Jaksa Agung yang Ideal Dari Jaksa Karier

BERPROSES menjadi seorang Jaksa membutuhkan waktu yang tidak singkat. Tata caranya telah diatur di dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan) mengenai syarat-syarat pengangkatannya.


Selain syarat-syarat tersebut diatur selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (2) UU Kejaksaan mengenai untuk dapat diangkat menjadi jaksa, harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa (selanjutnya disebut PPPJ).

Dalam proses tersebut seorang calon jaksa terlebih dahulu harus memahami keberlakukan peraturan internal yang berlaku di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia baik dalam bidang pidana umum, pidana khusus, intelijen, perdata dan tata usaha, dan pembinaan serta tata administrasi yang menyertainya.

Kemudian ketika menjadi seorang jaksa melekat tugas dan wewenang yang telah diamanatkan undang-undang dan wajib dilaksanakan  dengan sungguh-sungguh, saksama, objektif, jujur, berani, professional, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, gender, dan golongan tertentu.

Mendukung peranan tersebut Jaksa Agung telah menerbitkan Peraturan Jaksa Agung Nomor Per-066/A/JA/07/2007 Tentang Standar Minimum Profesi Jaksa. Adapun secara pengetahuan seorang Jaksa dituntut mampu menerapkan pengetahuan dalam melaksanakan tugasnya minimal meliputi : 1) Ketentuan hukum pidana materiil dan formil, 2) Ketentuan hukum perdata materiil dan formil, 3) Ketentuan hukum tata usaha Negara materiil dan formil, 4) Ketentuan Intelijen Kejaksaan, 4) Ketentuan hukum adat di tempat penugasan, 5) Ketentuan Hak Asasi Manusia (HAM) baik nasional maupun instrument HAM internasional yang sudang diratifikasi oleh Indonesia, 6) Peraturan perundang-undangan tingkat nasional dan daerah, 7) Konvensi internasional yang relevan dengan tugas Jaksa, 8) Manajemen umum dan Kejaksaan, 9) Etika hukum, 10) Disiplin ilmu lainnya yang menunjang pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang, dan 11) Pengetahuan tentang perkembangan ilmu hukum dan praktek hukum nasional maupun internasional.

Pentingnya pengetahuan seorang Jaksa untuk mengetahui norma positif yang saat ini tengah berlaku dan hal ini telah mengingatkan penulis dengan tulisan Thomas Stamford Rafles saat memerintah sebagai Letnan-Gubernur Hindia Belanda padaTahun 1811 yang sempat menuliskan pengalamannya saat memerintah melalui buku The History of Java. Pada tulisan tersebut Raffles memuji penyusunan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Sang Prabu Surya Alam atau yang lebih kita kenal sebagai Pati Unus Raja pada Kerajaan Demak. Dalam peraturan tersebut terdapat beberapa Pasal yang mengatur tentang Jaksa dalam menjalankan tugasnya dan Pasal yang paling menarik adalah pada Pasal I Tentang Tugas Jaksa yang mengatur:

Pertama, dia harus mempunyai suatu pengetahuan hukum yang cukup untuk mengetahui bagaimana bertindak dalam menyinggung kasus-kasus yang terjadi sebelum dia bertindak, yang merupakan bagian dari pihak-pihak yang seharusnya diperhatikan.

Pokok-pokok tentang apa yang tepat dan pokok-pokok yang tidak tepat untuk suatu perkara hukum, memutuskan bertentangan dengan orang yang akan mengemukakan beberapa hal tentang deskripsi selanjutnya. Jika Jaksa ditemukan mengabaikan masalah-masalah ini, dia akan dipotong lidahnya.

Kedua, untuk bertindak sebagai Jaksa jika jejenang (urutan yang selanjutnya Jaksa) membuktikan kekurangan dalam suatu pengetahuan tugasnya, dia akan dipotong lidahnya, kehilangan kedua kupingnya, atau penjepit yang panas membara dijepitnkan di bibirnya.

Ketiga
, beberapa pernyataan yang tidak benar dalam penulisan akan dihukum dengan kehilangan kedua tangannya. Seharusnya baik hukuman-hukuman ini membawa pengaruh, di semua peristiwa Jaksa seharusnya diasingkan oleh Negara.

Bagaimanapun hukuman dikurangi oleh Raja yang memiliki perasaan kasihan terhadap Jaksa, menariknya kembali setelah satu tahun pengasingan.

Seharusnya Raja menderita karena menjatuhkan yang tidak dihukum semacam suatu kelalaian tugas sama sekali di bagian Jaksa, sebagaimana diterangkan, kesulitan dan menyulitkan akan dengan penting meningkat dalam waktu-waktu tersebut.

Menilik terhadap posisi strategis seorang Jaksa di dalam proses hukum idealnya Jaksa diisi oleh orang-orang professional dan berintegritas tinggi sehingga dapat melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penegakan hukum secara poporsional, professional, dan berkeadilan.

Sepak terjang seorang Jaksa diuji dalam perjalanan kariernya baik pada saat menjalankan kewenangannya sebagai pejabat fungsional maupun pada saat menjalankan kewenangannya sebagai pejabat struktural hingga usianya telah mencapai 62 (enam puluh dua) tahun, sehingga di dalam kurun waktu tersebut tentunya jaksa yang menapaki kariernya sejak menjadi calon jaksa sampai menjadi jaksa yang diamanatkan memegang jabatan struktural tertentu sangat memahami jalan berliku di tubuh institusi Kejaksaan Republik Indonesia.

Dalam artian sempit integrated criminal juctice system atau lebih dikenal sebagai sistem peradilan pidana yang terdiri atas Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung apabila ditelisik lebih lanjut di dalam UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Polri) di dalam Pasal 11 ayat (6) diatur Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.

Sedangkan di dalam UU No. 5 Tahun 2004 jo. UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung di dalam Pasal 8 ayat (3) mengatur Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung dan diangkat oleh Presiden, kemudian untuk dapat diangkat menjadi Hakim Agung di dalam salah satu syarat pengangkatannya pada Pasal 7 huruf f mengatur berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim termasuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi, walaupun terdapat pengecualian di dalam Pasal 7 ayat (2), yang kesemuanya pimpinan tertinggi di dalam institusi tersebut berasal dari pejabat karier.

Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan mengatur Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan.

Namun di dalam Pasal 20 UU Kejaksaan mengatur syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, huruf c, huruf d, huruf I, dan huruf g yang memberikan pengertian bahwa Jaksa Agung dapat diangkat dari external lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia, menjadikan antara ketentuan-ketentuan di dalam UU Kejaksaan menjadi kontradiktif, yang mana di satu sisi untuk dapat diangkat menjadi Jaksa wajib memenuhi syarat-syarat yang diatur di dalam Pasal 9 sebagai salah satu contoh harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa.

Kejaksaan membutuhkan pemimpin yang memahami tumbuh kembang institusi baik dalam dimensi struktural maupun dalam dimensi kontekstual, pemahaman dalam dimensi struktural.

Itu diartikan karakter institusi yang bersumber pada sisi internal institusi, seperti tingkat formalitas organisasi, standardisasi pekerjaan, kompleksitas institusi, dan hierarki institusi.

Sedangkan pemahaman dalam artian dimensi kontekstual merupakan pemahaman mengenai karakteristik institusi secara menyeluruh yang ditentukan oleh ukuran institusi, teknologi yang digunakan, lingkungan institusi, tujuan, dan budayanya.

Pemahaman-pemahaman tersebut hanya didapatkan oleh seorang pegawai kejaksaan yang diibaratkan perjalanannya seperti pohon yang bermula dari sebuah bibit, berlanjut ketika akarnya merambat ke dalam tanah.

Kemudian tunas pohon tumbuh disinari cahaya matahari, menghirup udara, dan terpaan air hujan yang perlahan menumbuhkan ranting dan dedaunan sehingga dapat merindangi kehidupan yang bernaung di dalamnya.

I Gede Willy Pramana, SH., M.KN
Kasubsi Pra Penuntutan Kejaksaan Negeri Tanjung Perak

 
 

ikuti terus update berita rmoljatim di google news