PEMERINTAH Kabupaten Jombang kini tengah menggulirkan wacana perubahan city branding dari "Jombang Santri" menjadi "Jombang The Root of Java". Perubahan ini disebut sebagai bagian dari strategi promosi daerah yang lebih terbuka terhadap investasi dan pasar global.
Namun, alih-alih memperkuat daya saing, langkah ini justru menimbulkan kebingungan konseptual dan identitas. Dalam konteks branding daerah, mengganti merek bukan sekadar soal selera estetika atau pembaruan bahasa, tetapi tentang konsistensi narasi, legitimasi kultural, dan keberlanjutan pembangunan. Ketika slogan baru hadir tanpa fondasi riset dan pemahaman mendalam terhadap realitas lokal, ia berisiko menjadi sekadar “merek baru untuk masalah lama”.
Identitas Kultural yang Digeser
Tagline “Jombang Santri” bukan hanya slogan administratif, tetapi identitas yang telah melekat dalam memori kolektif warga dan peta nasional. Dengan ratusan pesantren aktif dan tokoh-tokoh besar seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, dan Gus Dur, narasi “santri” merepresentasikan karakter pendidikan, kultur keagamaan yang progresif, dan moderasi sosial khas Jombang yang selama ini berkembang.
Sementara itu, klaim sebagai “Root of Java” secara historis dan geografis terasa mengambang. Tidak ada rujukan kuat yang menunjukkan bahwa Jombang adalah akar utama budaya atau peradaban Jawa. Wilayah seperti Trowulan di Mojokerto atau Kediri memiliki legitimasi sejarah yang jauh lebih kuat dalam konteks itu. Maka, jika branding baru tidak dibangun di atas realitas sejarah dan sosial, ia akan kehilangan daya sandar dan tidak otentik.
City branding yang baik tidak lahir dari pencitraan simbolik semata, tetapi dari cermin identitas yang jujur dan relevan. Tanpa basis riset akademik, kajian sosial-budaya, atau partisipasi publik, perubahan slogan ini tampak tergesa-gesa dan elitis.
Ganti Bungkus, Masalahnya Sama
Klaim bahwa branding baru dibutuhkan untuk menarik investor juga patut dipertanyakan. Investasi tidak hadir karena slogan baru, melainkan karena ketersediaan infrastruktur, kepastian regulasi, kualitas sumber daya manusia, dan stabilitas sosial.
Selama ini, masalah pembangunan di Jombang bukan terletak pada tagline atau jargon-jargon, tetapi pada persoalan-persoalan mendasar: ketimpangan antar-kecamatan, lemahnya daya saing industri lokal, terbatasnya hilirisasi UMKM, hingga tingginya pengangguran terselubung. Ini adalah masalah lama yang belum ditangani secara sistemik.
Mengganti slogan tanpa membenahi fondasi pembangunan hanya akan menjadi pemborosan anggaran. Terlebih, perubahan branding membutuhkan biaya besar—dari desain ulang logo, materi promosi, hingga sosialisasi dan publikasi. Dalam situasi fiskal APBD pasca-pandemi yang masih ketat, rencana rebranding ini dari perspektif anggaran jelas pemborosan.
Strategi Alternatif yang Lebih Realistis
Daripada mencabut akar identitas, pemerintah Kabupaten Jombang seharusnya memperkuat branding dengan pendekatan adaptif. Sub-branding adalah salah satu strategi yang memungkinkan. Misalnya, “Jombang Santri – Kota Industri Halal Global”. Dengan pendekatan ini, karakter ijo-abang tetap dipertahankan sembari membuka diri terhadap modernitas dan peluang ekonomi kontemporer.
Jombang sebenarnya memiliki potensi besar di sektor ekonomi berbasis pesantren, industri halal, wisata religi, dan logistik. Pesantren dapat dikembangkan sebagai sentra ekonomi melalui koperasi syariah, produksi herbal, makanan halal, dan pelatihan vokasional. Strategi kawasan industri juga bisa diarahkan ke sektor-sektor padat karya yang relevan dengan demografi lokal atau dengan hilirisasi sektor agraris.
Contoh sukses seperti Banyuwangi dan Yogyakarta menunjukkan bahwa kekuatan budaya dan otentisitas lokal bukan hambatan pembangunan, melainkan daya ungkit. Kunci utamanya adalah integrasi antara identitas lokal dan inovasi kebijakan.
Menyatukan Masa Lalu dan Masa Depan
Perubahan city branding seharusnya tidak bersifat kosmetik, apalagi ahistoris. Ia adalah cermin arah pembangunan, dan karenanya harus berpijak pada kekuatan sosial yang dimiliki masyarakat.
Kita tidak perlu meninggalkan warisan “Jombang Santri” demi slogan yang terdengar modern tapi rapuh. Yang kita perlukan adalah membangun makna baru dari identitas lama, memperluas interpretasinya, dan mengaitkannya dengan kebutuhan masa depan. Di sinilah strategi branding sejati bekerja—mengikat antara akar dan arah, bukan sekadar mengganti kemasan.
Jika identitas adalah kekuatan, maka mempertahankan dan mengolahnya adalah bentuk keberanian. Karena sebesar apa pun baliho atau sebanyak apapun brosur dibuat, semua akan sia-sia jika hanya sekedar narasi tanpa substansi.
penulis merupakan Aktifis Sosial dan Pergerakan dan Santri Alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum Jombang Tahun 2005
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Basis Merah Tak Luput Digasak Laskar Santri untuk Menangkan Amin
- Yenny Wahid Motivasi Santri Bahrul Ulum Tambakberas: Pilih Pemimpin yang Berakhlak dan Jujur
- Santri di Malang Dukung Prabowo-Gibran