- Mempertahankan Warga Gaza: Perang atau Genosida?
- Syariat dan Tanggung Jawab Sosial
- Artificial Intelligence dan Makrifatullah
KONFLIK Israel-Palestina kembali menjadi perhatian dunia setelah agresi militer Israel di Jalur Gaza menyebabkan ribuan korban jiwa, mayoritas warga sipil. Di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, gelombang solidaritas terhadap rakyat Palestina menguat.
Namun, di tengah arus solidaritas tersebut, tersembunyi bahaya lain yang tak kalah genting: ekstremisme kekerasan yang memanfaatkan penderitaan Palestina sebagai bahan bakar ideologis.
Dukungan terhadap Palestina pada dasarnya merupakan ekspresi empati dan keberpihakan terhadap nilai-nilai keadilan. Namun, persoalan muncul ketika sentimen ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ekstremis untuk menyebarkan narasi kebencian, justifikasi kekerasan, dan rekrutmen pengikut baru.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Rycko Amelza Dahniel, mengingatkan bahwa konflik Palestina-Israel kerap digunakan kelompok teroris sebagai instrumen legitimasi tindakan kekerasan. "Isu ini menjadi alat propaganda untuk memperkuat narasi global jihad dan membenarkan aksi teror," ujarnya dalam Forum Koordinasi Nasional Penanggulangan Terorisme akhir tahun lalu.
Laporan Global Terrorism Index 2024 mencatat peningkatan konten radikal terkait isu Palestina di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Platform daring seperti Telegram, TikTok, dan forum-forum anonim menjadi ruang penyebaran pesan-pesan yang menyesatkan.
Politisasi Agama
Narasi ekstremis kerap menyederhanakan konflik Israel-Palestina sebagai “perang agama”, padahal substansinya jauh lebih kompleks. Akar masalah terletak pada pendudukan, kolonialisme, dan pelanggaran hukum internasional yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Sejarawan agama Karen Armstrong menyebut bahwa "kekerasan atas nama agama sering kali lebih berkaitan dengan kekuasaan, ketakutan, dan identitas yang terancam, bukan ajaran suci itu sendiri." Politisasi agama oleh kelompok radikal justru menjauhkan solusi damai yang diupayakan komunitas internasional.
Penyebaran narasi hitam-putih ini menjadi tantangan serius bagi Indonesia, terutama di tengah populasi muda yang sangat aktif di media sosial dan belum sepenuhnya memiliki literasi kritis terhadap isu-isu geopolitik dan teologi.
Tantangan Bagi Indonesia
Indonesia bukan sekadar negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Indonesia juga memiliki peran strategis dalam diplomasi perdamaian dan keberagaman. Namun, pengaruh konflik global terhadap dinamika keamanan dalam negeri tidak bisa diabaikan.
Penangkapan beberapa tersangka teror oleh Densus 88 selama dua tahun terakhir menunjukkan bahwa sebagian dari mereka termotivasi oleh isu Palestina, meski tidak memiliki koneksi langsung dengan kelompok resmi di wilayah tersebut. Dalam beberapa kasus, mereka bertindak berdasarkan narasi yang diperoleh dari media sosial atau ceramah-ceramah tertutup.
Ini menjadi pengingat bahwa solidaritas terhadap Palestina harus ditempatkan dalam bingkai kemanusiaan dan hukum internasional, bukan dibajak untuk membenarkan kekerasan yang justru merusak perjuangan rakyat Palestina sendiri.
Peran Strategis Pendidikan dan Agama
Pendidikan keagamaan yang moderat dan inklusif menjadi garda depan dalam menangkal penyimpangan tafsir yang dilakukan kelompok ekstremis. Warisan Islam Nusantara yang damai dan menghargai keberagaman adalah modal besar yang harus terus dirawat.
Almarhum Prof. Azyumardi Azra pernah menekankan bahwa Islam Indonesia memiliki kekayaan tradisi yang mampu menjadi penangkal ideologi transnasional yang radikal. "Kita perlu menguatkan Islam wasathiyah (moderat) sebagai fondasi menghadapi ekstremisme global," katanya dalam satu simposium keagamaan tahun 2020.
Selain itu, literasi digital juga menjadi agenda mendesak. Anak muda Indonesia perlu dilatih untuk membedakan mana informasi yang sahih dan mana yang merupakan manipulasi emosional berbasis algoritma.
Komitmen Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina tidak perlu diragukan. Namun, dalam mengawal komitmen itu, Indonesia juga harus tegas menolak segala bentuk kekerasan yang menodai nilai-nilai perjuangan kemanusiaan.
Ekstremisme yang tumbuh dari simpati buta justru memperpanjang rantai konflik. Ia bukan sekutu perjuangan rakyat Palestina, melainkan duri dalam daging yang menghambat diplomasi dan merusak citra keadilan itu sendiri.
Konflik Israel-Palestina adalah tragedi panjang yang menuntut empati dan keberpihakan. Namun, keberpihakan itu harus disertai kecerdasan moral dan kewaspadaan. Kita bisa berdiri bersama rakyat Palestina tanpa harus menoleransi ideologi kebencian dan kekerasan. Indonesia harus terus bersuara lantang: mendukung Palestina, sambil melawan ekstremisme.
*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Mempertahankan Warga Gaza: Perang atau Genosida?
- Syariat dan Tanggung Jawab Sosial
- Artificial Intelligence dan Makrifatullah