif mengorganisir serikat-serikat buruh dan tani, dan pemogokan-pemogokan ketika dianggap diperlukan untuk menyuarakan isu-isu tertentu, seperti rendahnya upah, dan sebagainya yang tak didengarkan ketika disampaikan secara baik-baik”. Sampai ketika pada pertengahan Mei 1920, ia diperintahkan untuk ditangkap, dan melalui pengadilan landraad (pengadilan untuk pribumi) di Klaten, diputuskan untuk dipenjara selama dua tahun atas tuduhan provokasi dan hasutan pemogokan melalui rapat-rapat umum yang dihadirinya di desa-desa di sekitar Surakarta.

Dari perjuangannya sebagai Haji Merah, Misbach harus masuk penjara dua kali. Selain keterlibatannya di Sarikat Hindia, dia juga masuk ke partai PKI. Setelah itu menjadi propagandis PKI SI Merah.

Pergerakan politiknya di Propagandis PKI SI Merah ini menjadi gerakan yang menakutkan terutama di Surakarta, dan Solo, yang membuat ia ditangkap dan dibuang di luar Jawa. Dan, dia adalah orang pergerakan pertama yang dibuang di Manokwari.

Dia dianggap sebagai salah satu dalang dari kerusuhan yang terjadi pada Oktober 1923. Per tanggal 18 Juli 1924, ia memulai perjalanan pengasingan ke Manokwari dari pelabuhan Surabaya. Saat itu penjagaan polisi sangat ketat.

Ketika Misbach kembali sebentar ke Surakarta, hanya Sjarief dan Haroenrasjid dari Medan Moeslimin, di samping kerabatnya, yang diizinkan menjenguknya. Anggota-anggota PKI dan SR Surabaya pergi ke pelabuhan, tetapi usaha ini sia-sia karena ia dikurung dalam kabin. Dan Misbach meninggalkan Jawa dalam keterpencilan.

Pada 24 Mei 1926, Haji Misbach wafat setelah mengidap penyakit malaria, menyusul istrinya yang sebelumnya meninggal karena TBC. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman Penindi, Manokwari, dengan diantar oleh sekelompok kecil anggota Sarekat Rakjat Manokwari, yang jumlahnya tak lebih dari 20 orang.

Sebagai seorang mantan anggota organisasi pergerakan semacam Insulinde dan Sarekat Rakjat, dan sebagai mantan propagandis yang terbiasa berhubungan dengan ratusan bahkan ribuan orang, kematian dan penguburannya yang sunyi memang ironi.

Namun, ini hanya pengulangan semata dari apa yang sudah menimpa pendahulunya, Tirto Adhi Soerjo--yang oleh Pramoedya Ananta Toer didaulat sebagai "Sang Pemula” penyebaran kesadaran nasional--atau yang kelak menimpa rekannya, Marco Kartodikromo--yang menurut Soe Hok Gie, adalah wartawan pembela rakyat tertindas yang berani nan "bandel”, yang wafat dalam kesunyian pengasingan Boven Digoel pada 1932.

Haji Merah itu kini telah tiada. Namun ada yang perlu dicatat, Haji Misbach telah melihat ada titik-titik persamaan antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik. Dia mencoba menggabungkannya.

Misbach menyadari betul Marxisme berpengaruh terhadap bapak-bapak bangsa dan berperan besar di era perjuangan kemerdekaan, sebagai pisau analisa terhadap kondisi kolonialisme yang dialami bangsa Indonesia kala itu.

Soekarno saja mengakui teori Marxisme adalah satu-satunya teori yang dianggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, politik, dan kemasyarakatan. Bahkan Sjahrir yang dikemudian hari pandangan ekonomi-politiknya dianggap kanan (karenanya disebut soska alias sosialis kanan), dengan tegas mengatakan bahwa gerakan nasionalisme di Asia-Afrika tak dapat dilepaskan dari ketertarikan mereka terhadap Marxisme.

Mengenang Haji Misbach seperti menyadarkan kembali bahwa tidak ada yang perlu ditakuti terhadap paham Marxisme, atau menganggapnya sebagai ancaman. Alih-alih bangsa ini harusnya mengapresiasi karena peran yang besar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa, dan karena kesamaan tujuannya yang mulia dengan Islam, yakni membebaskan masyarakat tertindas.[novi/tamat]

ikuti terus update berita rmoljatim di google news