Sengkarutnya kebijakan Kemendikbud soal program organisasi penggerak (POP) di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim, makin meruncing.
- Gibran Maju Cawapres, Cak Imin Minta Jokowi Berlaku Adil
- Resmi, Pemerintah Tak Ingin Revisi UU Pemilu Dan UU Pilkada
- Lebih Cepat Manuver Anies, Manuver Prabowo dan Ganjar Terganjal MK
Akibatnya Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan PGRI resmi menarik diri dari program POP.
Penyebabnya program POP menggandeng organisasi CSR milik perusahaan swasta sekelas Tanoto Foundation dan Sampoerna untuk pelatihan guru.
"Betapa tidak kacau, organisasi CSR perusahaan besar diberi bantuan puluhan miliar untuk meningkatkan kualitas guru-guru. Mestinya CSR membantu negara benahi dunia pendidikan dengan biaya mandiri, bukan menggunakan uang negara. Organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah justru diabaikan dan dikerdilkan," ucap analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (26/7).
Kekacauan kebijakan Nadiem juga terjadi sejak kebijakan merdeka belajar. Kebijakan tersebut selain mencaplok slogan sebuah sekolah swasta, juga dinilai gagah di istilah tetapi keropos di substansi.
"Perbedaan tafsir di perguruan tinggi, ada semacam tambal sulam turunan ide lama dikemas dengan label merdeka belajar, jadi buang-buang energi saja, buang-buang anggaran karena mengerjakan ulang sesuatu yang sudah dikerjakan dan merusak visi pendidikan secara substantif," sambung Ubedilah.
Selain itu, gaya manajemen kementerian juga dinilai tidak terbuka dan menyalahi prinsip-prinsip open government. Nadiem, jelasnya, terlihat terbuka di muka umum, tapi praktiknya di Kemendikbud sangat tertutup.
"Struktur birokrasi di Kemendikbud sangat sulit melakukan diskusi terbuka dan jujur dengan menterinya, tembok staf ahli menteri begitu kuat menutup akses menyangkut langkah-langkah penting, misalnya terkait perguruan tinggi," jelasnya.
Tak hanya itu, Ubedilah juga menilai mantan bos Gojek itu lambat merespons dampak Covid-19 terhadap mahasiswa perguruan tinggi negeri maupun swasta. Di mana, lebih dari 50 persen mahasiswa mengalami problem ekonomi serius sampai saat ini.
Di kampus-kampus masih terjadi gejolak protes soal Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan sumbangan pendidikan. Gejolak protes mahasiswa ini juga luput dari perhatian media massa.
Sengkarut juga terjadi dalam sikap Mendikbud Nadiem yang tidak jelas terhadap sejumlah kasus rektor, dari soal plagiarisme sampai soal gratifikasi THR.
"Tidak ada ketegasan dan kejelasan sikap. Nadiem cenderung membiarkan, padahal itu menyangkut urgensi integritas yang sering didengung-dengungkan Jokowi dan Nadiem," terang Ubedilah.
Dengan demikian, dari berbagai macam sengkarut di tubuh Kemendikbud sudah cukup menjadi alasan bagi Presiden Jokowi untuk mencopot Nadiem.
"Mendikbud hanya menjadi beban Presiden, untuk apa dipertahankan? Kalau masih dipertahankan, berarti membenarkan asumsi naiknya Nadiem jadi Mendikbud 'ada udang di balik batu' atau 'ada gula merah di balik klepon'," pungkas Ubedilah.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Belum Ada Lembaga Survei Rilis Paslon Raih 50 Persen Suara, Pilpres Satu Putaran Sulit Terwujud
- Dua Orang Meninggal Dunia Gara-gara Antre Elpiji, Rocky Gerung: Bahlil Bersalah
- Cak Imin Ajak Milenial Gabung ke PKB