DPN APTRI Kecam Kebijakan Impor Bebas Komoditas: Ancam Kesejahteraan Petani Tebu

Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia menggelar pertemuan di PG Rejo Agung Baru Madiun, Kamis 17 April 2025.
Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia menggelar pertemuan di PG Rejo Agung Baru Madiun, Kamis 17 April 2025.

Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) melayangkan kecaman keras terhadap kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menghapus kuota impor komoditas, termasuk gula. Kebijakan ini dinilai mengancam kesejahteraan petani tebu dan berpotensi menjatuhkan harga gula lokal secara drastis.


Kecaman tersebut disampaikan dalam pertemuan DPN APTRI yang digelar di Pabrik Gula Rejo Agung Baru, Kamis (17/4). Ketua Umum DPN APTRI, Soemitro Samadikoen, menegaskan bahwa keputusan pemerintah untuk menghapus peraturan teknis (pertek) dan kuota impor menjelang musim giling telah menimbulkan keresahan di kalangan petani.

“Mendekati musim giling tebu kok ada statement pemerintah bahwa tidak ada pertek dan kuota impor. Ini membuat petani tebu galau,” tegas Soemitro.

Ia menambahkan, kebijakan ini mengingatkan pada masa kelam era reformasi, saat keran impor gula dibuka secara bebas, menyebabkan harga gula anjlok dari Rp 3.800 menjadi Rp 1.700 per kilogram. Akibatnya, banyak petani memilih berhenti menanam tebu.

“Kami ingin bicara dengan pemerintah. Kami khawatir adanya impor gula bebas bisa membuat harga gula lokal jatuh. Harus kita sikapi,” ujarnya.

Menurut Soemitro, biaya produksi gula lokal jauh lebih tinggi dibandingkan gula impor, sehingga kebijakan ini akan membuat petani semakin terpuruk.

“Kalau sikap kami tidak mendapat perhatian, ya tentu akan ada aksi dari kami. Kami tidak ingin kejadian di era reformasi terulang lagi,” tandasnya.

Senada dengan Soemitro, Wakil Ketua Umum DPN APTRI, Dwi Irianto, menyebut kebijakan ini tidak sejalan dengan program swasembada ketahanan pangan yang digaungkan pemerintah. Ia menilai, ketahanan pangan tidak bisa dicapai jika negara terus bergantung pada impor.

“Pemerintah seharusnya fokus swasembada ketahanan pangan, bukan hanya sekadar memastikan ketersediaannya. Apalagi kalau ketersediaan itu dipenuhi lewat impor,” ujar Dwi.

Dwi juga menyoroti data produksi tebu nasional yang menurutnya tidak masuk akal. Dengan luas lahan tebu sebesar 500 ribu hektare dan produksi gula 2,3 juta ton, berarti setiap kuintal tebu hanya menghasilkan 4 kilogram gula.

“Padahal, pada 1929 Indonesia adalah negara eksportir gula terbesar kedua di dunia. Kami harap pemerintah lebih fokus meningkatkan produktivitas nasional,” pungkasnya.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news