Benarkah NU Jaya?

logo NU/Net
logo NU/Net

KECANGGIHAN visi dan misi bukan menjadi jaminan kemajuan sebuah organisasi. Yang dilihat adalah sejauhmana organisasi berperan di bangsa ini. 

Perjalanan panjang peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam berdirinya bangsa

ini tak boleh dikaburkan hanya karena persolan mometum-momentum sesaat.

NU berperan penting dalam kemerdekaan, apakah itu bukan kejayaan? kejayaan itu tidak dilihat dari kilau-kilauan atau bunyi-bunyian saja, tetapi dilihat dari kinerja, gerak (action).

NU punya kinerja dalam kemerdekaan, menjadi motor penggerak lahirnya “Hari Pahlawan 10 November” yang terimplementasi dalam Resolusi Jihad NU.

Kala itu, NU melihat bahwa kerja-kerja keagamaan saja tidak cukup, berkhidmat pada bangsa ini tidak cukup hanya di ruang-ruang majelis, tetapi melawan penjajah adalah satu bentuk kecintaan pada tanah air (Hubbul Wathon).

NU tetap konsisten menjaga semangat itu, sampai hari ini. Di tengah banyaknya kelompok-kelompok yang mencoba merongrong dan mencoba untuk memecah belah umat dengan dalih agama yang tentu membawa kepentingan dari luar dan kelompoknya, NU tetap tampil di depan, apakah ini bukan kejayaan? Sampai hari ini, NU tetap dicintai.

Jejak zaman lampau ini tak boleh direduksi, karena mereduksi jejak ini sama halnya mereduksi perjuangan para kiai, ulama, santri dan penduduk.

Di zaman Orde Baru, walaupun NU diperlakukan tidak adil, NU tetap memberdayakan ummat, inilah kejayaan. Di zaman itu pula, NU di anak tirikan dalam desain Orba yang dikenal dengan social engineering dengan dalih pembangunan tetapi NU tetap konsisten dan komitmen merawat dan menjaga bangsa ini.

Di tengah kritik tajam datang silih berganti, NU tetap dicintai rakyat. Apakah ini bukan bentuk kejayaan?

Bentuk kejayaan NU misalnya di bidang ekonomi terimplementasi dengan adanya Nahlatut Tujjar yang berdiri pada tahun 1918, ini adalah satu satu embrio NU dalam mengangkat perekonomian masyarakat. Melalui semangat tersebut, NU hari ini tetap memfokus ekonomi sebagai arus utama pembangunan masyarakat.

Secara struktural NU memiliki Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) yang bergerak dan bekerja untuk mengembangkan ekonomi umat.

NU tidak pernah melupakan aspek ekonomi dalam gagasan utamanya yang permanen, sebab tuntutan warganya berekonomi dan harus ditaati dan diikuti sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang dianjurkan oleh agama.

Dalam Anggaran Dasar NU pasal 6 huruf d ditegaskan bahwa di bidang ekonomi mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan.

Dengan demikian, jelas bahwa NU tetap menjaga dan merawat gerakan-gerakan ekonomi umat. Hal ini juga dapat dilihat dengan adanya NU Care LAZISNU yang ikut mengelola zakat tetap konsisten dalam mengembangkan perekonomian umat.

Potensi zakat nasional sebesar Rp 280 triliun dan baru tergali Rp 6 triliun menjadi pekerjaan agung LAZISNU dengan totalitas dan akuntabilitas.

Jejak kejayaan NU adalah hadir di masyarakat, di tengah kritikan silih berganti, NU tetap hadir di masyarakat. Ditambah lagi, warga NU memprioritaskan pengembangan ekonomi umat yang bergerak di garis kultural.

Arus utama gerak NU dalam bidang ekonomi akan tetap dijaga dan bergerak baik secara struktural maupun kultural. Artinya, fokus utama NU dalam bidang ekonomi, sama halnya menjaga dan merawat ekonomi kerakyatan.

Dalam bidang kesehatan, NU mempunyai Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) yang tentunya fokus menghadirkan NU dalam masalah-masalah kesehatan. Tahun 2014 lalu, LKNU telah menulis buku Panduan Penanggulangan AIDS, keterlibatan NU dalam bidang kesehatan tidak boleh dipandang sebelah mata.

Tercatat kurang lebih ada 50 ribu dokter NU yang tersebar di seluruh Indonesia bahkan dunia, dan juga dengan adanya 33 Rumah Sakit milik NU sebagai wujud komitmen NU dalam melakukan pelayanan-pelayanan kesehatan pada masyarakat.

Hal tersebut terimplementasi dengan berdirinya Asosiasi Rumah Sakit Islam Nahdlatul Ulama (ARSINU). Di masa-masa Covid-19 melanda bangsa ini, NU tetap hadir dan melakukan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Terbukti, NU menyiapkan 33 rumah sakit untuk menangani pasien Covid-19. Di tengah akses dan pelayanan kesehatan yang lamban dan belum maksimal di rumah sakit-rumah sakit kebanyakan, NU berusaha hadir untuk memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik dan memuaskan.

Sebagai organisasi kemasyarakatan, NU juga memprioritaskan pendidikan, ada Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU).

Organisasi NU merupakan mitra yang sejajar dengan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan nasional yang mempunyai kesempatan yang sangat luas untuk berperan serta dalam mewujudkan tujuan organisasi, pendidikan sebagaimana disebut dalam UU No 2 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional (Ali Rahim, 2013: 175).

Konsep pendidikan yang dimiliki oleh NU sudah terwujud dan berhasil. Tercatat, ada kurang lebih 48 ribu lembaga pendidikan yang bernaung di bawah LP Ma’arif NU mulai dari tingkat Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyyah sampai Sekolah Menengah Atas atau Madrasah Aliyah, satuan pendidikan yang bernaung di bawah LP Ma’arif NU.

Pondok Pesantren, berjumlah sekitar 23 ribu yang tergabung di dalam Asosiasi Pesantren NU atau Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI NU).

Artinya konsep ekonomi, pendidikan dan kesehatan, NU sudah sejak lama memiliki konsep seperti ini dan sudah terwujud. Apakah ini bukan kejayaan? kejayaan bukan hanya terdengar sebagai bunyi-bunyian semata, tetapi bentuknya sudah nyata.

Menyilaukan konsep ini dalam momentum Muktamar NU sama halnya mengkerdilkan NU. Artinya bahwa NU sudah selesai dengan konsep-konsep semacam ini.

Salah satu kritik tajam terhadap NU adalah politik, ditambah lagi muncul penamaan politik praktis. Ini juga merupakan kekeliruan. Pada dasarnya NU tidak boleh dijauhkan dari politik, karena politik adalah ruang perjuangan, ruang pengabdian.

Di situ, suara-suara rakyat dipertaruhkan, kebijakan-kebijakan diputuskan di ruang-ruang politik.

Terjebaknya NU dalam politik praktis ini susah untuk dianalisis secara utuh, sebab kita tidak mengetahui pasti siapa yang menjebak dan siapa yang terjebak.

Jangan sampai kita ini sama-sama menjebak dan sama-sama terjebak. Menjauhkan NU dari politik sama halnya membunuh NU, karena aspek ekomoni, kesehatan dan pendidikan harus dituntut secara politik bukan dinanti.

Karena NU membawa gagasan politik kewarganegaraan/politik kebangsaan. Apakah ini bukan bentuk kejayaan?

Wujud nyata hari ini, keterlibatan NU dalam politik adalah sebuah keniscayaan, salah satu buktinya pemanggilan KH. Maruf Amin sebagai Wakil Presiden (Wapres) dan itu bukan karena alasan politik pragmatis tetapi atas dasar panggilan bangsa, bangsa menginginkan itu.

Buktinya ia terpilih dalam Pemilihan Umum tahun 2019 dan dipilih oleh bangsa Indonesia.

Akhir kata, sangat keliru jika NU hari ini diframing “Mengembalikan Kejayaan NU” karena sejak zaman lampau sampai zaman sekarang NU tetap jaya.

*Penulis adalah kader muda NU dan Pengajar di UIN Alauddin Makassar

ikuti terus update berita rmoljatim di google news