- TNI Jaga Kejaksaan, DPR: Seperti Mau Perang
- TNI Kawal Kejaksaan Karena Pemberantasan Korupsi Era Jokowi Lamban
- TNI Bakal Geser Dominasi Polisi
Dalam sistem negara demokrasi yang sehat, suara rakyat adalah panglima. Namun, di Indonesia, adagium itu mulai bergeser. Dalam beberapa peristiwa terkini, kita menyaksikan kemunculan aktor militer dalam ranah sipil yang semestinya diisi oleh aktor sipil.
Masyarakat yang menyampaikan kritik terhadap kebijakan atau ketidakadilan justru menyaksikan tentara muncul, tak jarang dalam format represif, seolah-olah demokrasi harus dikawal dengan senjata.
Ketika Jalan Demokrasi Bertemu Jalan Militer
Fenomena ini bukan hanya mencemaskan dari perspektif hak asasi manusia, tapi juga menyimpan sinyal bahaya tentang kerapuhan institusi sipil dalam menghadapi tekanan dari kekuasaan. Ketika rakyat bersuara, seharusnya yang hadir adalah ruang dialog, bukan derap sepatu lars.
Lantas, mengapa TNI kini menjadi respons utama negara terhadap suara-suara sipil? Apakah ini bagian dari reformasi yang mundur? Atau justru penegasan bahwa militerisme belum benar-benar selesai?
Artikel ini akan menguraikan dengan tajam dan mendalam pergeseran peran militer pasca-reformasi, analisis atas intervensi TNI dalam domain sipil, serta konsekuensinya terhadap demokrasi Indonesia ke depan.
Jejak Panjang Militerisme di Indonesia
Indonesia memiliki sejarah panjang keterlibatan militer dalam ranah politik dan sipil. Sejak era Orde Baru, militer bukan hanya penjaga teritori, tetapi juga penjaga ideologi kekuasaan.
Doktrin Dwi Fungsi ABRI memberikan legitimasi kepada militer untuk turut berperan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan. Tak hanya di medan perang, para jenderal mengisi kursi di kabinet, legislatif, hingga perusahaan negara.
Reformasi 1998 menjadi tonggak penting. Tuntutan kuat dari gerakan mahasiswa dan rakyat saat itu memaksa pemerintah untuk menata ulang posisi TNI. Lahirlah pemisahan TNI dan Polri, pencabutan dwifungsi, serta agenda reformasi internal.
Namun, 25 tahun pascareformasi, banyak kalangan menyatakan bahwa semangat ini tak pernah benar-benar tuntas. Militer kembali masuk melalui celah-celah kebijakan yang multitafsir, kemauan politik yang lemah, serta pembiaran publik yang abai.
Normalisasi Keberadaan TNI dalam Urusan Sipil
Salah satu hal yang patut dikritisi adalah bagaimana kehadiran TNI dalam urusan sipil menjadi sesuatu yang dinormalisasi, bahkan dilegitimasi negara. Program-program seperti TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD), pelibatan Babinsa dalam penanganan COVID-19, hingga rencana pelibatan TNI dalam pengawasan pangan dan pendidikan menjadi preseden problematik.
Secara normatif, Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 menyebutkan bahwa tugas pokok TNI adalah menjaga kedaulatan, mempertahankan keutuhan NKRI, dan melindungi segenap bangsa dari ancaman militer dan bersenjata.
Sementara pelibatan dalam tugas non-militer seperti penanggulangan bencana, pengamanan obyek vital, hingga program-program sosial, hanya dapat dilakukan atas keputusan politik negara, dan bersifat tambahan, bukan utama.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Intervensi militer dalam urusan sipil seolah menjadi default mode. Alih-alih menjaga jarak profesional, militer di Indonesia seringkali tampil sebagai solusi cepat atas berbagai kebuntuan sipil.
Ketika ada konflik agraria, TNI masuk. Ketika ada demo besar-besaran, TNI disiagakan. Ketika ada kritik terhadap Presiden, bahkan TNI bisa ikut bersuara. Fenomena ini mengaburkan batas antara sipil dan militer, antara demokrasi dan otoritarianisme terselubung.
Dari Kritik Publik ke Reaksi Militer
Contoh paling mencolok terjadi baru-baru ini ketika seorang purnawirawan TNI aktif bersuara mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Alih-alih dijawab dengan debat rasional, justru yang muncul adalah intimidasi dan reaksi keras dari petinggi militer.
Bahkan, kritik akademisi, aktivis, atau kelompok mahasiswa belakangan seringkali disambut bukan dengan klarifikasi data, melainkan ancaman pelaporan ke aparat keamanan, termasuk TNI.
Lebih jauh, dalam berbagai momentum politik—baik pemilu maupun pasca-pemilu—kemunculan TNI yang "bergerak" berdasarkan klaim demi stabilitas negara memperlihatkan bahwa suara rakyat dianggap sebagai gangguan, bukan aspirasi. Ketika rakyat bersuara lantang melalui unjuk rasa, mimbar bebas, atau media sosial, negara sering memanggil tentara, bukan membuka ruang dialog.
Pertanyaannya: siapa yang mendefinisikan situasi sebagai darurat? Dan lebih penting lagi: apakah suara rakyat dianggap sebagai ancaman keamanan?
Mengapa Militerisasi Respons Negara Berbahaya
Pelibatan militer dalam mengatasi suara sipil bukan saja bertentangan dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil, tetapi juga berisiko memicu ketakutan dan antipati rakyat terhadap institusi TNI.
Beberapa alasan utama mengapa militerisasi respons negara terhadap kritik sipil harus ditolak:
1. Eskalasi Ketegangan: Militer dilatih untuk menghadapi musuh, bukan berdialog dengan warga. Kehadiran TNI dalam respons terhadap aksi sipil berpotensi mengeskalasi konflik menjadi lebih keras dan represif.
2. Deligitimasi Aparat Sipil: Ketika pemerintah terus menerus melibatkan TNI dalam tugas sipil, maka lembaga-lembaga sipil seperti Satpol PP, kepolisian, kementerian/lembaga teknis akan kehilangan otoritas dan kepercayaan publik.
3. Kemunduran Reformasi: Kembalinya TNI dalam urusan sipil secara masif adalah setback reformasi. Ini menandakan bahwa sistem checks and balances yang dibangun pasca-Orba mulai runtuh.
4. Pelanggaran HAM Potensial: Banyak kasus pelanggaran HAM yang melibatkan militer dalam konteks sipil, dari penanganan konflik Papua, penindasan petani, hingga represi terhadap aktivis. Tidak adanya mekanisme akuntabilitas sipil membuat militer nyaris kebal hukum.
Membaca Pola—Militer sebagai Alat Kekuasaan
Kita tak bisa membaca keterlibatan TNI dalam urusan sipil secara terpisah. Ini adalah bagian dari pola besar: militer digunakan sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai alat pertahanan negara. Ketika kekuasaan merasa goyah, maka militer dipanggil bukan untuk menjaga rakyat, tapi menjaga rezim. Ketika oposisi dan kritik membesar, militer kembali dimobilisasi untuk membungkamnya, kadang secara simbolik, kadang secara fisik.
Dalam banyak demokrasi, militer yang profesional adalah militer yang netral secara politik dan tunduk pada otoritas sipil. Namun di Indonesia, relasi ini seringkali terbalik. Ketika presiden adalah mantan militer, atau memiliki relasi kuat dengan petinggi militer, maka otonomi sipil menjadi ilusi.
Kita telah menyaksikan bagaimana jenderal aktif atau purnawirawan masuk dalam jabatan sipil tanpa proses politik yang transparan. Kita juga melihat bagaimana kampanye politik dimeriahkan oleh simbol-simbol militer, dari yel-yel hingga panggilan "komandan". Ini adalah bentuk banalitas militerisme yang merayap ke dalam kehidupan publik tanpa disadari.
Demokrasi Tanpa Otoritas Sipil yang Kuat
Mengapa militerisasi terus terjadi? Jawaban sederhananya adalah karena aktor sipil lemah. DPR tidak menjalankan fungsi pengawasan yang tegas. Partai politik terlalu sibuk menjadi bagian dari koalisi kekuasaan. Masyarakat sipil tercerai berai oleh politik identitas. Media massa juga semakin banyak yang tersandera kepentingan pemilik modal.
Dalam kekosongan itu, militer menjadi aktor yang menonjol karena memiliki struktur, disiplin, dan jaringan yang kuat. Ia menjadi solusi jangka pendek atas kebuntuan sistem. Tapi solusi ini semu. Karena yang hilang dari demokrasi bukan sekadar prosedur, tapi substansi: hak rakyat untuk bersuara tanpa takut diintimidasi.
Jalan Keluar: Supremasi Sipil dan Reformasi TNI
Indonesia harus kembali pada prinsip dasar: sipil adalah pemegang kedaulatan. Untuk itu, beberapa langkah krusial harus ditempuh:
1. Evaluasi Total UU TNI
Perlu ada revisi atas Undang-Undang TNI agar lebih tegas membatasi peran militer dalam urusan sipil, serta membuka ruang kontrol publik terhadap anggaran dan operasi TNI.
2. Penguatan Institusi Sipil
Kementerian dan lembaga negara harus diberdayakan untuk mampu menyelesaikan konflik sipil tanpa bantuan militer. Satpol PP, dinas pendidikan, kementerian sosial, dan lainnya perlu difasilitasi dan dilatih secara profesional.
3. Akuntabilitas dan Transparansi
Setiap keterlibatan militer dalam urusan sipil harus dilaporkan secara terbuka kepada DPR dan publik. Harus ada audit publik atas anggaran, operasi, dan dampaknya.
4. Pendidikan Demokrasi dalam Militer
TNI sebagai lembaga juga harus didorong untuk menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Reformasi harus menyentuh kurikulum pendidikan militer.
Rakyat Tak Boleh Takut Bersuara
“Rakyat bersuara, maka TNI bertindak” seharusnya tidak dibaca sebagai ancaman. Seharusnya itu menjadi panggilan agar negara mendengar. TNI, sebagai bagian dari rakyat, harusnya menjaga ruang kebebasan, bukan membatasinya.
Negara yang besar bukan negara yang takut kepada rakyatnya, melainkan yang memberi tempat bagi suara sekecil apapun untuk didengar tanpa rasa takut.
Demokrasi Indonesia masih panjang jalannya. Tapi kita tidak bisa melangkah bila setiap langkah rakyat dibayangi sepatu lars. Saatnya supremasi sipil dikembalikan. Saatnya rakyat benar-benar menjadi panglima.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Badai PHK: Pekerja Dibuang Seperti Kardus Bekas dan Janji Ekonomi Digadai di Meja Korporasi
- Wowo dan Wiwi
- Anatomi Kegagalan Sistemik: Pendidikan Nasional dan Konspirasi Ketidaktahuan yang Dilembagakan