Apa Kabar Krimea

Maret 2014, mayoritas media internasional mengangkat kabar soal penyatuan Krimea dengan Rusia setelah masyarakat di wilayah tersebut menggelar referendum dan memilih memerdekakan diri dari Ukraina.


Pada saat itu, media-media barat mengangkat istilah 'aneksasi Krimea oleh Rusia.' Namun agaknya kata 'aneksasi' tidak tepat disematkan dalam kasus tersebut.

Pasalnya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aneksasi memiliki makna pengambilan dengan paksa tanah, wilayah atau negara lain untuk disatukan dengan tanah, wilayah atau negara sendiri. Dengan bahsa lain, aneksasi sama dengan pencaplokan atau penyerobotan. Sedangkan dalam kasus Krimea, tidak ada penyerobotan atau pemaksaan yang dilakukan oleh Rusia terhadap Krimea.

"Apa yang terjadi di Krimea bukanlah aneksasi melainkan penyatuan kembali," jelas Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva saat berkunjung ke redaksi Rakyat Merdeka di Jakarta, Kamis (6/9).

Vorobieva secara singkat menjelaskan, Kriema sejak dulu, tepatnya ketika Uni Soviet masih berdiri merupakan bagian dari wilayah Rusia. Semasa Perang Dunia II, Krimea sempat diduduki oleh Jerman sebelum akhirnya Tentara Merah merebut kembali pada 1944.

Sejak saat itu, Krimea berada di bawah pemerintahan Uni Soviet dengan mayoritas warga Rusia dan sebagian warga asli Tatar Krimea.

Namun kemudian di tahun 1954, perdana menteri saat itu, Nikita Khrushchev dengan sejumlah alasan memberikan Krimea ke Ukraina dan pemerintahanan Krimea berada di bawah Ukraina.

"Pada saat itu masih baik-baik saja, karena kita masih satu kesatuan," katanya.

"Jika diibaratkan, Provinsi Bali diberikan ke provinsi lain agar bisa diatur di bawah pemerintahan yang sama namun masih dalam satu kesatuan negara Indonesia," jelas Vorobieva.

Namun, seiring berjalannya waktu, gejolak politik dan situasi internasional mengalami perubahan. Uni Soviet hancur di awal tahun 90-an serta terjadi sejumlah gejolak politik di Krimea dan Ukraina. Banyak warga Krimea yang menolak untuk menjadi bagian dari Ukraina.

Hingga pada puncaknya terjadi di tahun 2014. Tepatnya pasca kudeta presiden Ukraina terpilih Viktor Yanukovych. Kudeta itu memicu terjadinya huru hara di Kiev, di mana pemerintahan baru berupaya menghapus Bahasa Rusia di Ukraina termasuk Krimea. Selain itu juga terjadi diskriminasi yang nyata terhadap warga Rusia di Ukraina.

Hal tersebut jelas membuat geram penduduk Krimea yang walaupun merupakan warga negara Ukraina mereka merupakan orang Rusia dan memiliki bahasa ibu Bahasa Rusia. Mereka yang geram ini pun kemudian membuat gerakan nasionalis yang mendorong terjadinya referendum untuk memerdekakan diri dari Ukraina.

"Mereka paham dengan apa yang mereka lakukan dan memutuskan untuk menentukan nasib sendiri dengan menggelar reverendum," ujar Vorobieva.

Hasil referendum itu, sekitar 90 persen warga menyetujui kemerdekaan diri dan mengajukan diri untuk bergabung kembali dengan Rusia.

"Setelah referendum, pejabat tinggi Rusia melakukan pembahasan dan akhirnya memutuskan untuk menerima Krimea menjadi bagian dari Rusia," sambungnya,

Sejak saat itu, Krimea menjadi wilayah yang kembali bergabung dengan Rusia dan berjalan di bawah pemerintahan Rusia.

Banyak perubahan yang terjadi secara signifikan di Krimea pasca penyatuan kembali dengan Rusia. Hal yang tampak nyata adalah dalam sektor pembangunan infrastruktur terutama yang krusial seperti bandara, jembatan dan rumah sakit.

"Anda akan menemukan Krimea yang jauh dari bayangan sebelumnya. Krimea yang indah, menarik dan modern," ungkap Vorobieva.

Selain itu, pembangunan masyarakat juga terus digenjot oleh Rusia. Salah satu hal yang juga menjadi poin penting adalah pasca penyatuan kembali Krimea dengan Rusia, untuk pertama kalinya, Bahasa Tatar diakui sebagai bahasa resmi Krimea.

"Jadi Krimea memiliki tiga bahasa resmi yakni Rusia, Ukraina, dan Tatar," tutup Vorobieva. [RMOL]

ikuti terus update berita rmoljatim di google news