. KABAR mengejutkan terdengar dari Bolivia, sebuah negeri landlock di Amerika Latin. Minggu sore waktu setempat (10/11), belum 24 jam lalu, Juan Evo Morales Ayma yang sudah berkuasa selama 14 tahun lamanya mengumumkan pengunduran diri.
- KPK Telusuri Aliran Uang Suap Terkait Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemprov Sulsel
- Relawan Jokowi: Jujur Kami Katakan, Tahun Pertama Di Periode Kedua Sangat Buruk
- Palsukan Tanda Tangan Jusuf Kalla, Arief Rosyid Harus Dipecat sebagai Komisaris BSI
Kelompok konservatif borjuis menggunakan kekisruhan pemilihan umum untuk memojokkan pria kelahiran Ilsallavi pada 26 Oktober 1959 yang memimpin Partai Gerakan Sosialisme itu.
Wakil Presiden Alvaro Garcia yang ikut mengundurkan diri mengatakan, telah terjadi upaya kudeta di negara di dataran rendah Amazon itu.
Ia merujuk pada tekanan dan ancaman yang disampaikan Panglima Tentara Bolivia Jenderal Williams Kaliman yang mengatakan bahwa pengunduran diri Evo Morales adalah jalan keluar yang paling pas untuk menghindarkan negara berpenduduk 11 juta jiwa itu dari perang saudara.
Komandan Polisi Jenderal Vladimir Yuri Calderon juga menyampaikan permintaan serupa.
Dari penghitungan sementara, Evo Morales memperoleh 47 persen suara, mengungguli dua penantangnya, Carlos Mesa dari Komunitas Sipil (36,5 persen) dan politisi keturunan Korea kelahiran Gwangju Chi Hyun Chung dari Partai Demokrasi Kristen (8,7 persen).
Organization of American States (OAS) yang memantau jalannya pemilihan umum menuding pemerintahan Evo Morales melakukan kecurangan. Organisasi kawasan negara-negara benua Amerika yang didirikan tahun 1948 dan bermarkas di Washington DC itu mengaku menemukan manipulasi yang jelas.
Pernyataan OAS inilah yang dijadikan amunisi utama kelompok oposisi melakukan perlawanan terhadap revolusi sosialis Morales. Menumbangkan Morales adalah mimpi lama mereka.
Walau telah menyatakan mengundurkan diri, Morales tidak benar-benar meninggalkan medan pertempuran. Kepada pendukungnya Morales mengatakan, perjuangan sosialisme belum selesai sampai disini. Dia berjanji akan terus berjuang untuk menuntaskan revolusi sosialisme di Bolivia.
Bukan baru kali ini revolusi terjungkal di Bolivia. Lima puluh dua tahun lalu, Ernesto Che Guevara juga menemui kegagalan di Bolivia. Dengan cara yang barbarik.
Pria kelahiran Argentina yang memutuskan bergabung dengan Fidel Castro dan pejuang Kuba itu gagal mengulangi keberhasilan Revolusi 1959 yang menggulingkan rezim konservatif pro-AS Fulgencio Batista.
Che Guevara ditangkap di tengah hutan Bolivia, sekitar 50 kilometer dari La Higuera, pada 8 Oktober 1967.
Sehari kemudian dia dieksekusi oleh tentara Bolivia yang dilatih AS di sebuah ruang sekolah berlantai tanah tempat ia ditahan. Tubuhnya dibawa ke Valegrande untuk difoto dan dipertontonkan ke pada publik pada tanggal 10 Oktober 1967.
Pagi hari tanggal 11 Oktober, tubuh Che Guevara dan enam tentara Kuba yang ikut bergerilya dengannya dikuburkan di sebuah tempat yang dirahasiakan di Vallegrande.
Sebelum dikuburkan, kedua tangan Che Guevara dipotong untuk membuktikan kepada dunia kematian dirinya.
Di tahun 1995, dua puluh delapan tahun kemudian, pensiunan perwira anggota Divisi Kedelapan Angkatan Darat Bolivia, Mario Vargas Salinas, memberitahukan lokasi kuburan massal Che Guevara dan kawan-kawannya.
Kuburan itu dieskavasi dua tahun kemudian. Tulang belulang Che Guevara dan kawan-kawannya kemudian dibawa ke Kuba dan dikremasi. Abunya disimpan di mausoleum yang dibangun khusus untuk Che Guevara di Santa Clara.
Santa Clara dipilih sebagai tempat peristirahatan terakhir Che Guevara karena di kota inilah ia memimpin pertempuran melawan tentara Batista. Pertempuran di kota yang berada 227 kilometer di sebelah tenggara Havana ini menjadi penentu kemenangan Revolusi 1959.
Di akhir Desember 1958, Che Guevara berhasil merebut Santa Clara. Ia dan pasukannya juga berhasil melumpuhkan kereta api lapis baja berisi tentara cadangan, persenjataan dan amunisi yang dikirim Batista untuk memperkuat pasukannya di Santiaga de Cuba yang sedang berhadapan dengan pasukan revolusi pimpinan Fidel Castro.
Pekan lalu saya berkunjung ke Santa Clara. Kepada guide yang memandu perjalanan ke kota Che Guevara itu saya bertanya, Lantas dimana kedua tangan Che Guevara?â€
Yani Cruz Gutsens, nama guide itu, terperangah.
Soal tangan Che Guevara, hampir tidak pernah dibicarakan, jawabnya. Suaranya pelan terdengar.
Saat itu kami sedang berhenti di sebuah persimpangan di Provinsi Matanzas. Dari persimpangan itu, jika perjalanan dilanjutkan ke arah selatan sejauh 8 kilometer, kita akan tiba di Teluk Babi. Di teluk itu, pada tahun 1961 milisi Kuba yang dilatih Amerika Serikat pernah dikirim untuk melakukan infiltrasi. Namun operasi mereka berhasil digagalkan.
Yani mengaku tidak mengetahui nasib kedua tangan Che Guevara itu. Benar, katanya, saat kuburan massal Che Guevara digali, tulang belulangnya dapat dengan mudah dikenali karena ketiadaan kedua tangannya.
Kepada Jorge, guide lain yang menemani saya berkeliling Havana, pertanyaan yang sama juga saya sampaikan.
Saat itu kami sedang dalam perjalanan menuju lokasi pameran produk Kuba di dekat Taman Botani Nasional.
Jorge terdiam untuk beberapa saat lamanya.
Anda orang pertama yang bertanya kepada saya soal tangan Che Guevara,†ujarnya.
Seperti Yani, Jorge juga mengatakan tidak pernah tahu bagaimana kabar tangan Che Guevara setelah dipotong dan kabarnya dikirimkan ke Argentina.
Kelihatannya tidak ada yang merasa perlu untuk bertanya dimana tangan Che Guevara. Kata dia lagi.
Sampai saya meninggalkan Kuba hari Jumat kemarin, dua hari sebelum Morales mengundurkan diri, saya belum menemukan jawaban tentang misteri tangan legenda revolusi Che Guevara.[bdp]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- KLB Deli Serdang Dinilai Lebih Buruk Dari Zaman Soeharto
- Bendum Nasdem Minta Anggotanya yang Dilaporkan Dugaan Pelecehan Seksual untuk Klarifikasi ke Bareskrim dan MKD
- Komunitas Gerakan Akar Rumput Tulungagung Dukung Erick Thohir Maju Pilpres 2024