Anies dan Tempo

SAMPUL majalah tempo edisi terbaru menyedot perhatian publik. Menampilkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tenggelam di kaleng Lem Aibon.


Namun yang lebih menyedot perhatian adalah reaksi sang gubernur. Dengan sikapnya yang tenang, tidak menggebu-gebu, Anies menanggapi dengan santai dan sangat bijaksana.

"Terima kasih Tempo telah jalankan tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi. Semoga perbaikan sistem yang sedang berjalan bisa segera kami tuntaskan. Terus awasi kami yang sedang bertugas di pemerintahan," tulis Anies melalui akun Twitter resminya pada Minggu, (10/11).

Bahkan Anies sempat melayangkan pujian pada Tempo terkait karikatur yang menjadi sampul.

"Karikaturnya boleh juga. Kalau tidak begitu bukan Tempo namanya," puji Anies.

Sebagai pelaku media, kita sangat sepakat dengan Anies. Persoalan pers tidak bisa diselesaikan dengan delik hukum. Atau, bahkan tindakan anarkis.

Selama satu dekade ini persoalan pers yang muncul nyaris sama, yaitu mempertanyakan independensi pers dan etika para wartawan.

Apakah ini hanya sebatas pandangan sepihak masyarakat terhadap pers dan wartawan, atau memang realitas di lapangan sudah seburuk itu?

Saat ini media tidak lagi berada di situasi paradoks. Namun liberalisasi media pasca Orde Baru yang seharusnya memperkuat demokrasi di Indonesia, justru terjungkir balik.

Dulu, bangsa ini merdeka lewat perlawanan. Kemerdekaan pers diraih bukan dari pemberian rezim penguasa. Melainkan direbut melalui perjuangan.

Seperti yang dilakukan RM Tirto Adhi Soerjo, salah satu pelopor pers nasional pribumi pertama awal abad ke-20.

Tirto Adhi Soerjo (TAS) telah menyadarkan masyarakat tentang hakekat penjajahan yang merugikan bangsa dan melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan melalui surat kabar Medan Prijaji.

Pemberitaan-pemberitaan harian Medan Prijaji sering menyinggung pemerintahan Kolonial Hindia Belanda saat itu.

Di tahun 1912 Medan Prijaji terkena delik pers yang dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putera R. Adipati Djodjodiningrat (suami R.A. Kartini) menggantikan ayahnya. TAS pun dijatuhi pembuangan ke pulau Bacan.

K’tut Tantri yang oleh pers disebut Surabaya Sue, punya andil siaran pers berbahasa Inggris yang dipancarkan kepada lascar-laskar pejuang pimpinan Bung Tomo. Sejarah kemudian mencatat bagaimana K’tut Tantri terlibat dalam pertempuran heroik di Surabaya.

Hingga akhirnya Indonesia mendapat pengakuan awal terhadap nation Indonesia yang datang dari Pemerintah Mesir dan 7 negara Arab.

Sejarah juga mencatat bahwa K’tut Tantri berjasa ‘menyelundupkan” Abdul Monem, utusan Raja Farouk dari Singapura ke Yogya menembus blokade Belanda untuk menyerahkan surat pernyataan tersebut kepada Presiden Sukarno.

Di daratan Eropa pers diinisiasi oleh kelompok borjuis pemegang kapital yang menganut paham liberalisme.

Namun di Tanah Air, kemerdekaan pers yang diawali dengan apik oleh orang-orang seperti Tirto Adhi Soerjo dan K’tut Tantri, telah menggejala dan berubah fungsi menjadi ‘sanderaan’ kaum konglomerasi.

Lihat saja pers pasca reformasi 1998, betapa amburadulnya pers menyajikan berita-berita yang tidak berimbang dan menohok lawan-lawan politik pemilik modal. Hampir pasti informasi yang disajikan sudah terdistorsi oleh beragam kepentingan.

Sebuah peristiwa dapat dengan mudah dipelintir, dibingkai dan dimanipulasi demi membentuk persepsi masyarakat.

Faktor kekuatan modal menjadikan kebebasan pers sebagai ajang kepentingan politik praktis.

Media lantas menempatkan diri sebagai partisan dan mengelompokkan menjadi corong-corong kepentingan politis. Lamban laun kode etik jurnalistik dilanggar.

Yang terjadi di rezim sekarang, ada semacam semacam jungkir balik hukum. Pemerintah sibuk membangun infrastruktur fisik, tapi infrastruktur hukum dan demokrasi terabaikan.

Ini yang dipahami oleh Anies. Pers adalah pilar keempat dalam sistem demokrasi Indonesia.

Anies ingin pers kembali sebagaimana lazimnya pers.

Pers sebagai kontrol sosial. Tidak terdistorsi kepentingan politik apalagi oleh kekuatan pemodal.

Ya, pers harus menemukan kebebasannya sendiri, bukan kebebasan semu.

Terakhir mengutip kata-kata Multatuli: Ya, aku akan dibaca! Seandainya tujuan ini tercapai, aku akan merasa puas. Karena aku tidak bermaksud untuk menulis dengan baik...Aku ingin menulis agar didengar.

Noviyanto Aji

Wartawan

ikuti terus update berita rmoljatim di google news