Bengkel dan Kemiskinan Struktural

 Bengkel UMKM/Ist
Bengkel UMKM/Ist

SEORANG rekan bengkel bercerita. Sekarang ini bengkelnya ramai. Tiap hari selalu ada kerjaan.

Dia membuka usaha bengkel dua puluh tahun. Sebelumnya, belasan tahun dia bekerja di bengkel lain. Merintis dari nol, hingga jadi mekanik.

Dari ceritanya, saya menangkap ada dua strategi mendasar yang dia lakukan, yaitu jemput bola dan penerapan tarif jasa murah.

Sasarannya pengelola showroom mobil-mobil bekas. "Dia senang, saya juga senang," begitu ungkapnya dengan bangga.

Dia tidak peduli jauh atau dekat, disamperin semua. Terkadang dia harus pulang tengah malam. Tidak jarang, dia dapat telpon darurat malam hari. Mobil konsumennya mogok.

Sekalipun lokasi mogoknya 40 km dari rumahnya, tetap dia datangi. "Kasihan. Kalau dah gitu, ya pasti pulang pagi," begitu kisahnya.

Saya tentu ikut senang karena bengkelnya ramai, tetapi sekaligus saya sedih melihat kondisinya.

Saya tanya, "Berapa usiamu?" 

"55," jawabnya singkat.

"Berapa karyawanmu?"

"Ada 3."

"Berapa gaji masing-masing per bulannya?"

Dia diam sebentar. "Kalau ada kerjaan saya kasih, kalau enggak ada ya nggak saya kasih."

"Apa karyawanmu punya keluarga, anak istri? Bagaimana dia memenuhi kebutuhan keluarga kalau pendapatannya tidak pasti?"

Dia kembali diam. Lalu bilang, "Ya, dulu saya begitu." 

Maksudnya tentu saat dia masih muda dan bekerja di bengkel lain, 30 tahun lalu.

Dia tidak digaji. Awal-awal hanya dikasih makan saja. Setelahnya kalau ada kerjaan baru dapat bagian. Pola yang sama ini yang coba dia terapkan saat ini pada anak buahnya sekalipun dunia sudah berubah dan kebutuhan makin besar.

Saya kejar lagi, "Kamu udah punya rumah sendiri?"

"Alhamdulillah punya. Kecil-kecilan."

"Anak berapa?"

"Tiga. Pertama udah nikah, kedua SMA, bungsu SMP."

Sayapun mencoba bertanya lebih detail lagi. "Bengkel punya sendiri? Maksudnya tempatnya?"

"Nggaklah, ngontrak. Berat kalau beli."

"Sorry nih, aku tanya lagi. Kamu punya tabungan berapa?"

"Adalah, kalau belasan juta."

"Kira-kira, sampai umur 60 tahun, kamu apa masih kuat mbengkel?"

"Kayaknya udah berat ya."

"Kalau yang di Atas ngasih umur kamu 80 tahun, kira-kira kebayang nggak, setelah umurmu 60 tahun, kamu apa masih bisa mandiri? Atau, jadi beban anakmu."

Dia terdiam, kali ini cukup lama. Mungkin dia sedang tersadar, bingung dan berpikir keras. Saya tepuk bahunya, saya ajak dia ngopi.

Tidak peduli nasibnya

Banyak sekali, pengusaha bengkel skala mikro dan kecil seperti itu. Ribuan, bahkan puluhan ribu jumlahnya.

Mereka tidak mempunyai pengetahuan bisnis yang baik. Sekadar bekerja. Untuk hidup. Bagaimana masa depan anak-anaknya? Tidak terjangkau pikirannya. Mungkin karena pendidikannya juga rendah.

Bagaimana hidupnya saat tua nanti? Bagaimana kualitas pendidikan anak-anaknya. Tidak terpikirkan. Mereka sibuk. Sangat sibuk. Berpikir keras bagaimana cara mobil konsumennya bener. Segala perhatiannya tercurah ke situ.

Tidak berpikir tentang dirinya sendiri. Gol terbesar dalam hudupnya kalau mobil-mobil konsumennya bisa selesai. Bagus lagi.

Bahkan saking pusingnya mikir masalah kerusakan mobil, emosinya suka tidak stabil. Perilakunya kadang temperamen, dan berjarak  dengan anak. 

Dunianya begitu sempit, juga cara berpikirnya. Mereka  seperti terperangkap dalam tempurung. Hidupnya untuk orang lain, untuk konsumennya yang terkadang selalu ingin membayarnya murah.

Saya juga pernah ketemu rekan bengkel lain. Umurnya 65 tahun. Era 1980-an, dia berjaya. Punya karyawan 8 orang.

Sekarang dia hanya mekanik panggilan. Orang manggil diapun karena rasa kasihan.

"Dulu bengkel saya ramai. Murah meriah. Mekanik banyak. Kontrakan naik terus, pindah-pindah terus, makin ke pinggir. Pelanggan ilang" begitu kisahnya.

Sekarang bengkelnya nggak ada lagi. Dia tinggalnya di kos-kosan petak, sewa Rp 500.000 per bulan. Tinggal bersama kedua anaknya. Istrinya sudah meninggal.

Saat ini pendapatannya tidak menentu, dan sekarang mulai sakit-sakitan. Terakhir saya dengar, tidak fokus lagi di bengkel dan di usianya yang senja dia coba kerja serabutan untuk bertahan hidup.

Tidak penting

Bagi pengusaha bengkel skala mikro dan kecil, masa depan itu serasa tidak penting. Mereka hidup mengikuti embusan angin dan putaran mesin.

Kadang di bawah, kadang di atas. Sekarang setelah tua, selalu di bawah. Roda seperti enggan berputar. Cerita kejayaan sekadar kenangan masa lalu.

Mengapa mereka bisa bernasib seperti itu? 

Hampir semua pengusaha bengkel skala mikro dan kecil, yang ada di kota, lokasi bengkelnya ngontrak.

Nilai kontrak terus naik tiap tahun, sampai mereka tersingkir. Kehilangan pelanggan, masa produktif, lalu lenyap di telan derita dan zaman.

Apakah mereka tidak mampu beli tempat sendiri?

Tentu tidak. Sampai saat ini, tidak ada mekanisme khusus pembiayaan usaha bengkel skala UMKM untuk pembelian tempat usaha. 

Padahal tempat untuk bengkel sangatlah penting. Sayangnya tidak terjangkau KPR. Skema kredit usaha, juga tidak menjangkau. Jangka waktunya terlalu pendek.

Nasib pengusaha bengkel UMKM, tak ubahnya petani dan TKW. Dijauhi industri perbankan, karena dianggap tidak mampu bayar cicilan.

Tidak mendapat perhatian yang layak. Di sisi lain, kita sering dengar kalau pengusaha UMKM itu adalah pahlawan ekonomi bangsa. 

Perannya strategis dalam pertumbuhan ekonomi nasional dan pengentasan pengangguran. Begitu juga di masa krisis. Sepenting petani dan TKW yang juga pahlawan pangan dan devisa.

Apa nasib "pahlawan" itu semua memang harus berakhir tragis?

Baiknya kita memang tidak harus jadi pahlawan. Cukup pahlawan keluarga saja, untuk anak-anak dan istri.

Hermas Prabowo

Penggagas Persatuan Bengkel UMKM Indonesia

SEORANG rekan bengkel bercerita. Sekarang ini bengkelnya ramai. Tiap hari selalu ada kerjaan.

Dia membuka usaha bengkel dua puluh tahun. Sebelumnya, belasan tahun dia bekerja di bengkel lain. Merintis dari nol, hingga jadi mekanik.

Dari ceritanya, saya menangkap ada dua strategi mendasar yang dia lakukan, yaitu jemput bola dan penerapan tarif jasa murah.

Sasarannya pengelola showroom mobil-mobil bekas. "Dia senang, saya juga senang," begitu ungkapnya dengan bangga.

Dia tidak peduli jauh atau dekat, disamperin semua. Terkadang dia harus pulang tengah malam. Tidak jarang, dia dapat telpon darurat malam hari. Mobil konsumennya mogok.

Sekalipun lokasi mogoknya 40 km dari rumahnya, tetap dia datangi. "Kasihan. Kalau dah gitu, ya pasti pulang pagi," begitu kisahnya.

Saya tentu ikut senang karena bengkelnya ramai, tetapi sekaligus saya sedih melihat kondisinya.

Saya tanya, "Berapa usiamu?" 

"55," jawabnya singkat.

"Berapa karyawanmu?"

"Ada 3."

"Berapa gaji masing-masing per bulannya?"

Dia diam sebentar. "Kalau ada kerjaan saya kasih, kalau enggak ada ya nggak saya kasih."

"Apa karyawanmu punya keluarga, anak istri? Bagaimana dia memenuhi kebutuhan keluarga kalau pendapatannya tidak pasti?"

Dia kembali diam. Lalu bilang, "Ya, dulu saya begitu." 

Maksudnya tentu saat dia masih muda dan bekerja di bengkel lain, 30 tahun lalu.

Dia tidak digaji. Awal-awal hanya dikasih makan saja. Setelahnya kalau ada kerjaan baru dapat bagian. Pola yang sama ini yang coba dia terapkan saat ini pada anak buahnya sekalipun dunia sudah berubah dan kebutuhan makin besar.

Saya kejar lagi, "Kamu udah punya rumah sendiri?"

"Alhamdulillah punya. Kecil-kecilan."

"Anak berapa?"

"Tiga. Pertama udah nikah, kedua SMA, bungsu SMP."

Sayapun mencoba bertanya lebih detail lagi. "Bengkel punya sendiri? Maksudnya tempatnya?"

"Nggaklah, ngontrak. Berat kalau beli."

"Sorry nih, aku tanya lagi. Kamu punya tabungan berapa?"

"Adalah, kalau belasan juta."

"Kira-kira, sampai umur 60 tahun, kamu apa masih kuat mbengkel?"

"Kayaknya udah berat ya."

"Kalau yang di Atas ngasih umur kamu 80 tahun, kira-kira kebayang nggak, setelah umurmu 60 tahun, kamu apa masih bisa mandiri? Atau, jadi beban anakmu."

Dia terdiam, kali ini cukup lama. Mungkin dia sedang tersadar, bingung dan berpikir keras. Saya tepuk bahunya, saya ajak dia ngopi.

Tidak peduli nasibnya

Banyak sekali, pengusaha bengkel skala mikro dan kecil seperti itu. Ribuan, bahkan puluhan ribu jumlahnya.

Mereka tidak mempunyai pengetahuan bisnis yang baik. Sekadar bekerja. Untuk hidup. Bagaimana masa depan anak-anaknya? Tidak terjangkau pikirannya. Mungkin karena pendidikannya juga rendah.

Bagaimana hidupnya saat tua nanti? Bagaimana kualitas pendidikan anak-anaknya. Tidak terpikirkan. Mereka sibuk. Sangat sibuk. Berpikir keras bagaimana cara mobil konsumennya bener. Segala perhatiannya tercurah ke situ.

Tidak berpikir tentang dirinya sendiri. Gol terbesar dalam hudupnya kalau mobil-mobil konsumennya bisa selesai. Bagus lagi.

Bahkan saking pusingnya mikir masalah kerusakan mobil, emosinya suka tidak stabil. Perilakunya kadang temperamen, dan berjarak  dengan anak. 

Dunianya begitu sempit, juga cara berpikirnya. Mereka  seperti terperangkap dalam tempurung. Hidupnya untuk orang lain, untuk konsumennya yang terkadang selalu ingin membayarnya murah.

Saya juga pernah ketemu rekan bengkel lain. Umurnya 65 tahun. Era 1980-an, dia berjaya. Punya karyawan 8 orang.

Sekarang dia hanya mekanik panggilan. Orang manggil diapun karena rasa kasihan.

"Dulu bengkel saya ramai. Murah meriah. Mekanik banyak. Kontrakan naik terus, pindah-pindah terus, makin ke pinggir. Pelanggan ilang" begitu kisahnya.

Sekarang bengkelnya nggak ada lagi. Dia tinggalnya di kos-kosan petak, sewa Rp 500.000 per bulan. Tinggal bersama kedua anaknya. Istrinya sudah meninggal.

Saat ini pendapatannya tidak menentu, dan sekarang mulai sakit-sakitan. Terakhir saya dengar, tidak fokus lagi di bengkel dan di usianya yang senja dia coba kerja serabutan untuk bertahan hidup.

Tidak penting

Bagi pengusaha bengkel skala mikro dan kecil, masa depan itu serasa tidak penting. Mereka hidup mengikuti embusan angin dan putaran mesin.

Kadang di bawah, kadang di atas. Sekarang setelah tua, selalu di bawah. Roda seperti enggan berputar. Cerita kejayaan sekadar kenangan masa lalu.

Mengapa mereka bisa bernasib seperti itu? 

Hampir semua pengusaha bengkel skala mikro dan kecil, yang ada di kota, lokasi bengkelnya ngontrak.

Nilai kontrak terus naik tiap tahun, sampai mereka tersingkir. Kehilangan pelanggan, masa produktif, lalu lenyap di telan derita dan zaman.

Apakah mereka tidak mampu beli tempat sendiri?

Tentu tidak. Sampai saat ini, tidak ada mekanisme khusus pembiayaan usaha bengkel skala UMKM untuk pembelian tempat usaha. 

Padahal tempat untuk bengkel sangatlah penting. Sayangnya tidak terjangkau KPR. Skema kredit usaha, juga tidak menjangkau. Jangka waktunya terlalu pendek.

Nasib pengusaha bengkel UMKM, tak ubahnya petani dan TKW. Dijauhi industri perbankan, karena dianggap tidak mampu bayar cicilan.

Tidak mendapat perhatian yang layak. Di sisi lain, kita sering dengar kalau pengusaha UMKM itu adalah pahlawan ekonomi bangsa. 

Perannya strategis dalam pertumbuhan ekonomi nasional dan pengentasan pengangguran. Begitu juga di masa krisis. Sepenting petani dan TKW yang juga pahlawan pangan dan devisa.

Apa nasib "pahlawan" itu semua memang harus berakhir tragis?

Baiknya kita memang tidak harus jadi pahlawan. Cukup pahlawan keluarga saja, untuk anak-anak dan istri.

Hermas Prabowo

Penggagas Persatuan Bengkel UMKM Indonesia

ikuti terus update berita rmoljatim di google news