May Day, Buruh Harus Berjuang Melawan Penghisapan Kapitalis  

Aris Budiono
Aris Budiono

 PADA tanggal Satu Mei, kita kaum buruh sedunia memperingati Hari Buruh Internasional. Satu hari yang merupakan momentum peringatan atas perjuangan para pejuang buruh di masa lalu dalam merebut hak atas kesejahteraan, yaitu hak 8 jam kerja. 

Momentum May Day adalah kenangan terhadap para buruh di Chicago yang tak kenal lelah dan mengorbankan segalanya untuk mendapatkan hak yang menunjukkan pada kita bahwa hak tidak diberikan namun harus direbut.

Kini kaum buruh di era modern masih mengalami penindasan oleh sistem kapitalis bahkan buruh dijadikan tumbal krisis oleh pemilik modal, sebagai contoh Pabrik sepatu  yang mengalami pailit dan buruhnya belum dibayar selama 4 bulan, untuk memperjuangkan haknya yang belum dibayar tidaklah mudah kaum buruh harus mengikuti proses yang sangat rumit Ini menunjukkan bahwa kaum buruh dijadikan tumbal krisis.

Dalam satu hari saja tidak bekerja kaum buruh sudah bingung sedangkan laba dari kaum pemodal masih bisa dimakan selama bertahun tahun oleh pemilik modal bahkan mereka bisa membuka pabrik lagi di tempat lain. Proses pailit di negeri ini ibarat merampok uang negara dengan sah, bagaimana nilai yang dijaminkan salah satu  Bank BUMN  jauh lebih sedikit nilainya bila dibandingkan dengan nilai utang perusahaan. 

Ibaratnya utang 500 jt dan yang dijadikan jaminan hanya BPKB motor seharga 10 juta secara logika tidak masuk akal. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah. Buruh hanya bisa pasrah ketika perusahaan dinyatakan pailit padahal yang menghasilkan laba adalah kaum buruh. 

Kalau kita tanya seorang kapitalis dari mana dia mendapatkan labanya, dia kemungkinan besar akan mengatakan kalau labanya di dapat dari membeli murah dan lalu menjual mahal. Tetapi ini sangatlah keliru. 

Kalau semua orang melakukan ini, membeli murah dan menjual mahal, maka tidak akan ada laba yang datang. Laba kapitalis datang dari kerja yang dilakukan oleh buruh. nilai dari sebuah komoditas ditentukan oleh jumlah kerja yang dibutuhkan, yakni sekian-sekian jam kerja. Seorang kapitalis yang ingin memproduksi komoditas harus memperkerjakan buruh untuk melakukan kerja ini. 

Sang kapitalis mencari ini di “pasar buruh”, yang juga sama seperti pasar komoditas. Bila ada banyak buruh, maka gaji buruh akan murah. Kalau persediaan buruh sedikit, maka gaji buruh akan mahal. Yang sebenarnya dibeli oleh kapitalis dari buruh adalah bukan kerjanya (labour) tetapi kemampuan-kerjanya (labour power). Kemampuan-kerja adalah komoditas juga dan hukum-hukum komoditas yang sama juga berlaku. Nilai kemampuan-kerja seorang buruh ditentukan oleh waktu-kerja yang dibutuhkan untuk memproduksinya. 

Jadi nilai kemampuan-kerja seorang buruh ditentukan oleh apa saja yang dibutuhkan untuk menjaga keberadaan, kesehatan, dan kekuatan sang buruh untuk bekerja. Contoh konkretnya adalah bagaimana pemerintah kapitalis menghitung UMK, yakni dengan menghitung biaya minimum untuk hidup cukup seorang buruh: cukup sandang, pangan, dan papan, dan juga cukup reproduksi agar kelas buruh bisa kawin dan punya anak  dan menjamin generasi buruh selanjutnya bila ia mati. 

Nilai kemampuan-kerja ini disebut gaji. Sangat wajar jika buruh menginginkan upah layak karena hasil kerja buruh hanya untuk pemilik modal sementara buruh hanya digaji berdasarkan upah bukan hasil kerja buruh. Berikut saya paparkan penghisapan pemilik modal yang mengambil hasil kerja buruh.

Seorang buruh pabrik garmen di Madiun digaji UMK Madiun sebesar 1,550,000 atau 91,153 / hari dengan waktu kerja 8 jam / hari. Dalam 8 jam kerja ia bisa menghasilkan 10 potong pakaian dari kain 30 meter. 

Harga kain sebelum menjadi pakain permeternya adalah 25,000 atau 750,000 untuk 30 meter kain. Sementara untuk biaya benang dan biaya2 produksi lainnya ( listrik,keausan mesin dan alat2 kerja ) dihitung oleh pengusaha sebesar 250,000 seharinya. 

Total biaya produksi adalah:

91,153 (upah buruh)+ 750,000 ( untuk kain) +250,000 ( biaya produksi lainnya) jadi total biaya produksi sebesar 1,961,153. Tetapi pengusaha dapat menjual harga satu kainnya sebesar 350,000 utk satu potong pakain atau 3,500,000 utk 10 potong pakaian di pasaran.

Oleh karena itu kemudian pemodal akan mendapatkan keuntungan sebesar :

3,500,000 - 1,961,153 = 1,538,847 atau keuntungan sejamnya sebesar 192,355.

Jadi 8 jam kerja seorang buruh garmen tadi telah menciptakan nilai baru sebesar 1,538,847 tapi buruh hanya dibayar sebesar 91,153. Sementara 1,447,694 menjadi milik pengusaha. Inilah yg disebut nilai lebih. Padahal bila buruh dibayar 91,153 ia seharusnya cukup bekerja kurang dari satu jam dan dapat pulang ke rumah. 

Tetapi tidak, ia tetap harus bekerja 8 jam karena ia telah disewa oleh pengusaha utk bekerja 8 jam. Jadi buruh pabrik garmen tadi bekerja kurang satu jam untuk dirinya ( untuk menghasilkan nilai 91,153 yg ia dapatkan) dan selebihnya ia bekerja selama 7 jam lebih untuk pengusaha ( 1,447,694) inilah yg namanya penindasan dan penghisapan. 

Pokok masalah dari kesenjangan ekonomi ujung pangkalnya ada disini. Buruh harus terus berjuang untuk mendapatkan upah layak, jika upah buruh layak maka tingkat konsumsi akan naik begitu sebaliknya apa bila upah murah maka tingkat konsumsi akan rendah dan yang terjadi adalah krisis over produksi yang kita alami saat ini. Tanpa buruh alat produksi hanya jadi benda mati yang tidak menghasilkan profit.

 penulis adalah  Ketua Serikat Buruh Madiun Raya

 

ikuti terus update berita rmoljatim di google news