- Pilar Kedaulatan yang Tidak Bisa Ditawar
- Saatnya Meninjau Ulang Peran Bank Sentral
- Menolak Denasionalisasi Bank Sentral
PEMERINTAH dan operator seluler hari ini gencar mendorong migrasi jaringan 2G ke 4G sebagai bagian dari agenda transformasi digital nasional. Infrastruktur diperluas, perangkat 4G disubsidi, dan pengguna feature phone dipacu untuk beralih ke smartphone. Namun, di balik narasi konektivitas dan kemajuan teknologi, ada persoalan mendasar yang luput dari perhatian: migrasi ini bisa menjadi pintu masuk bagi ekspansi pasar utang digital dan eksploitasi data rakyat.
Dari Sinyal ke Skor Kredit
Kenyataannya, migrasi jaringan bukan hanya soal teknis. Ia membawa konsekuensi sosial-ekonomi yang besar. Ketika seseorang beralih ke smartphone, ia tidak hanya mengakses internet, ia juga memasuki ekosistem aplikasi yang menawarkan segala hal: belanja instan, hiburan nonstop, dan pinjaman digital cepat cair.
Di berbagai daerah, kita melihat gejala serupa: warga miskin berutang demi membeli HP 4G atau sekadar membeli kuota untuk tetap terhubung. Tak lama setelah terhubung, mereka dibombardir iklan aplikasi pinjaman, kredit barang, dan layanan konsumtif lainnya. Di sinilah ironi terjadi, alih-alih memperluas akses pengetahuan, koneksi 4G justru memperluas risiko keterjeratan utang.
Negara Wajib Hadir
Konstitusi Indonesia jelas: Pasal 28D menjamin hak atas perlindungan hukum, dan Pasal 33 mengamanatkan perekonomian nasional dijalankan secara adil, berkelanjutan, dan berpihak kepada rakyat. Transformasi digital yang mendorong rakyat kecil ke ekosistem utang tanpa perlindungan, justru bertentangan dengan mandat konstitusi tersebut.
Masalahnya bukan pada teknologinya, tetapi pada absennya mitigasi risiko. Negara nyaris tidak menyiapkan sistem perlindungan data pribadi yang kuat, tidak membatasi pemasaran agresif aplikasi pinjaman digital, dan tidak menyertakan literasi digital sebagai syarat utama dalam distribusi perangkat. Rakyat didorong masuk ke dunia digital tanpa perisai.
Dari Konsumen Menjadi Komoditas
Data perilaku pengguna smartphone, mulai dari lokasi, kontak pribadi, preferensi belanja, hingga waktu tidur--dikumpulkan, dianalisis, dan dijual. Ini bukan teori konspirasi. Ini model bisnis raksasa digital hari ini. Sayangnya, banyak rakyat tidak pernah sadar bahwa data mereka telah menjadi komoditas yang sangat bernilai.
Tanpa perlindungan yang memadai, digitalisasi malah memperdalam ketimpangan. Yang kaya makin terkoneksi dan produktif, sementara yang miskin makin mudah dijerat dalam pola konsumsi dan kredit mikro yang menciptakan ilusi kemudahan tapi meninggalkan beban jangka panjang.
Jalan Tengah yang Berkeadilan
Transformasi digital tidak boleh jadi transformasi utang. Jika benar migrasi 2G ke 4G dimaksudkan untuk memajukan bangsa, maka ia harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan keberpihakan. Pemerintah harus: Menjamin edukasi digital dan literasi keuangan dalam setiap program migrasi. Melarang pemasaran agresif aplikasi pinjaman digital, terutama kepada pengguna baru. Menegakkan UU Perlindungan Data Pribadi secara efektif. Mendorong pemanfaatan teknologi untuk produktivitas rakyat, bukan hanya konsumsi.
Migrasi jaringan adalah keniscayaan. Tapi keadilan sosial adalah kewajiban. Negara tidak boleh menutup mata terhadap risiko baru dalam dunia yang makin terkoneksi. Sudah saatnya kita bertanya: apakah transformasi ini membebaskan rakyat, atau justru memperdalam ketergantungan dan ketidakadilan?
*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Pilar Kedaulatan yang Tidak Bisa Ditawar
- Saatnya Meninjau Ulang Peran Bank Sentral
- Menolak Denasionalisasi Bank Sentral